AMBON, Siwalimanews – Cabang Kejaksaan Negeri Ambon di Saparua menggarap kasus dugaan korupsi alokasi dana desa (ADD) dan dana desa (DD) Kulur tahun 2016-2017 senilai Rp 2 miliar.

Kacabjari Saparua Ardy mengatakan, pihaknya menerima laporan dari masyarakat terkait dugaan penyelewenangan ADD-DD Kulur.

“Kasusnya masih jalan. Semua laporan akan kami proses,” jelas Ardy kepada Siwalima melalui Whatsapp, Selasa (22/12).

Ardy mengaku, akan memeriksa sejumlah pihak terkait dugaan dugaan korupsi ADD dan DD Kulur Tahun 2016 dan 2017 itu.

Hanya saja, lanjut Ardy, proses penyelidikan berjalan lambat karena pihaknya tidak memiliki banyak penyidik. Namun, hal itu tidak mengurangi semangatnya memberantas korupsi.

Baca Juga: Jaksa Garap Bukti Keterlibatan Eks Ketua Panwas Malteng

“Kami kurang tenaga jaksa sehingga terjadi keterlambatan. Tapi tetap akan kami proses,” janjinya.
Penyelewengan dana desa yang dilaporkan itu meliputi, penggelembungan dana dan anakan bibit cengkih yang didatangkan dari Negeri Ruta, Kecamatan Amahai Kabupaten Maluku Tengah.

Dalam laporan pertanggungjawaban penggunaan anggaran diduga kuat terjadi penggelembungan dana untuk program bantuan pengadaan bibit anakan cengkih sebanyak 10.000 anakan, dengan total dana Rp180 juta dengan harga Rp18.000 per anakan dan dianggarkan dalam ADD.

Padahal, pembelian anakan cengkih hanya sebesar Rp 6.000 dan bibit yang tiba di Kulur hanya sekitar 6.000 anakan. Itu pun sebagian sudah mati sebelum disalurkan kepada masyarakat.

Dugaan penyelewengan lainnya adalah pembuatan jalan tani yang tidak transparan, karena biaya sewa alat berat untuk melakukan penggusuran sebesar Rp 25 juta untuk masa kerja 16 hari, namun realisasi penggusuran jalan hanya sembilan hari.

Kemudian tidak ada pemasangan papan nama proyek dan pihak yang melakukan pengerjaan proyek tersebut, sehingga warga tidak mengetahuinya secara pasti.

Juga, adanya penyimpangan bantuan dana untuk lima kelompok tani sebesar Rp 25 juta, dimana satu kelompok terdiri dari 25 orang dan masing-masing mendapatkan bantuan Rp 600 ribu, satu buah linggis dan parang.

Sedangkan alokasi dana sebesar Rp 42 juta untuk bantuan usaha mikro seharusnya menerima Rp 2 juta per orang kepada 21 penerima bantuan, namun realisasinya hanya Rp1,7 juta dan sisanya Rp 300 ribu untuk pemotongan pajak. Dari 21 penerima bantuan usaha mikro, tetapi belakangan naik menjadi Rp82 juta dengan alasan jumlah penerima bantuan naik menjadi 41 orang. (S-49)