Ditengah ketidakpastian ekonomi-politik global akibat pandemi covid-19 dan perang Rusia-Ukraina, muncul pula secara bersamaan dua isu yang mencemaskan dunia Islam, yakni eskalasi konflik Israel-Palestina dan pembakaran Al-Qur’an di Swedia secara berulang oleh aktivis anti-Islam, Rasmus Paludan. Kedua isu telah memicu protes di berbagai negara Islam. Apa yang memicu insiden-insiden ini?

Israel-Palestina

Membaranya konflik Israel-Palestina dipicu kebijakan pemerintahan ultra kanan Israel di bawah PM Benjamin Netanyahu, pemimpin partai garis keras Likud yang menentang kemerdekaan Palestina. Begitu terbentuk pada akhir 2022, pemerintahan ini langsung meluncurkan proyek perluasan pemba­ngunan permukiman Yahudi di daerah pendudukan Tepi Barat dan Jerusalem Timur. Tepi Barat dan Jalur Gaza- sesuai Kesepakatan Oslo 1993- diproyeksikan akan menjadi teritorial Palestina merdeka dengan Jerusalem Timur sebagai ibu kota.

Partai-partai sayap kanan Israel terus membangun permukiman ilegal Yahudi di Tepi Barat dan Jerusalem Timur untuk menciptakan realitas baru di lapa­ngan, guna membuyarkan mimpi Palestina memiliki negara. Kini, tak kurang dari 750 ribu komunitas Yahudi mendiami daerah pendudukan ini di tengah 2,5 juta jiwa populasi Palestina. Bila permukiman ilegal Yahudi terus meluas, suatu ketika– saat warga Yahudi telah menjadi mayoritas di sana– tuntutan Palestina atas dua daerah itu tidak lagi realistis. Inilah yang dicemaskan Palestina, juga komunitas internasional, yang menganggap solusi dua negara merupakan satu-satunya jalan untuk mengakhiri konflik Israel-Palestina.

Di tengah keresahan Palestina, pada Januari lalu, Menteri Keamanan Nasional Israel Itamar Ben-Gvir memprovokasi Palestina dengan melakukan kunju­ngan ke kompleks Masjid Al-Aqsa. Frustrasi meng­hadapi kondisi hidup yang tak menentu di tengah mandeknya proses perdamain sejak 2014 dan merosotnya legitimasi Otoritas Palestina di bawah Pre­siden Mahmoud Abbas, anak-anak muda dari se­mua faksi Palestina sejak awal tahun lalu mengambil inisiatif melawan Israel. Caranya dengan membentuk organisasi yang diberi nama Sarang Singa.

Baca Juga: Ekonomi Agromaritim

ereka menyerang pos pemeriksaan dan tentara Zionis, serta pemukim Yahudi di daerah pendudukan Tepi Barat. Sampai akhir 2022, tak kurang dari 14 orang Israel dibunuh, sedangkan Israel menewaskan paling tidak 200 warga Palestina. Intensifikasi operasi militer Israel di Tepi Barat oleh pemerintahan Netanyahu sejak berkuasa memuncak dengan dibunuhnya sembilan pejuang Palestina di Jenin pada 26 Januari 2023. Dengan demikian, total warga Palestina yang dibunuh dalam kurun waktu kurang dari sebulan menjadi 30 orang.

Kelompok Jihad Islam di Gaza lalu menembakkan dua roket ke wilayah selatan Israel yang dibalas dengan serangan udara ke kantong itu. Saat konflik Israel-Palestina ber­es­kalasi, seorang Pales­tina menyerang sinagog di Jerusalem Timur, menewaskan 7 orang Yahudi. Israel pun melancarkan operasi militer yang lebih keras. Situasi Timur Tengah yang membara telah menimbulkan keprihatinan dunia internasional. Hancurnya keamanan ini tak bisa dilepaskan dari kebijakan rasialisme pemerintahan Israel dan sikap permisif Gedung Putih terhadap politik apartheid Israel.

Presiden AS Joe Biden, yang mengeklaim menjadi­kan HAM sebagai panglima politik luar negerinya, justru bersikap lunak terhadap pembunuhan warga Palestina yang terjadi hampir setiap hari. Ia bahkan mempertahankan kebijakan Presiden Donald Trump, seperti mengakui seluruh Jerusalem sebagai ibu kota Israel. Lebih jauh, Biden tak mewujudkan janji kampanyenya untuk membuka konsulat AS untuk Palestina di Jerusalem yang ditutup Trump.

Memang pada Juli 2022, dalam lawatannya ke Timur Tengah, Biden mampir ke Ramalah untuk menemui Abbas. Di sana ia mengulangi janjinya mendukung solusi dua negara Israel dan Palestina. Namun, ia tidak membawa konsep perdamaian. Menghadapi situasi saat ini, Biden mengirim Menteri Luar Negeri Antony Blinken ke kawasan panas itu untuk mendeeskalasi situasi dan membicarakan perdamaian dengan pemimpin Israel. Namun, lagi-lagi, kita tak dapat berharap ia akan memecahkan kebuntuan karena ia juga tidak membawa konsep perdamaian dan harus berhadapan dengan peme­rintahan yang tidak menghendaki Palestina merdeka.

