AMBON, Siwalimanews – Lima tersangka kasus illegal logging di Dusun Solea, Negeri Wahai, Kecamatan Seram Utara, Kabupaten Maluku Tengah diseret jaksa ke pengadilan.

Lalu bagaimana dengan Kepala Dinas Kehutanan Maluku, Sadli Ie? Ternyata dugaan keterlibatannya tak ditindaklanjuti oleh Kejari Maluku Tengah. Padahal Korps Adhyaksa sudah mengantongi rekaman percakapan antara Sadli dengan Fence Purimahua.

Saat masih bertugas di Dinas Kehutanan Maluku,  Fence adalah orang kepercayaan Sadli. Ia ditugaskan untuk mengamankan PT Kalisan Emas dalam kasus  illegal logging di Dusun Solea, Negeri Wahai.

“Kejari Masohi jangan lindungi Kadis Kehutanan Maluku,” tandas Praktisi Hukum, Djidon Batmamolin, kepada Siwalima melalui telepon selulernya, Rabu (13/5).

Batmamolin mengatakan, Fence hanyalah anak buah yang ditugaskan di lapangan. Olehnya itu, Sadli Ie juga harus dijerat.

Baca Juga: Pemerkosa Nenek 74 Tahun Minta Dibebaskan

“Fence adalah staf dinas, masak terlibat sendiri. Sebagai kepala dinas, Sadli seharusnya bertanggung jawab atas kasus illegal logging di Serut, oleh karena itu Kejari Malteng jangan melindunginya,” tegasnya.

Rekaman percakapan antara Sadli dan Fence, kata Batmamolin, harus dibuka oleh jaksa. “Hasil percakapan itu mestinya menjadi acuan untuk menjerat Sadli,” tandasnya.

Nama Sadli Disebut

Seperti diberitakan, nama Kadis Kehutanan Provinsi Maluku, Sadli Ie disebut dalam kasus illegal logging di Desa Solea, Kecamatan Seram Utara, saat tersangka Fence Purimahua diperiksa jaksa.

Aktivitas illegal logging yang dilakukan PT Kalisan Emas sudah diketahui oleh Sadli Ie sebagai Kepala Dinas Kehutanan Maluku. Namun diduga sengaja didiamkan.

“Diduga ada arahan dari Kadis Kehutanan kepada Fence untuk memback up PT Kalisan Emas,” ujar sumber di Dinas Kehutanan Maluku, kepada Siwalima, Senin (2/3).

Dituntut 2 Tahun Penjara

Jaksa penuntut umum Kejari Malteng menuntut tiga terdakwa kasus illegal logging di Dusun Solea, Negeri Wahai, Kecamatan Seram Utara dua tahun penjara, dan denda Rp 500 juta.

Ketiga terdakwa masing-masing; Direktur PT Kalisan Emas Freud Riky Apituley, eks Pegawai Dinas Kehutanan Provinsi Maluku Fence Purimahua, dan pemodal dari Surabaya Abdullah.

Tuntutan dibacakan tim JPU Vector Mailoa, William Mairuhu dan Siti Martono dalam sidang di Pengadilan Negeri Masohi, Selasa (12/5), yang dipimpin majelis hakim yang diketuai Agus Hardianto, didamping hakim Rifai Tukuboya dan Mawardi Rifai.

Menurut JPU, ketiga terdakwa terbukti bersalah melakukan tindak pidana kehutanan sebagaimana yang diatur dalam UU Nomor 18 tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Pengrusakan Hutan.

Meski begitu, penerapan pasal terhadap ketiga terdakwa berbeda. Fence Purimahua dan Freud Riky Apituley dituntut melanggar pasal 98 ayat 1 jo pasal 19 huruf b. Sedangkan Abdullah melanggar pasal 87 ayat 1 huruf a jo pasal 12 huruf K  UU Nomor 18 tahun 2013.

“Menghukum terdakwa dengan pidana di penjara selama 2 tahun serta membayar denda 500 juta rupiah subsider 3 bulan kurungan,” tandas JPU Vector Mailoa.

Usai pembacaan tuntutan JPU, hakim menunda sidang hingga Kamis (14/5), dengan agenda pembelaan dari penasehat hukum ketiga terdakwa.  Fence Purimahua didampingi penasehat hukum Rony Samloy, sedangkan Riky Apituley didampingi Oni Letelay bersama dua rekannya. Sementara Abdullah, menjadi satu-satunya terdakwa tanpa penasihat hukum.

Divonis Ringan

Sebelumnya hakim Pengadilan Negeri Masohi memvonis ringan dua terdakwa dalam kasus ini, yaitu Juanda Pacina, pemilik somel Imaji di Wahai, dan operator sensor, Hasanuddin.

Pacina dihukum 3 tahun penjara dan denda 500 juta rupiah subsider 3 bulan. Sementara Hasannudin 1 tahun 6 bulan penjara, denda 500 juta rupiah subsider 3 bulan.

Vonis dijatuhkan oleh majelis hakim yang diketuai Agus Hardianto, didampingi dua hakim anggota Rifai R Tukuboya dan Mawardi Rifai dalam sidang, Selasa (28/4).

Humas Pengadilan Negeri Masohi, Rifai R Tukuboya yang dikonfirmasi mengatakan, putusan majelis hakim sudah sesuai dengan peran dan perbuatan kedua terdakwa.

“Sebetulnya tidak ringan sebab sudah sesuai dengan peran mereka dalam kasus ini. Hasanuddin dalam kasus ini bertindak sebagai operator penebang kayu di lokasi HPH yang dalam tuntutan JPU adalah 2 tahun,” kata Tukuboya, kepada Siwalima, Rabu (29/4).

Sementara untuk terdakwa Juanda Pacina, majelis tidak sependapat dengan JPU yang sebelumnya menuntut terdakwa dengan tuntutan 9 tahun penjara atas dugaan pelanggaran Pasal 94 ayat 1 junto pasal 19 huruf A UU Nomor 18 tahun 2013 tentang pencegahan dan pemberantasan pengrusakan hutan.

Majelis hakim menilai, terdakwa Juanda Pacina melangar  pasal 87 ayat 1 huruf A junto pasal 12 huruf K UU. Sebab, terdakwa hanya berperan sebagai pihak yang menerima dan menjual kayu dari pemilik HPH. “Jadi bukan mengatur proses penebangan mulai dari merencanakan dan menyediakan operator penebangan serta lain sebagainya,” urai Tukuboya.

Pertimbangan majelis Hakim terhadap peran terdakwa didasarkan atas pemeriksaan saksi dan proses persidangan, sehingga hakim menilai Pacina melanggar pasal 87 ayat 1 huruf A junto pasal 12 huruf K UU 18 tahun 2013.

Sementara JPU Kejari Malteng, Vector Mailoa yang dikonfirmasi mengatakan, pihaknya akan meminta petunjuk Kejati Maluku untuk menentukan sikap terhadap putusan majelis hakim. “Langkah yang dilakukan saat ini adalah meminta petunjuk kejaksaan tinggi dulu. Jadi nanti petunjuk Kejati seperti apa baru diambil langkah selanjutnya,” ujar Mailoa yang dihubungi melalui telepon selulernya. (S-39)