AMBON, Siwalimanews – Kejati Maluku jangan mencari-cari kesalahan orang dalam kasus dugaan korupsi pembelian lahan pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Mesin Gas (PLTMG) tahun 2016 di Namlea Kabupaten Buru.

Akademisi Hukum Unpatti, Geroge Leasa menilai, Fery Ta­naya pengusaha asal Namlea di­jerat dalam kasus ini sangat di­sesalkan. Sebagai aparat pene­gak hukum, mestinya Kejati Maluku elegan dan bukan mencari-cari kesalahan orang.

“Saya bilang mencari kesalahan orang, karena kasus ini Fery Tanaya dituduh jual tanah milik negara ke PLN. Pernyataan tanah milik negara ini sudah salah kaprah. Negara tidak pernah memiliki tanah. Negara itu punya hak menguasai bukan memiliki. Jadi kalau itu tanah milik negara  tidak benar,” kata Leasa Selasa (18/5).

Leasa menegaskan, penyidik ke­jak­­saan harus membuktikan apakah betul tanah itu adalah tanah negara. Dalam istilah tanah negara bebas, itu betul. Kalau tanah  negara bebas, maka bisa diberikan hak kepada pen­duduk Indonesia termsuk bekas erpack. “Erpack itu kan dikonversi­kan bisa menjadi hak guna usaha. Lalu awal dari hak erpack itu terus terjadi jual beli. Ya, kalau sudah  terjadi jual beli, maka dengan demi­kian itu tidak lagi menjadi tanah ne­gara,” ungkap Leasa.

Leasa menjelaskan, Fery Tanaya membeli lahan tersebut dari pemilik awal, maka hak sudah beralih. Admi­nistrasi kepemilikan pun sah karena dibuat oleh PPAT yang waktu itu atau zaman itu camat. “Secara logika, dengan kasus ini, kejaksaan atau  penyidik harus mem­buktikan dulu status tanah itu,” ujarnya.

Baca Juga: Setubuhi ABG, Warga Latuhalat Dituntut 12 Tahun Penjara

Pembuktian tambahnya, tidak se­ke­dar cuma komplain. Penyidik tahu kalau istilahnya tanah yang dikuasai oleh negara dan bukan tanah milik negara. “Harus diletakan pada istilah hukum yang pas. Sebab kalau ne­gara memiliki maka rakyat tidak men­dapatkan hak untuk itu. Semua ne­gara itu kan sudah ada hak-hak rak­yat di sana. Jadi kalau kembali ke kasus itu, jangan sampai kejaksaan ini mengejar kesalahan orang,” ingatnya.

Leasa mengungkapkan, kejaksaan adalah penegak hukum untuk me­negakan hukum dimana ada yang  melanggar hukum. Bukan mencari ke­salahan.

“Apakah betul kita sebagai warga negara itu mengharapkan  penegak hukum seperti itu. Menegakan hu­kum harus betul-betul memiliki bukti yang kuat. Negara  harus mampu untuk membuktikan bahwa itu ada­lah tanah dikuasai oleh negara ka­rena ada tanah negara bebas.  Dalam istilah tidak ada tanah milik negara,” pungkasnya.

Lebih lucu lagi tambah Leasa, Ke­jati menyikapi dugaan korupsi pe­ngadaan lahan PLTMG Namlea dis­kri­minasi, lantaran hanya menyeret Fery tanaya, padahal ada orang lain atau subjek lain yang lahannya ikut dibeli PLN berstatus bekas erpack.

“Nah kenapa hanya Fery Tanaya yang ditetapkan tersangka, orang lain tidak.  Padahal pembayaran ganti rugi dalam pengadaan tanah untuk pembangunan bagi kepentingan pembangunan PLTMG, bukanlah Fery Tanaya seorang diri, melainkan banyak subjek penerima ganti rugi, bahkan ada subjek penerima yang status tanahnya juga masih hak kolonial yang dibeli PLN, ada apa,” jelas Leasa.

Dalam persoalan jual beli, dimana negara  melalui PLN sudah membeli lahan maka tidak bisa diklaim itu lahan Fery Tanaya. “Sekarang lahan itu PLN pemiliknya, menguasai hak pakai ada di PLN. Hak guna usaha ada di PLN. Jadi harus diklaim  apa­kah jual beli itu adalah sah, tapi su­dah persoalan perdata. Masalah jual beli, kesepakatan kedua belah pihak. Penjual Fery Tanaya dan pembeli adalah PLN dalam hal ini negara. PLN menentukan harga  terjadi ta­war menawar, kebetulan menggu­nakan uang negara, maka melibatkan pihak ketiga karena pembeli itu ada dalam satu tim. Maka pembeli itu adalah sah. Menentukan harga bu­kan Fery Tanaya, tetapi  yang me­nen­tukan adalah apraisal yang ada­lah lembaga independen karena menggunakan uang negara itu. Jadi sekarang tanah itu tidak lagi bisa menjadi hak Fery Tanaya, karena sudah beralih penjualan sudah terjadi. Jual beli sudah terjadi, sudah menyerahkan ya namanya hak dan kewajiban. Fery Tanaya punya ke­wajiban untuk menyerahkan tanah dan punya hak mendapatkan nilai dari tanah itu. Begitupun PLN punya kewajiban untuk menyerahkan nilai pembayaran nlai uang dan punya hak untuk tanah itu. Jadi tanah itu sekarang tidak lagi menjadi milik Fery Tanaya. Kenapa dia diseret. Jual beli ada pada rana hukum privat yakni perdata dan bukan hukum publik,” beber Leasa.

