AMBON, Siwalimanews – Hingga hari ini, Kejaksaan Tinggi Maluku masih menutup rapat hasil penyidikan dugaan korupsi RS Haulussy, Ambon.

Sontak sikap tertutup Kejak­saan Tinggi Maluku menuai kri­tikan sejumlah kalangan.

Akedemisi Hukum Unidar, Rauf Pelu meminta, lembaga adhyaksa itu untuk bertindak profesional da­lam penuntasan kasus korupsi, siapapun yang diduga terlibat jangan dilindungi.

Hal ini diungkapkan Pelu karena sampai saat ini Kejati belum mengungkapkan empat tersangka kasus dugaan korupsi uang ma­kan minum di RS Haulussy Ambon yang sudah ditetapkan.

Pelu mengatakan, Kejati Malu­ku harus transparan kepada publik proses penyidikan kasus dugaan korupsi yang melilit RS milik daerah Maluku ini, publik berhak menge­tahuinya, sehingga tidak ada alasan untut ditutupi.

Baca Juga: Jalankan Restoratif Justice, Kejari Tanimbar Bebaskan AB

“Jaksa harus transparan, untuk apa ditutup publik berhak menge­tahui perkembangan dan penanga­nan kasus ini. Apalagi jika itu sudah ada penetapan tersangka, maka harus diungkapkan ke publik, jangan ditutupi, kalau ditutupi maka ini patut dipertanyakan,” tegasnya ke­pada Siwalima melalui telepon se­lulernya, Rabu (26/10).

Pelu meminta, tim penyidik Kejati Maluku untuk bertindak transparan dan adil serta tidak berupaya melin­dungi okum-oknum yang diduga terlibat dalam kasus ini, Apalagi uang negara dikorupsi.

“Korupsi ini pakai uang negara, sehingga uang negara yang dipakai sampai korupsi itu harus terungkap, harus transparan jangan ditutupi, kalau ditutupi diduga ada kong­kalikong,” tegasnya.

Jangan Tebang Pilih

Terpisah praktisi Hukum Rony Samloy meminta, Kejati Maluku harus transparan dan jangan ada upaya untuk melindungi birokrasi

Lulusan Fakultas Hukum Unpatti berharap, Kejati tidak tidak tebang pilih terhadap siapapun yang me­lakukan kesalahan.

“Kita berharap bahwa siapapun dia jangan ada perlindungan, ke­jak­saan harus tetap sesuai dengan SOP yang mereka punya. Harus mela­kukan penindakan terhadap siapa­pun yang patut diduga ber­salah atau yang dijadikan tersangka dalam perkara ini,” ujar Samloy ke­pada Siwalima di Ambon, Rabu (27/10).

Ditegaskan, tidak ada orang yang kebal terhadap hukum untuk itu bagi siapapun yang terlibat wajib hukum­nya bertanggungjawab didepan hukum, sehingga penetapan tersa­ng­ka dalam kasus ini yang dilakukan oleh kejaksaan menjadi bukti kese­riusan Kejaksaan dalam menyele­saikan masalah korupsi di daerah ini.

Diungkapkan, transparansi sa­ngat diperlukan dalam kasus RS Haulussy, sebab jangan sampai terjadi perselingkuhan birokrasi antara pihak kejaksaan  dengan RS Haulussy.

Dikatakan, dalam kerangka pene­ga­kan hukum terkait dengan kasus korupsi maka orang harus tetap berpijak pada landasan yuridis bah­wa korupsi adalah musuh bersama yang harus diberantas.

Berangkat dari kesadaran ini, katanya, Kejaksaan Tinggi Maluku harus berani untuk bersikap lebih transparan kepada publik, terkait dengan sejauhmana proses hukum yang dilakukan agar tidak menim­bulkan kecurigaan dari masyarakat.

Dikatakan, masyarakat sangat berharap kasus yang merugikan negara miliaran rupiah ini diproses secara profesional dan tranparansi, agar proses penegakan hukum dapat berjalan dengan baik dan RSUD Haulussy dapat bersih dari praktik korupsi.

