AMBON, Siwalimanews – Setelah menetapkan ter­sangka pada pertengahan Oktober 2022 kemarin, kem­bali tim penyidik Kejaksaan Tinggi Maluku memeriksa 17 saksi di RS Haulussy Ambon.

Menurut Kasi Penkum Ke­jati Maluku, Wahyudi Kareba, 17 saksi yang dipe­riksa itu terdiri dari, dokter, perawat hingga staf admi­nis­trasi terkait kasus du­gaan korupsi uang makan minum dana Covid-19 bagi tenaga kesehatan di RS Haulussy tahun 2020.

Kata Wahyudi, bukan saja uang makan minum, tetapi pemeriksaan belasan saksi ini juga terkait dengan ang­garan jasa medical yang diduga bermasalah tahun 2016-2020.

“Kemarin ada 17 saksi diperiksa mulai dari dokter, perawat, ada juga staf ba­gian administrasi di RS Haulussy, terkait uang ma­kan minum tenaga medis dan medical check up,”  ungkap Kasi Penkum dan Humas Kejati Maluku, Wahyudi Kareba kepada Siwalima, Jumat (28/10/)

Wahyudi  menjelaskan, pemerik­saan kembali para saksi ini untuk melengkapi data dan fakta-fakta kasus korupsi di rumah sakit milik Pemerintah Provinsi Maluku itu.

Baca Juga: Ayo Bongkar Borok KONI

“Ada fakta yang dibutuhkan, ada data-data yang belum lengkap jadi tim kembali memanggil para saksi itu,”  tambah Wahyudi.

Sementara itu informasi yang diperoleh Siwalima di Kejati Ma­luku, 17 saksi yang diperiksa ini ter­kait untuk melengkapi berkas empat tersangka yang telah ditetapkan.

Mereka yaitu, dr JAA, NL, HT dan MJ.

Sayangnya hingga kini, Kejati Maluku masih belum mengung­kapkan penetapan empat tersangka yang telah dilakukan pada 17 Oktober 2022 kemarin.

Penetapan tersangka itu ditetap­kan, setelah tim penyidik Kejaksaan Tinggi Maluku intens melakukan proses penyelidikan dan penyidikan kasus tersebut.

Dari hasil penggalian bukti melalui pemeriksaan saksi-saksi maupun alat bukti yang ditemukan, tim penyidik Kejati Maluku akhirnya menetapkan empat tersangka dalam kasus uang makan minum di RS berplat merah itu.

Informasi penetapan tersangka ini ditutup rapat oleh korps Adhyaksa tersebut. Bahkan ketika dikonfir­masi Siwalima sejak pekan lalu hingga Jumat (28/10), pihak Kejati Maluku membumkam.

Jika sebelumnya ketika dikonfir­masi Wahyudi membantah.

“Belum ada informasi terkait itu,” ujar Kasi Penkum Kejati Maluku, Wahyudi Kareba ini kepada Siwa­lima melalaui pesan whatsappnya.

Sebelumnya sejak Jumat (20/10) Siwalima juga sudah mengkonfir­masi kasus ini, namun juru bicara Kejati ini janji akan cek dan jika sudah ada informasi maka yang bersangkutan akan informasikan.

“Beta cek belum dikonfirmasi, kalau sudah ada konfirmasinya beta info,” ujar Wahyudi melalui pesan singkat WA.

Siwalima juga  mencoba konfir­masi pada Sabtu (22/10) dan Senin (24/10) namun lagi-lagi mendapat­kan penjelasan yang sama.

Sumber yang minta namanya tidak ditulis ini meyakini kalau empat tersangka itu adalah ASN di RS milik pemerintah tersebut.

“Keempatnya adalah J, NL, HK dan MJ. Semuanya pejabat di RS Haulussy,” ujar sumber itu, Senin (24/10) malam.

Menurutnya, penetapan keempat tersangka tersebut dilakukan sejak Rabu (19/10) lalu.

