Kesetaraan Hak Berkota Kaum Difabel
SETIAP 3 Desember masyarakat dunia memperingati Hari Disabilitas Internasional (HDI), berdasarkan Resolusi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Nomor 47/3 (1992). HDI 2022 mengusung tema Transformative solutions for inclusive development: the role of innovation in fuelling an accessible and equitable world.
Tujuan HDI ialah membangun kesadaran akan kesetaraan dan kesejahteraan kelompok difabel, atau penyandang disabilitas, dalam segala aspek kehidupan politik, ekonomi, dan sosial budaya masyarakat. Pemerintah harus memberikan perhatian khusus terhadap kelompok penyandang disabilitas sebagai salah satu bentuk penghargaan hak asasi manusia dan kesamaan hak berkota warga penyandang disabilitas. Lalu, langkah apa yang harus dilakukan?
Pertama, pemerintah harus mendorong terwujudnya budaya masyarakat yang menghargai kelompok penyandang disabilitas, menyediakan lapangan pekerjaan yang berkeadilan bagi kaum disabilitas, kemudahan aksesibilitas dan fasilitas umum ramah disabilitas. Selain itu, dukungan anggaran pendapatan dan belanja daerah terhadap pengembangan kota inklusif disabilitas, serta bantuan finansial yang memadai bagi pengembangan usaha kelompok penyandang disabilitas.
Itu selaras dengan UU No 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia, UU No 19/2011 tentang Pengesahan Konvensi mengenai Hak-Hak Penyandang Disabilitas, UU No 8/2016 tentang Penyandang Disabilitas, UU No 28/2002 tentang Bangunan Gedung, UU No 22/2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, serta Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 30/PRT/M/2006 tentang Pedoman Teknis Fasilitas dan Aksesibilitas pada Bangunan Gedung dan Lingkungan, agar pemerintah mewujudkan kota inklusif disabilitas.
Kedua, penyandang disabilitas ialah setiap orang yang mengalami keterbatasan fisik, intelektual, mental, dan/atau sensorik dalam jangka waktu lama, yang dalam berinteraksi dengan lingkungan dapat mengalami hambatan dan kesulitan untuk berpartisipasi secara penuh dan efektif dengan warga negara lainnya berdasarkan kesamaan hak.
Baca Juga: Belajar dari Kasus Gagal Ginjal AkutKesetaraan sosial
Kota inklusif difabel selaras dengan agenda baru perkotaan (new urban agenda) dan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals), pada Tujuan 11 yang menargetkan tercapainya kota untuk semua (city for all), termasuk ramah difabel, yang aman, inklusif, tangguh, dan berkelanjutan.
Ketiga, pemerintah harus mengarusutamakan perencanaan, pembangunan, dan pengalokasian anggaran nasional dan daerah (provinsi, kota/kabupaten) untuk membangun kota inklusif penyandang disabilitas. Itu bentuk pengakuan, pemenuhan, dan pemberdayaan kelompok penyandang disabilitas di semua lapisan kegiatan masyarakat dalan berkota. Kesetaraan sosial antara kelompok penyandang disabilitas dan nondifabel diwujudkan dengan perlakuan yang sama dan diterima secara tulus tanpa diskriminasi dalam kehidupan sosial kota kita.
Keempat, kota inklusif penyandang disabilitas merupakan bentuk optimisme membangun kehidupan yang lebih baik, aksesibel, dan berkelanjutan untuk semua, termasuk kaum difabel. Pemerintah kota memberikan kemudahan kaum difabel mengakses layanan dasar, seperti proses administrasi kependudukan, pendidikan, dan kesehatan.
Pemerintah harus terus menerus memperbarui proses pendataan masyarakat penyandang disabilitas, dibantu organisasi kemasyarakatan dan komunitas penyandang disabilitas. Pemerintah juga harus membangun masyarakat ramah difabel. Petugas layanan fasilitas publik, seperti transportasi, rumah sakit, sekolah, dan bank, dibekali kemampuan berinteraksi dengan warga penyandang disabilitas dalam sudut pandang kesetaraan hak.
Kelima, kota harus memiliki kondisi fisik infrastruktur kota yang mampu mendukung mobilitas dan aktivitas kelompok penyandang disabilitas sesuai dengan kebutuhan mereka yang cukup beragam. Sarana prasarana (fasilitas sosial dan fasilitas umum) kota harus dirancang ramah difabel. Ruang gerak bebas leluasa untuk beraktivitas secara mandiri. Masyarakat dan sekolah juga bisa melakukan pendidikan dini, sosialisasi, dan simulasi aksesibilitas difabel.
Trotoar dan lintasan bangunan publik (sekolah, pasar, rumah sakit, rumah susun, gedung pemerintah) harus bisa diakses kelompok penyandang disabilitas. Penempatan jalur pemandu di trotoar harus memberikan informasi perjalanan kelompok penyandang disabilitas tunanetra. Tekstur ubin (guiding block) berfungsi sebagai pengarah dan pemberi peringatan. Tekstur ubin bermotif garis-garis menunjukkan arah perjalanan, sedangkan motif bulat-bulat menandakan peringatan terhadap perubahan situasi sekitarnya.
Keenam, kota inklusif penyandang disabilitas harus memenuhi hak hidup, mengembangkan diri, kesejahteraan, rasa aman, dan aksesibilitas di ruang publik. Pemerintah kota menyediakan lapangan kerja yang sesuai dengan keahlian, keterampilan, bakat, dan kemampuan sehingga kelompok penyandang disabilitas dapat hidup mandiri, berkarya, dan sejahtera.
Untuk itu, kelompok penyandang disabilitas mendapat kesempatan setara di bidang pendidikan, kesehatan, dan pelayanan publik lain sesuai dengan kemampuan mereka. Mereka dapat leluasa menyalurkan potensi dan bakat mereka di segala aspek penyelenggaraan negara dan masyarakat, dihormati, dilindungi, dan dilayani haknya dalam berkota secara setara. Oleh: Nirwono Joga Pusat Studi Perkotaan (*)
Tinggalkan Balasan