AMBON, Siwalimanews – Kapolda Maluku Irjen Refdi Andry menegaskan, semua tindakan yang dilakukan Kapolres Malteng dilakukan dengan suatu penilaian yang matang, baik dari sisi intelijen, termasuk masukkan dari unsur terkait, dengan melihat frekuensi dan volume perlawanan yang dapat dilakukan oleh masyarakat Tamilouw.

Namun, jika dilihat ada provokator yang nantinya terlibat atau ada semacam kepentingan yang terselubung atau mungkin ada misi yang disembunyikan. Hal inilah yang sementara ditelusuri.

“Kalau kita lihat ada provokator yang nantinya terlibat secara lebih jauh, ada semacam kepentingan yang terselubung atau ada misi yang disembunyikan, ini yang kita sedang telusuri,” ungkap Kapolda dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi I DPRD Maluku serta perwakilan masyarakat Tamilou di ruang rapat Komisi I, Kamis (9/12).

Menurut Kapolda, jika dilihat kebelakang, maka persolaan ini dimulai pada 1 November, dimana ketika kedua belah pihak (Tamilouw-Sepa) hadir untuk menentukan wilayah perbatasan, yang berlanjut dengan pengrusakan tanaman pala, cengkeh dan mangga serta kelapa yang jumlahnya 600 pohon lebih.

Atas persolaan ini, telah dilakukan kesepakatan perdamaian dihadapan Bupati, Kapolres dan Kajaksaan, dimana terdapat lima poin kesepakatan, namun ada poin-poin yang tidak diindahkan, sehingga pada hari itu juga terjadi pembakaran kantor negeri dan telah dilakukan identifikasi.

Baca Juga: Pantau Vaksinasi, Panglima Minta Warga dengan Komorbid Diprioritaskan

“Jika dilihat kronologisnya, maka ada tiga permasalahan yang terjadi, yakni pengrusakan tanaman, pembakaran kantor negeri dan penganiayaan yang mengakibatkan matinya orang lain,” tandas Kapolda.

Untuk itu kata Kapolda, tindakan yang dilakukan Kapolres Malteng AKBP Rosita Umasugi, bukan merupakan suatu tindakan yang tiba-tiba terjadi pada 7 Desember lalu, namun persolaannya dimulai, ketika tidak diindahkannya panggilan dari pihak kepolisian.

Bahkan, ada hal-hal yang sengaja ditutup-tutupi, baik oleh perangkat yang ada disana, maupun oleh orang yang melihat, termasuk ada juga informasi yang diterima masyarakat menempatkan perempuan dan anak selalu dikedepankanm seolah-olah menurut penilaian, ibu-ibu dilapangan selalu diperhadapkan dengan anggota, sehingga pos yang bisa menentramkan dua negeri Tamilou dan Sepa saat itu, salalu diminta digeser keberadaannya.

“Tak hanya itu, terdapat juga penolakan ketika anggota polisi hadir di Tamilouw seolah-olah anggota yang datang dari polres hanya untuk menakut-nakuti masyarakat, sedangkan masyarakat Sepa sangat kooperatif, bahkan menyatakan akan menghadirkan para pelaku,” beber Kapolda.

Kapolda mengaku, ada kebijakan agar persoalan-persoalan masyarakat dapat dilakukan dengan langkah win solution atau restorasi justice, namun jika itu yang terjadi, maka tidak memberikan pendidikan yang baik terhadap siapapun yang melakukan masalah disuatu kawasan.

Kehadiran anggota polri dengan berseragam lengkap di Tamilouw yang disertai dengan kekuatan seberapapun, itu merupakan hasil dari penilaian Kapolres, artinya Kapolres wajib menilai, bagaimana situasi di lapangan dan kekuatan apa yang mesti dihadirkan.

“Kalau disana misalnya dihadirkan kendaraan lapis baja, tidak ada masalah, karena itu kendaraan kepolisian, sebab kita tidak bisa menghadirkan kendaraan yang lain, kalau mau dibawah senjata dan jenis peluru apapun, tidak ada masalah, karena itu adalah kelengkapan kepolisian, sia-sia kalau tidak membawa kelengkapan, karena anggota menjadi korban,” cetus Kapolda.

Karena itu tambah Kapolda, untuk melihat persoalan ini secara jernih, maka Polda Maluku telah menurunkan tim investigasi dari Propam untuk melihat dengan jelas duduk persoalan yang terjadi.

“Apa yang dilakukan oleh Kapolres, kalau dilihat memang sudah sesuai dengan SOP, tapi kita telah kirim tim propam untuk melakukan penilaian terhadap apa yang terjadi dan bagaimana dilakukan,” papar Kapolda.

Kapolda menegaskan, ia tidak membela siapapun, artinya jika ada anggota atau masyarakat yang bersalah, maka tetap diberikan sanksi sesuai dengan aturan hukum yang berlaku. (S-50)