Sebaliknya, bila Kejati Maluku tidak transparan dalam melakukan pro­ses hukum, maka harus diperta­nyakan alasan belum juga ditetap­kan tersangka, sebab  ditakutkan ja­ngan sampai ada upaya untuk me­nga­burkan masalah dengan tujuan melindungi birokrasi tertentu yang memiliki hubungan harmonis dengan pemerintah saat ini.

“Jadi kita minta saja keberanian Kejati untuk membuka secara pasti kasus ini kalau sudah ada calon tersangka, maka harus ditetapkan, supaya publik juga puas,” tuturnya.

Selain itu, dirinya memberikan apresiasi kepada kejati dan mende­sak lembaga penegak hukum terse­but untuk transparan dalam pena­nganan kasus korupsi di RS Hau­lussy.

Empat Jadi Tersangka

Diberitakan sebelumnya, borok di RS Haulussy yang selama ini ditu­tupi, akhirnya terungkap dengan ditetapkannya empat orang sebagai tersangka.

Penetapan tersangka itu setelah tim penyidik Kejaksaan Tinggi Ma­luku intens melakukan proses penyelidikan dan penyidikan kasus tersebut.

Tim penyidik akhirnya menemu­kan adanya dugaan korupsi penya­lahgunaan anggaran pada uang ma­kan minum tenaga kesehatan Covid-19 tahun anggaran 2020.

Dari hasil penggalian bukti melalui pemeriksaan saksi-saksi maupun alat bukti yang ditemukan, tim penyidik Kejati Maluku akhirnya menetapkan empat tersangka dalam kasus uang makan minum di RS berplat merah itu.

Informasi penetapan tersangka ini ditutup rapat oleh korps Adhyaksa tersebut. Bahkan ketika dikonfir­masi Siwalima sejak pekan lalu hingga Selasa (25/10), pihak Kejati Maluku membantah sudah ada penetapan tersangka.

“Belum ada informasi terkait itu,” ujar Kasi Penkum Kejati Maluku, Wahyudi Kareba ini kepada Si­wa­lima melalaui pesan whatsappnya.

Sebelumnya sejak Jumat (20/10) Siwalima juga sudah mengkonfir­masi kasus ini, namun juru bicara Kejati ini janji akan cek dan jika sudah ada informasi maka yang bersangkutan akan informasikan.

“Beta cek belum dikonfirmasi, kalau sudah ada konfirmasinya beta info,” ujar Wahyudi melalui pesan singkat WA.

Siwalima juga  mencoba konfir­masi pada Sabtu (22/10) dan Senin (24/10) namun lagi-lagi mendapat­kan penjelasan yang sama.

Sementara itu, sumber Siwalima di Kejati mengaku, pihaknya telah menetapkan empat orang sebagai tersangka kasus dugaan korupsi di RS Haulussy Ambon.

Sumber yang minta namanya tidak ditulis ini meyakini kalau empat tersangka itu adalah ASN di RS milik pemerintah tersebut. “Keempatnya adalah J, NL, HK dan MJ. Semuanya pejabat di RS Haulussy,” ujar sumber itu, Senin (24/10) malam.

Menurutnya, penetapan keempat tersangka tersebut dilakukan sejak Rabu (19/10) lalu.

Bahkan surat penetapan ter­sangka, lanjut sumber itu, sudah disampaikan kepada empat ASN pada RS Haulussy Ambon yang diduga memiliki peranan penting dalam uang makan minum tenaga kesehatan Covid-19 tahun anggaran 2020 di RS milik daerah tersebut bernilai miliaran rupiah.

Sementara itu, informasi me­nya­ngkut penetapan tersangka ini juga ramai dibicarakan di RS Haulussy Ambon. Sumber Siwalima di RS tersebut juga menyebutkan bahwa, pihak kejaksaan telah memberikan surat kepada 4 orang yang diduga ditetapkan sebagai tersangka itu.

“Iya pekan lalu itu ramai dibica­rakan di sini, tetapi bagusnya cek langsung di kejaksaan,” ujar sumber itu, Selasa (25/10) siang.