Pembakaran Al-Qur’an

Pada saat bersamaan, politikus sayap kanan Swedia-Denmark, Rasmus Paludan, membakar Al-Qur’an di depan Kedutaan Besar Turki di Stockholm. Ia melakukannya dua kali, 21 dan 28 Januari, sebagai reaksi atas penolakan Turki terhadap lamaran Swedia menjadi anggota NATO. Memang sejak Rusia menginvasi Ukraina pada 24 Februari 2022, Finlandia dan Swedia meninggalkan kebijakan tradisionalnya yang netral (non-alignment). Serbuan Rusia terhadap Ukraina ditakutkan melebar ke negeri mereka sehingga menjadi anggota NATO dipandang urgen untuk memitigasi kemungkinan itu.

Namun, lamaran kedua negara Nordik itu terhalang resistansi Turki dan Hongaria kecuali beberapa syarat dipenuhi. Sesuai aturan NATO, keanggotaan baru hanya akan diterima setelah mendapat persetujuan semua anggota. PM Hongaria Viktor Orban berjanji parlemen negaranya akan menyetujui lamaran kedua negara pada Februari. Sebaliknya, Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan justru memperkeras posisinya setelah Paludan membakar Al-Qur’an dengan izin dan perlindungan aparat setempat. Ia berjanji akan meneruskan aksinya setiap pekan sampai Turki menyetujui lamaran Swedia. Paludan ialah pemimpin Partai Stram Kurs (Garis Keras) yang dalam Pemilu 2021 tidak mendapat satu pun kursi parlemen.

Dus, aksi-aksi dia tampaknya bertujuan meningkatkan elektabilitas partainya. Toh, politik identitas dan populisme merupakan fenomena resistansi terhadap globalisasi yang melanda seluruh dunia. Kendati kebebasan berekspresi harus dihormati, penghinaan terhadap keyakinan agama sulit diterima komunitas agama. Tak mengherankan beberapa negara dengan penduduk mayoritas muslim seperti Arab Saudi, Yordania, Kuwait, Somalia, Pakistan, Libanon, dan Indonesia, melayangkan protes terhadap Swedia, yang mendefiniskan kebebasan secara luas.

Dengan menyadari kebebasan yang eksesif itu, karena dapat merugikan kepentingan negaranya, Menlu Swedia Tobias Billsrom mengungkapkan penyesalan atas insiden itu. “Provokasi Islamphobia sangat mengerikan. Swedia menjunjung kebebasan berekspresi, tetapi bukan berarti pemerintah Swedia, atau saya sendiri, mendukung kebebasan yang diungkapkan (Paludan),” katanya.

Biar begitu, Turki membatalkan berturut-turut rencana kunjungan menteri pertahanan, ketua parlemen Swedia, dan menunda tanpa batas waktu rencana perte­muan NATO untuk membicarakan lamaran Swedia dan Finlandia. Pembakaran Al-Qur’an di depan Kedutaan Besar Turki memang merupakan penghinaan terhadap negara berpenduduk mayoritas muslim itu. Kemenlu RI menyata­kan aksi Paludan merupakan pe­nis­taan kitab suci dan melukai serta menodai toleransi umat beragama. Kebebasan berpenda­pat seharusnya dilakukan secara bertanggung jawab. Terlebih, ke­bebasan tanpa parameter berpo­tensi menimbulkan ancaman keamanan dan perdamaian dunia.

Bagaiman pun, sikap keras Erdogan tampak bertujuan meningkatkan kartu tawar Turki terhadap Swedia. Sebagaimana diketahui, untuk mendapat dukungan Turki, Erdogan menuntut Swedia dan Finlandia mengekstradisi para tokoh anti-Turki dari Partai Pekerja Kurdistan (PKK) di kedua negara itu. Sejak 1984 PKK mengangkat senjata melawan Ankara untuk menuntut otonomi luas bagi etnik Kurdi di Turki yang eksistensi budayanya tak diakui Ankara.

Kekerasan dalam perjuangan mereka berujung pada pelabelan sebagai teroris oleh Turki, AS, dan NATO. Sebagai anggota NATO, Turki sangat strategis dan instrumental bagi NATO dalam mengendalikan akses Rusia ke Laut Tengah, membendung pengaruh Iran, dan menjaga hegemoni barat di Timur Tengah.

Swedia dan Finlandia telah mengamendemen konstitusi untuk memungkinkan mereka meloloskan UU Anti-Terorisme yang lebih keras, guna mengakomodasi tuntutan Turki berupa larangan kelompok anti-Turki berkiprah di negara mereka. Namun, tidak bersedia mengekstradisi simpatisan PKK. Atas tekanan AS dan NATO, Turki dan Swedia khususnya terus berunding untuk menyelesaikan perbedaan mereka, sampai Paludan memanfaatkan situasi seiring dengan demokrasi besar-besaran PKK disertai penggantungan boneka menyerupai Erdogan di balai kota Stockholm pada awal Januari lalu.

Bagaimana pun, sulit untuk tidak mengaitkan sikap keras Erdogan dengan kepentingan politik Partai Keadilan dan Pembangunan yang dipimpinnya. Pada Mei mendatang, Turki akan menyelenggarakan pemilihan presiden dan legislatif. Partai Erdogan yang bercorak Islam tidak dalam posisi cukup kuat untuk memenangi kedua pemilu, yakni Erdogan sebagai calon presiden petahana. Penyebabnya, ekonomi Turki sedang merosot. Namun, bila perundingan dengan Swedia mandek dan Paludan terus mewujudkan ancamannya– sedangkan kekerasan Israel-Palestina berlanjut– dunia Islam yang bergolak akan mengganggu stabilitas dunia. Oleh: Smith Alhadar Penasihat The Indonesian Society for Middle East Studies (ISMES) (*)