“THE Presidency is not merely an administrative office. That’s the least of it. It is more than an engineering job, efficient or inefficient. It is pre-eminently a place of moral leadership.” (Franklin D Rosevelt)

Pernyataan di atas disampaikan oleh Franklin D Roosevelt (FDR) diberitakan oleh The New York Times Magazine pada 11 September 1932, dan cukup mewarnai suasana kampanye pemilihan presiden ketika itu. Bila ditafsirkan secara bebas, pernyataan FDR maknanya kurang lebih begini, “Peran seorang presiden bukanlah sekadar mengurus soal-soal administrasi. Itu hanya bagian terkecil dari tugas presiden. Seorang presiden juga bukan pekerja teknis yang tindakannya diukur oleh efisien atau tidak efisien. Tugas kepresidenan ialah arena, yakni seorang presiden harus menampilkan kepemimpinan moralnya.”

Secara akademik yang dimaksud kepemimpinan moral tak sekadar menjunjung tinggi norma-norma etik, tetapi juga cara pengambilan keputusan dan memilih kebijakan, yang mengedepankan keadilan dan kemakmuran untuk semua (Longmire, 2024).

Pemimpin yang menjadikan moral sebagai kompas utama akan terlihat dari integritas, empati, dan komitmennya bagi kepentingan orang banyak (publik), sekaligus kesanggupannya untuk untuk membenamkan kepentingan pribadi atau kelompoknya (privat).

Tindak tanduk yang demikian, pada gilirannya akan menjadi panduan bagi seluruh rakyat yang dipimpinnya, menjadi benchmark yang mengerek standar praktik bernegara dan meninggikan ekspektasi warga. Lembaga kepresidenan harus merefleksikan etos seluruh warga negara, dan mewakili spirit negara dan bangsa yang dipimpinnya.

Baca Juga: Usemahu: Penataan Air Bersih di Maluku Terkendala Anggaran

Pentingnya kepemimpinan moral

Dr Stephen Gyesaw (2023) melakukan studi atas kepemimpinan tiga kepala negara dari generasi yang berbeda: Marcus Aurelius (Kaisar Roma), Lee Kuan Yew (Perdana Menteri Singapura), dan Nelson Mandela (Presiden Afrika Selatan).

Marcus Aurelius dikenang sebagai seorang pemimpin yang tak henti memperjuangkan keadilan dan disebut sebagai sebagai kaisar terakhir dari Lima Kaisar Baik. Meskipun kekuasaannya begitu besar, kehidupan pribadinya tetap sederhana dan rendah hati.  Hampir seluruh hidupnya diabdikan bagi kepentingan orang banyak. Melalui bukunya Meditation, Kaisar Aurelius yang memimpin kekaisaran Roma pada tahun 161 sampai dengan 180, mengajarkan perlunya terus-menerus menjaga moralitas, dan kepemimpinan berbasis etika.

Nelson Mandela muda ialah seorang pahlawan yang melawan ketidakadilan politik apartheid. Kegigihannya membuat Mandela dipercaya rakyat sebagai presiden pertama yang dipilih secara demokratis. Integritasnya tak diragukan ketika terpilih menjadi presiden, Mandela memaafkan lawan-lawan politik yang pernah menindasnya berpuluh tahun.

Ia tak berhenti memperjuangkan keadilan sosial dan mempelopori proses rekonsiliasi untuk menyatukan kembali rakyat Afrika Selatan yang sangat lama hidup dalam keterbelahan ekstrem. Mandela ialah pribadi yang memiliki daya tabah menanggung penderitaan dan menjadikannya sebagai energi untuk memotivasi bangsanya dalam menyembuhkan luka batin. Karakter ini telah mengukuhkan posisi Nelson Mandela sebagai pemimpin moral, yang menjadi sumber inspirasi bagi dunia.

Dari Singapura, negara kota yang jumlah penduduknya tak lebih banyak dari DKI Jakarta, kita bisa belajar dari seorang Lee Kuan Yew (LKY).  LKY tokoh sentral yang merupakan the founding father, peletak dasar modernisasi Singapura. Di bawah kepemimpinannya, hanya dalam 30 tahun Singapura mengalami transformasi besar-besaran dari statusnya sebagai negara berkembang menjadi negara makmur yang stabil.

Kuncinya ialah kepemimpinan LKY yang pragmatis (mengerjakan apa bisa dikerjakan dan yang diperlukan rakyatnya), tetapi tetap mempraktikkan kepemimpinan etik sebagai landasannya. Ia proponent fanatik prinsip meritokrasi dan pemerintahan yang bersih. Demi menjaga kepentingan publik dan memperjuangkan hak-hak orang banyak, LKY banyak mengambil keputusan sulit untuk membangun pemerintahan yang efektif dan memberantas korupsi.

Di Amerika Serikat, seorang sejarawan kepresidenan, Doris Kearns Goodwin penulis buku Abraham Lincoln (Team of Rivals) and Theodore Roosevelt (The Bully Pulpit). Goodwin (2015) mengidentifikasi sejumlah karakter yang membuat kedua presiden legendaris ini memiliki atribut kuat sebagai penjaga kepemimpinan moral.