Transparan

Terpisah, praktisi Hukum, Mu­ham­mad Nur Nukuhehe meminta Kejati Maluku untuk transparan dalam penanganan kasus ini, jangan tertutup dan melindungi oknum-oknum yang diduga terlibat dalam kasus tersebut.

Menurut alumni Fakultas Hukum Unpatti ini, publik sangat mem­butuhkan transparansi dari aparat penegak hukum terutama kejaksaan, sehingga dalam penegakan hukum menjadi kewajiban penegak hukum untuk membuka secara jelas kasus yang ditangani.

Transparansi kata Nukuhehe juga sangat diperlukan dalam kasus du­gaan korupsi di RS Haulussy, sebab sebagai rumah sakit pemerintah maka harus bebas dari praktik ko­rupsi atau tindak pidana lain yang akan merugikan rumah sakit dan masyarakat.

Dijelaskan, jika dalam proses pemeriksaan berdasarkan alat bukti sudah dapat ditetapkan tersangka maka Kejaksaan Tinggi Maluku sudah harus menetapkan tersangka agar menjadi terang pelaku keja­hatan dilingkungan RS Haulussy.

“Harus transparan kalau memang sudah ada calon tersangka maka tetapkan saja tersangka jangan lagi menunda-nunda,” tegas Nukuhehe kepada Siwalima, Selasa (25/10).

Dikatakan, jika pihak penyidik telah mengantongi dua alat bukti yang menjurus pada tindak pidana yang dilakukan, maka kejaksaan harus segera menetapkan tersang­ka, dan atau jika tersangka sudah ditetapkan maka harus transparan jangan tutupi.

“Salah satu alat bukti yang dibu­tuhkan dalam penyidikan kasus dugaan korupsi oleh Penyidik baik kejaksaan maupun kepolisian yaitu adanya hasil audit jadi kalau masih terkendala yah sampaikan kepada publik,” ujar Nukuhehe.

Menurutnya, Kejaksaan Tinggi Maluku jangan sekali-kali menutup-nutupi kasus dari masyarakat sebab bila tindakan itu dilakukan, maka akan memunculkan ketidakperca­yaan dari masyarakat yang justru akan menurunkan kepercayaan ter­hadap proses yang dilakukan Kejaksaan.

Periksa Tenaga Medis

Seperti diberitakan sebelumnya, tim penyidik Kejaksaan Tinggi Ma­luku bersama dengan Badan Peng­awasan Keuangan dan Pembangu­nan (BPKP) Perwakilan Maluku telah memeriksa belasan tenaga medis RS Haulussy Ambon.

Pemeriksaan tersebut merupakan bentuk klarifikasi untuk kepentingan perhitungan kerugian negara yang dilakukan BPKP Perwakilan Maluku, terkait dugaan korupsi jasa medical check up di RS Haulussy.

Kuat dugaan anggaran untuk jasa medical check up itu bermasalah, kurun tahun 2016-2020.

Selain itu, audit juga mencakup dugaan penyimpangan anggaran pengadaan makan dan minum tenaga kesehatan Covid-19 tahun anggaran 2020 di RS milik daerah tersebut.

Permintaan audit jaksa dimaksud­kan untuk mengungkap dugaan kebobrokan aparatur di RS tertua di Maluku itu.

Kasi Penkum Kejati Maluku, Wah­yudi Kareba yang dikonfirmasi membenarkan, belasan tenaga medis pada Selasa (6/9) lalu, telah dipe­riksa.

Kata dia, pemeriksaan dilakukan di Kantor Kejati Maluku antara BPKP dan tim penyidik Kejati.

“Kemarin itu klarifikasi terhadap saksi yang telah dilakukan pemerik­saan sebelumnya, klarifikasi dimak­sud terhadap tenaga medis, dokter, perawat dan staf administrasi, be­lasan orang,” ujarnya sembari eng­gan berkomentar lebih jauh soal kasus tersebut.