Bahkan surat penetapan ter­sang­ka, lanjut sumber itu, sudah disam­paikan kepada empat ASN pada RS Haulussy Ambon yang diduga memiliki peranan penting dalam uang makan minum tenaga kese­hatan Covid-19 tahun anggaran 2020 di RS milik daerah tersebut bernilai miliaran rupiah.

Sementara itu, informasi me­nyangkut penetapan tersangka ini juga ramai dibicarakan di RS Haulussy Ambon. Sumber Siwalima di RS tersebut juga menyebutkan bahwa, pihak kejaksaan telah memberikan surat kepada 4 orang yang diduga ditetapkan sebagai tersangka itu.

“Iya pekan lalu itu ramai dibi­carakan di sini, tetapi bagusnya cek langsung di kejaksaan,” ujar sumber itu, Selasa (25/10) siang.

Jangan Lindungi

Kejati Maluku diminta untuk tidak melindungi oknum-oknum yang diduga sebagai tersangka dalam ka­sus dugaan korupsi uang makan tenaga kesahatan Covid-19 tahun 2020.

Sikap kejati yang tidak transparan dan terkesan menutupi kasus ini, dari penetapan tersangka yang sudah dilakukan, tentu saja akan menimbulkan ketidakpercayaan publik pada lembaga kejaksaan.

Praktisi hukum, Djidion Batmo­molin mengatakan, jika telah ada temuan tindak pidana dan berujung dengan penetapan tersangka, maka sesungguhnya Kejaksaan Tinggi telah mendapatkan dua alat bukti.

Karena itu jika penyidik telah menetapkan tersangka, kata dia saat diwawancara Siwalima melalui telepon selulernya, Kamis (27/10) maka transparansi dari Kejati Maluku penting dan tidak boleh ditutup-tutupi, sebab masyarakat memiliki hak untuk mengetahui setiap proses hukum yang dilakukan oleh penegak hukum termasuk kejati.

“Sangat disayangkan, kalau sudah ada penetapan tersangka. Harus diumumkan kepada masya­rakat, tidak boleh ditutup-tutupi,” tegas Batmomolin.

Menurutnya, sikap yang ditun­jukkan Kejaksaan Tinggi Maluku tidak seirama dengan instruksi Presiden Joko Widodo maupun Jaksa Agung yang telah mengingat­kan seluruh aparat penegak hukum, baik kepolisian maupun kejaksaan untuk transparan.

Apalagi, menyangkut kasus dugaan korupsi yang telah menyita perhatian publik harus ada trans­paransi ditengah kondisi menurun­nya tingkat kepercayaan publik sebagai akibat dari begitu banyak permainan yang dilakukan aparat penegak hukum.

Tranparansi kata Batmomolin, merupakan bentuk pertang­gung­jawaban hukum kepada masyarakat yang dirugikan akibat dari tindak pidana yang dilakukan oknum tertentu, sehingga Kejaksaan Tinggi tidak perlu melindungi nama tersangka dengan alasan apapun.

Jikalau, Kejaksaan Tinggi Maluku tetap saja tidak transparan se­dangkan penetapan tersangka telah dilakukan berdasarkan surat perintah penyidikan maka patut dipertanyakan manuver yang dilakukan Kejaksaan Tinggi Maluku dalam kasus RSUD Haulussy.

“Ini kasus dengan nilai kerugian cukup besar jadi kalau tidak trans­paran itu ada apa, dan jangan sa­lahkan kalau publik menudingnya ada kongkalikong diantara kejak­saan tinggi dan tersangka,” ucap Batmomolin.

Batmomolin pun meminta Ke­jaksaan Tinggi Maluku untuk bersikap berani untuk membuka secara terang-benderang status dari saksi-saksi yang telah diperiksa termasuk tersangka kepada publik.

Terpisah praktisi hukum Paris Laturake juga meminta Kejaksaan Tinggi Maluku untuk tidak menim­bulkan kecurigaan publik dengan tidak transparannya proses hukum dalam kasus dugaan korupsi makan dan minum di RS Haulussy.

Dikatakan, Kejaksaan Tinggi Maluku seharusnya transparan jika memang telah ditetapkan tersangka dalam kasus makan dan minum tenaga kesehatan di RS Haulussy dan tidak perlu ditutup-tutupi.

