AMBON, Siwalimanews – Hingga kini Kejati Maluku masih menunggu hasil audit kerugian negara dalam kasus dugaan korupsi pembelian lahan seluas 48.645,50 hektar di Desa Sawa, Kabupaten Buru tahun 2016 untuk pemba­ngunan PLTG 10 megawatt.

Setelah mengantongi hasil audit kerugian negara dari BPKP Perwaki­lan Maluku jaksa penyidik akan menggelar ekspos untuk menetap­kan tersangka.

“Proses audit masih dilakukan oleh BPKP dan kita masih menu­nggu hasilnya,” kata Kasi Penkum dan Humas Kejati Maluku, Samy Sapulette, kepada Siwalima, di ruang kerjanya, Jumat (21/2).

Sapulette mengatakan, pihaknya bersifat menunggu. Namun diharap­kan BPKP tak berlarut-larut dalam melakukan audit. “Kita berharap tidak berlarut-larut dalam proses audit,” ujarnya.

Mantan Kasi Penyidikan Kejati Maluku ini juga mengatakan, kasus dugaan korupsi pengadaan lahan PLTG Namlea sudah ditahap penyi­dikan, sehingga pasti dituntaskan. “Pasti dituntaskan, kan sudah di penyidikan, tinggal menunggu hasil audit saja,” ujarnya lagi.

Baca Juga: Jaksa Rampungkan Dakwaan Enam Tersangka Kasus BNI

Sebelumnya tim audit BPKP Maluku mencecar saksi-saksi kasus dugaan korupsi lahan PLTG Namlea.  Pemeriksaan dipusatkan di Kantor Kejati Maluku, Selasa (4/2). Hal ini dilakukan untuk kepentingan audit kerugian negara.

“Benar, ada permintaan klarifikasi oleh auditor BPKP terhadap pihak PLN dalam kasus dugaan korupsi PLTG Namlea tahun 2016,” kata, Samy Sapulette kepada wartawan di ruang kerjanya, Selasa (4/1).

Namun Sapulette menolak me­nyebutkan identitas para saksi yang dimintai klarifikasi oleh auditor BPKP, dengan alasan kepentingan penyidikan.

“Jadi permintaan klarifikasi oleh auditor BPKP yang dipusatkan di Kejati Maluku, yakni untuk kepen­ti­ngan audit perhitungan kerugian ne­gara kasus dugaan korupsi pem­ba­ngunan PLTG Namlea,” ujarnya.

Naik Penyidikan

Status hukum kasus ini dinaikan ke tahap penyidikan sejak akhir Juni 2019, setelah dalam penyelidikan, penyidik Kejati Maluku menemukan bukti­bukti kuat adanya perbuatan melawan hukum yang merugikan negara.

Lahan seluas 48.645, 50 hektar itu, dibeli oleh PT PLN Wilayah Maluku dan Maluku Utara dari pengusaha Ferry Tanaya untuk pembangunan PLTG 10 megawatt.

Sesuai NJOP, lahan milik Ferry Tanaya itu hanya sebesar Rp 36.000 per meter2. Namun jaksa mene­mukan bukti, dugaan kongkalikong dengan pihak PLN Wilayah Maluku dan Maluku Utara yang saat itu dipimpin Didik Sumardi, sehingga harganya dimark up menjadi Rp 131.600 meter2.

“Jika transaksi antara Ferry Ta­naya dan PT PLN didasarkan pada NJOP, nilai lahan yang harus dibayar PLN hanya sebesar Rp.1.751.238. 000. Namun NJOP diabaikan,” kata sumber di Kejati Maluku.

PLN menggelontorkan Rp.6.401. 813.600 sesuai kesepakatan dengan Ferry Tanaya, sehingga diduga ne­gara dirugikan sebesar Rp 4. 650.575.600. Namun pihak PT PLN Unit Induk Pembangunan (UIP) Maluku mengatakan, tidak ada masalah dalam pembelian lahan pembangunan PLTG di Namlea.

Menurut Asisten Manager Komu­nikasi PT PLN UIP Maluku, Abdul Azis Laadjila, transaksi pembelian lahan tersebut sudah sesuai dengan NJOP. (S-16)