Untuk diketahui, pemeriksaan terhadap belasan tenaga medis ter­masuk para dokter itu karena mere­kalah yang melakukan pemeriksaan kesehatan terhadap Calon Kepala Daerah (Calkada) dan Wakil Kepala Daerah Kabupaten/Kota dan Pro­vinsi Maluku tahun 2016-2020.

Pada tahun 2017, tercatat dilaksa­nakan tiga Pilkada, yang proses me­dical check up dilaksanakan di RS Haulussy yakni, Kota Ambon dan KKT.

Selanjutnya pada tahun 2018 lalu, dilaksanakan kegiatan serupa untuk Pilkada Kota Tual, Maluku Tenggara dan Pilgub Maluku.

Kemudian pada tahun 2020, ter­catat empat kabupaten yang melak­sanakan Pilkada, dimana seluruh­nya melakukan medical check up di RS Haulussy, yaitu Kabupaten Buru Selatan, Kepulauan Aru, Maluku Barat Daya dan Seram Bagian Timur.

Dalam penuntasan kasus di RS berplat merah ini, tercatat sudah 50 lebih saksi diperiksa tim penyidik Kejati Maluku.

Kata dia, pemeriksaan para saksi itu dilakukan untuk mengetahui aliran anggaran dengan pagu lebih dari Rp2 miliar.

“Pagu anggarannya di kasus ini Rp2 miliar. kalau untuk kerugian sementara dihitung penyidik, untuk itu pemeriksaan saksi-saksi gencar dilakukan untuk mengetahui secara pasti jumlah indikasi kerugian yang disebabkan dalam kasus ini,” ujarnya.

Mereka yang diperiksa diantara­nya, dua mantan petinggi Dinas Ke­sehatan Maluku dan RS Haulussy adalah Meikyal Pontoh dan Justini Pawa. Pontoh adalah eks Kepala Di­nas Kesehatan Provinsi Maluku, ku­run waktu tahun 2016 hingga 2026.

Adapun Pawa, adalah mantan Direktur Utama RS pada tahun 2016, dimana kasus itu mulai dibidik.

Selain dua pejabat utama itu, penyidik juga memeriksa belasan dokter, salah satunya dokter Ade Tuankotta sebagai penanggung jawab IDI Maluku.

Belasan dokter yang diperiksa ini merupakan, penerima honorarium pembayaran jasa pemeriksaan ke­sehatan, salah satunya pelaksanaan midical check up kepada bakal calon kepala daerah dan wakil kepala daerah kabupaten, kota dan Provinsi Maluku pada penyelenggaraan Pil­kada tahun 2016 hingga 2020.

Kejati bidik sejumlah kasus di RSUD Haulussy berdasarkan surat nomor: SP 814/Q.1.5/1.d.1/06/2022.

Selain pembayataan BPJS Non Covid, pembayaran BPJS Covid tahun 2020, pembayaran kekurangan jasa nakes BPJS tahun 2019 tetapi juga pengadaan obat dan bahan habis pakai juga sarana dan prasa­rana pengadaan alat kesehatan dan pembayaran perda pada RSUD Haulussy tahun 2019-2020.

BPJS Kesehatan diketahui men­dapat tugas dari pemerintah mem­verifikasi klaim rumah sakit rujukan Covid-19 di Indonesia setelah veri­fikasi barulah Kementerian Kese­hatan melakukan pembayaran klaim tersebut.

Diduga total klaim Covid dari rumah sakit rujukan di Provinsi Maluku sejak 2020 hingga September 2021 yang lolos verifikasi BPJS Kesehatan mencapai 1.186 kasus dengan nilai Rp117,3 miliar.

Sejak tahun 2020 tercatat seba­nyak 891 kasus atau klaim di Maluku lolos verifikasi BPJS Kesehatan. Nilai klaim dari jumlah kasus tersebut mencapai sekitar Rp97,32 miliar dan hingga September 2021 klaim yang sudah terverifikasi ada 295 dengan jumlah biaya sekitar Rp20 miliar. (S-05/S-10/Mg-1)