Melalui Prosedur

Tokoh Buru Talim Wamnebo me­ng­ung­kapkan, setelah mengamati pemberitaan melalui media, ketera­ngan pers Kajati, Rorogo Zega dan fakta-fakta terungkap di pengadilan saat pra peradilan membuat masya­rakat menjadi bingung atas kasus ini.

Pembebasan lahan sudah melalui prosedur mengacu pada UU Nomor 2 tahun 2012, verifikasi berjalan se­suai ketentuan dan melalui 14 pen­tahapan sebelum dilakukan pemba­yaran dan harga ditetapkan apraisal juga mengacu Nilai Pengganti Wajar (NPW) dan lahan semua sudah diterima PLN dengan aman .

Proyek ini juga  sudah bejalan me­ngejar waktu yang direncanakan ber­operasi 2018. Hanya karena salah satu penerima ganti rugi adalah se­orang pengusaha ternama di Nam­lea, sehingga pihak Kejati Maluku seakan tidak rela membiarkan pe­ngusaha tersebut menerima ganti rugi begitu saja.

Kejati Maluku memutar otak dan  mencari seribu cara untuk menjerat pengusaha tersebut agar uang ganti rugi dikembalikan kepada Kejati Maluku. Rakyat bisa melihat bahwa dari semua ganti rugi dibayarkan oleh PLN dengan harga Rp 125 ribu/M2 , hanya bedanya FT menerima ganti rugi Rp 125 ribu termasuk ta­naman.

“Sedangkan pemilik lain yang dibayarkan oleh pihak Kejati Maluku waktu itu diwakili jaksa Agus Sirait tidak termasuk tanaman dan tana­man dibayar tersendiri lagi. Artinya PLN dan Kejati membayar lebih mahal dari pembebasan lahan peng­usaha Fery Tanaya itu. Bagaimana bisa Kejati Maluku menuduh yang bersangkutan melakukan  kongkali­kong dengan PLN  untuk mengelem­bungkan harga dengan alasan harga diatas NJOP. Kalaupun ada kesala­han karena harga diatas NJOP, mengapa Kajati Maluku tidak minta tanggung jawab dari apraisal yang menepatkan harga,” ungkap Talim.

Talim menyesali instutisi besar seperti Kejati Maluku tega-teganya membohongi rakyat Maluku sejak 2017 sampai sekarang. “Kita rakyat ingin tahu apakah kejahatan reka­yasa  yang dimulai sejak 2017 meng­gunakan uang negara atau tidak dalam proses peyelidikan dan penyi­dikan. Yang pasti akibat dugaan reka­yasa dan tidak berprikema­nusiaan dilakukan penyidik, telah menelan banyak korban dan terjadi kerugian ne­gara akibat mangkraknya Proyek PLT­MG 10 Mw ini dan memper­pan­jang penderitaan rakyat di dua kabu­paten yakni Buru dan Bursel yang se­lama ini kekurangan listrik,” katanya.

Fakta persidangan, penyidik me­nga­kui proses penyidikan ini tidak ada pihak yg melapor. Ini Fakta yang tidak dibantah siapapun karena bukti-bukti koran tentang tuduhan mark up semua diberitakan oleh pihak Kejati sendiri.

“Kajati Rorogo Zega pasti tahu karena pihak Kejati sendiri ikut sosialisasi kepada pemilik pemilik lahan lain atas harga itu. Atau apa mungkin Kajati dibohongi oleh anak buahnya sendiri ? Setelah gagal dengan tuduhan mark up, tuduhan Kejati Maluku diganti dengan pe­ngusaha Fery Tanaya menjual tanah milik negara.

“Kami rakyat  bertanya atas pen­jelasan Kajati di hadapan undangan media di ruang kantor Kejati Maluku saat Fery Tanaya ditahan, Kajati menjelaskan akte jual beli yang dilakukan Tanaya dihadapan PPAT, Usman Rada tahun 1985 batal demi hukum karena yang menjual adalah warisnya. Menurut pak Kajati tanah erpack / bekas hak barat yang tidak di­konversi berakhir setelah pemilik­nya meninggal dan tidak bisa diwa­riskan. Rakyat bertanya kalau benar ada UU atau aturan seperti itu, mengapa Pak Kajati Rorogo Zega tidak membatalkan jual beli Said Bin Thalib yang juga memiliki erpack / bekas hak barat yang dijual juga ke pihak PLN,” beber Talim.

Lucunya lanjut Talim, tanah eks erpack atau hak barat kepunyaan  Said Bin Thalib AJB diverifikasi dan dibayarkan oleh pihak Kejati Maluku berdasarkan jual beli 1928 sebelum Indonesia merdeka. “Yang menerima juga ahli warisnya karena tentunya pemilik sudah meninggal. Bagai­mana pak Kajati menerapkan hukum seperti ini. Disatu pihak Kajati Ro­rogo Zega jelaskan kebun eks hak barat tidak bisa diwariskan dan men­jadi milik negara setelah warisnya me­ninggal, tapi kalau non pengusa­ha justru dibayarkan pihak Kejati Maluku kepada warisnya. Mengapa Kejati tidak meminta BPKP menja­dikan uang ganti rugi yang diterima Said Bin Talib  sebagai kerugian negara seperti yang Kejati lakukan ke­pada pengusaha Tanaya,”  urainya.

Akibat dari proyek PLTMG ini terlilit kasus, penderitaan rakyat Buru dan Bursel berkepanjangan.

“Proses sertifikasi lahan yang dibebaskan untuk mesin induk oleh PLN terhambat karena semua dokumen disita untuk keperluan penyidikan. Sebagai tokoh mas­yarakat Buru yang dirugikan atas dugaan rekayasa kasus ini saya sangat menyesalinya. Rakyat Buru dn Bursel harus siap menerima kenyataan tidak menikmati aliran listrik,” sesal Talim. (S-32)