Di antara atribut tersebut adalah: 1) tabah menghadapi tekanan, 2) mengelilingi dirinya dengan para penasihat yang jujur, kompeten, dan selalu siap adu argumen, 3) terus menjaga kedekatan dengan konstituen dan rakyat banyak, dan 4) rekam jejak yang ditinggalkannya memberi gambaran aspek moral yang kuat dalam kepemimpinannya.

Kemampuan untuk memimpin dengan terus menjaga integritas, rasa cinta pada bangsanya, dan komitmen pada keadilan menjadi benang merah, yang membuat mereka kukuh menjadi pemimpin politik yang mengedepankan moralitas  sebagai panduan utama. Tentu saja, tidak ada manusia yang sempurna, tetapi perjalanan waktu telah mencatat bahwa Kaisar Aurelius,  Presiden Mandela, PM Lee Kuan Yew, Presiden Lincoln, dan Presiden Jackson; telah menorehkan bukti sejarah: hidup mereka sebagai pemimpin menempatkan kepentingan bangsanya di atas kepentingan pribadi, keluarga, maupun kelompoknya.  Integritas dan satunya kata dengan perbuatan, menjadi fondasi utama dari seluruh perilaku kepemimpinan moral mereka.

Ke mana kepemimpinan moral kita?

Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering menuntut agar pelaku profesi kedokteran, pendidikan, ahli keuangan, para advokat, hingga para pelaku bisnis untuk menjaga etika dan moral yang tinggi. Pun demikian halnya dengan para prajurit TNI, aparat kepolisian, hakim, jaksa, dan aparat sipil negara.  Mereka diminta mengangkat sumpah dan mengulang-ulang sumpahnya dalam setiap kesempatan. Kalau mereka saja dituntut sedemikian rupa untuk menjunjung tinggi moral dan etika, mengapa kita tidak menuntut presiden (dan para pemimpin politik) sebagai pemimpin tertinggi negara melakukan hal yang sama?

Ada sejumlah alasan mengapa kita harus menuntut seorang presiden sebagai pemimpin tertinggi negara agar berperilaku menjadi teladan utama dalam segala kebaikan, dan bertindak sebagai pemimpin moral.  Pertama-tama, seorang Presiden memiliki kapasitas dan pengaruh besar; dia bisa memilih apakah akan memperkuat atau menghancurkan standar moral publik.

Kedua, kepemimpinan yang berbasis moral (atau sebaliknya yang mengabaikan moral), akan menjadi tata nilai yang berkembang mewarnai kehidupan kebangsaan kita, apakah akan menyatukan atau sebaliknya.

Ketiga, kepemimpinan moral (atau sebaliknya yang mengabaikan moral) akan menjadi pemandu perilaku bagi semua cabang-cabang pemerintahan di semua level.

Keempat, kepemimpinan moral sesungguhnya dapat memperkuat rasa persatuan seluruh bangsa karena yang menjadi pengikat adalah nilai-nilai luhur yang universal.

Kelima, sebagai warga dunia, kepemimpinan moral dapat menjadi instrumen diplomasi yang dihormati. Dengan diplomasi berbasis nilai-nilai luhur, kita dapat menjalankan peran kepemimpinan pada panggung global, yang pada dewasa ini memerlukan penguatan.

Pertanyaanya, bagaimana kondisi kepemimpinan moral Presiden kita saat ini? Mengapa ada pemaksaan kehendak, sampai harus mengorbankan undang-undang, dan menghancurkan reputasi Mahkamah Konstitusi demi kepentingan keluarga?  Mengapa kekuasaan yang dititipkan sementara oleh publik, tampak dijadikan milik privat, dan digunakannya untuk memenuhi hasrat dan ambisi keluarga?

Hampir seperempat abad yang lalu, dengan nada retorik, Prof Dr Deliar Noor (2001) mengajukan pertanyaan, “Adakah pemimpin Indonesia yang bermoral? Ia menyebut Dr Mohammad Hatta contoh dari seorang pemimpin yang dalam sikap, perbuatan, kebijakan, dan reputasinya berkaitan dengan moralnya. “Seorang pemimpin bisa saja cekatan dalam menentukan langkah; atau memiliki banyak pengikut atau bahkan didukung secara membabi buta oleh masyarakat, tapi itu semua belum menjamin moralnya. Namun, jika seorang pemimpin berangkat dari kepemilikan moral yang tinggi, niscaya musuh politiknya tak akan dapat berkutik kecuali dengan fitnah.”

Kerja keras membangun berbagai infrastruktur fisik selama dua periode, yang dilakukan pemerintahan Joko Widodo tampaknya harus menemui ujung yang kurang baik. Keseriusan melakukan manufer, dan segala tipu daya yang untuk mengurus kepentingan keluarga, bagikan hujan sehari yang menghapus panas setahun. Terlebih kinerja di bidang penegakan hukum dan pemberantasan korupsi tidak saja buruk, tetapi ternyata dijadikan arena untuk melakukan manipulasi hukum dan politik yang membuat anak-anak muda menggunakan diksi ‘kami muak’!!