“Kalau sudah ada tersangka yah harus diumumkan agar publik tahu janga ditutup-tutupi,” ujar Laturake.

Laturake menegaskan, sikap diam dan tidak transparan Kejati Maluku ini pada akhirnya akan menimbulkan penilaian buruk terhadap proses penegakan hukum dalam perkara yang sedang ditangani.

Transparan

Terpisah, praktisi Hukum, Muha­mmad Nur Nukuhehe meminta Kejati Maluku untuk transparan dalam penanganan kasus ini, jangan tertutup dan melindungi oknum-oknum yang diduga terlibat dalam kasus tersebut.

Menurut alumni Fakultas Hukum Unpatti ini, publik sangat membu­tuh­kan transparansi dari aparat penegak hukum terutama kejaksaan, sehingga dalam penegakan hukum menjadi kewajiban penegak hukum untuk membuka secara jelas kasus yang ditangani.

Transparansi kata Nukuhehe juga sangat diperlukan dalam kasus dugaan korupsi di RS Haulussy, sebab sebagai rumah sakit peme­rintah maka harus bebas dari praktik korupsi atau tindak pidana lain yang akan merugikan rumah sakit dan masyarakat.

Dijelaskan, jika dalam proses pemeriksaan berdasarkan alat bukti sudah dapat ditetapkan tersangka maka Kejaksaan Tinggi Maluku sudah harus menetapkan tersangka agar menjadi terang pelaku kejaha­tan dilingkungan RS Haulussy.

“Harus transparan kalau memang sudah ada calon tersangka maka tetapkan saja tersangka jangan lagi menunda-nunda,” tegas Nukuhehe kepada Siwalima, Selasa (25/10).

Dikatakan, jika pihak penyidik telah mengantongi dua alat bukti yang menjurus pada tindak pidana yang dilakukan, maka kejaksaan harus segera menetapkan tersang­ka, an atau jika tersangka sudah ditetapkan maka harus transparan jangan tutupi.

“Salah satu alat bukti yang dibutuhkan dalam penyidikan kasus dugaan korupsi oleh Penyidik baik kejaksaan maupun kepolisian yaitu adanya hasil audit jadi kalau masih terkendala yah sampaikan kepada publik,” ujar Nukuhehe.

Menurutnya, Kejaksaan Tinggi Maluku jangan sekali-kali menutup-nutupi kasus dari masyarakat sebab bila tindakan itu dilakukan, maka akan memunculkan ketidakperca­yaan dari masyarakat yang justru akan menurunkan kepercayaan terhadap proses yang dilakukan Kejaksaan.

Untuk diketahui, kejati bidik sejumlah kasus di RSUD Haulussy berdasarkan surat nomor: SP 814/Q.1.5/1.d.1/06/2022.

Selain pembayataan BPJS Non Covid, pembayaran BPJS Covid tahun 2020, pembayaran kekurangan jasa nakes BPJS tahun 2019 tetapi juga pengadaan obat dan bahan habis pakai juga sarana dan pra­sarana pengadaan alat kesehatan dan pembayaran perda pada RSUD Haulussy tahun 2019-2020.

BPJS Kesehatan diketahui men­dapat tugas dari pemerintah mem­verifikasi klaim rumah sakit rujukan Covid-19 di Indonesia setelah veri­fikasi barulah Kemen­terian Kese­hatan melakukan pembayaran klaim tersebut.

Diduga total klaim Covid dari rumah sakit rujukan di Provinsi Maluku sejak 2020 hingga September 2021 yang lolos verifikasi BPJS Kesehatan mencapai 1.186 kasus dengan nilai Rp117,3 miliar.

Sejak tahun 2020 tercatat seba­nyak 891 kasus atau klaim di Maluku lolos verifikasi BPJS Kesehatan. Nilai klaim dari jumlah kasus tersebut mencapai sekitar Rp97,32 miliar dan hingga September 2021 klaim yang sudah terverifikasi ada 295 dengan jumlah biaya sekitar Rp20 miliar. (Mg-1/S-10)