Maka wajar saja, bila  sejumlah pendukung utama Presiden Joko Widodo kini banyak yang mengambil sikap, bukan saja secara terang-terangan menarik diri dan tak lagi memberikan dukungan, tetapi bahkan telah berbalik menjadi lawan politik. Akhir-akhir ini, semakin banyak media internasional yang menulis dengan nada menggugat moralitas dan etika publik Presiden Joko Widodo dan keluarganya, dalam mengelola kekuasaannya.

Berikut ini beberapa kutipan dari media internasional yang dikenal memiliki reputasi baik. Majalah Time (09/2023) menulis,  “Di Indonesia, hanya perlu dua hari saja sejak bergabung menjadi anggota suatu partai politik sampai menjadi ketua umumnya. Tentu saja, Anda harus menjadi anak seorang presiden yang popular.”

Pandangan buruk tentang arah presiden yang terus membangun dinasti juga ditulis oleh Karisma Vasmani (Bloomberg 24/10/2023): “Presiden Indonesia Joko Widodo terus memperluas dinasti politik bagi keluarganya, anak demi anak. Ini merupakan signal yang mengkhawatirkan bagi demokrasi di negara yang tengah menjalani transisi.”

Surat kabar New York Time  (06/01) mengutip Prof Dr Jimly Asshiddiqie yang menggambar­kan situasi moral publik para pemimpin kita, “Kita punya persoalan besar dalam urusan etika publik.  Kebanyakan pejabat publik tidak punya kepekaan etika, tidak memahami bahwa conflict of interest benturan kepentingan ialah suatu kekeliruan.”

Bila mengutip survei Litbasng Kompas, CNBC (20/11/23) menulis, “Kebanyakan responden berpandangan bahwa politik Jokowi semakin cenderung memprioritaskan kepentingan keluarganya, mengorbankan kepentingan masyarakat yang lebih luas.”

Pemilu jujur dan adil, jalan menghindari pemakzulan

Ini semua menyebabkan banyak pengamat berpandangan bahwa wibawa Presiden terus mengalami kemerosotan. Meskipun Presiden Joko Widodo bisa saja terus menggunakan segala instrumen kekuasaan (termasuk aparat penegak hukum) untuk menekan lawan-lawan politiknya; meskipun bisa saja ia menggunakan seluruh sumber daya publik untuk memengaruhi rakyat; sulit rasanya untuk mengembalikan wibawa presiden seperti di awal kepemimpinanya.

Alih-alih wibawa yang pulih dan respek yang hilang akan tumbuh kembali, yang akan berkembang ialah suasana takut dan perlawanan  (diam-diam) yang meluas. Sementara itu, wibawa dan respek hanya akan lahir dari kepemimpinan yang mengedepankan moral dan etik, yang pada saat ini tengah terus dihancurkan sendiri oleh Presiden Joko Widodo. Sebagai bukti, hari-hari ini para pemimpin opini (opinion leaders) dan tokoh-tokoh pergerakan dari berbagai generasi sudah tidak sungkan lagi menyuarakan jalan pemakzulan, sebagai cara untuk mencegah kerusakan terus berlanjut.

Akhir kata, apakah suasana politik, kinerja kepemimpinan moral, dan kehidupan demokrasi dan cara-cara mengelola negara akan berujung pada pemakzulan Presiden Joko Widodo? Tentu saja kita tidak mengharapkan itu terjadi. Pemilihan presiden tak lama lagi akan berlangsung.  Kita juga menaruh harapan kepada para calon presiden untuk menyadari peran kepemimpinan moral yang harus diembannya, dan Indonesia mendapatkan pemimpin baru yang memiliki kompetensi, standar etik, dan moralitas yang lebih tinggi.

Yang dikhawatirkan banyak orang adalah bila presiden tidak mampu lagi menjalankan kewajibannya sebagai pemimpin moral, dan terus-menerus melakukan tindakan-tindakan yang membahayakan kelangsungan dan masa depan banga dan negara. Bila ini terjadi, bukan tidak mungkin bangsa ini akan menempuh jalan yang terja, dan pemakzulan menjadi pilihan kolektif seluruh pemangku kepentingan.

Kita terus berikhtiar dan berdoa, semoga ada kesadaran kolektif bahwa proses elektoral melalui Pemilu 2024, akan menjadi jalan terbaik bagi penataan kembali kehidupan bernegara di hari-hari ke depan. Hanya bila penyelenggara pemilu, penyelenggara negara (termasuk Presiden Joko Widodo) menegaskan komitmenya atas pemilu yang jujur, adil, bebas, rahasia; dengan kata dan perbuatan maka kepercayaan publik akan pulih kembali.Oleh: Sudirman Said Ketua Institut Harkat Negeri (*)