MASOHI, Siwalimanews – Seruan kedamaian untuk konflik di Pulau Haruku kembali dilayangkan oleh masyarakat Pulau Haruku yang tergabung dalam ITERIMA (Hulaliu, Pelauw, Kailolo, Kabauw dan Rohomoni) di Kota Masohi yang dipusatkan di Tugu Pamahanunusa, Kamis (18/2).

Dalam aksi itu Presidium Iterima AKBP (Purn) Dace Timisela meminta agar masyarakat yang bertingkai agar jangan terulang lagi.

“Damai itu indah, maka kehidupan yang rukun dan aman yang penuh dengan semangat persaudaraan antara sesema anak bangsa dengan tidak membedakan antara suku, agama, ras dan golongan perlu dipertahankan dan dilestarikan, sehingga konflik sosial antar anak bangsa dalam bentuk apapun, semestinya tidak harus terjadi dan tidak akan terjadi lagi,” ujarnya.

Menurutnya, konflik yang terjadi bukanlah berasalan konflik sara, namun diakibatkan oleh klaim terhadap hak ulayat yang tak kunjung diselesaikan secara hukum oleh negara yang dalam hal ini adalah pihak penegak hukum.

“Itu artinya sangat mungkin konflik bisa dicegah atau diantsipasi bila instrumen negara, terutama aparat keamanan/penegak hukum dapat mengambil langkah-langkah proaktif dalam menyelesaikan perbedaan pendapat atau kepentingan antara dua kelompok, kemudian membangun konsensus, sehingga konflik atau pertikaian tak berujung pada konflik sosial yang luas dan destruktif,” ucapnya.

Baca Juga: Rumra: Pemda Harus Segera Tuntaskan

Timisela kemudian membacakan delapan poin tuntutan mereka yang meminta kepada pemda maupun pihak pemangku kepentingan agar mempertimbangkan relokasi masyarakat Kariu, untuk mengantisipasi hal-hal yang tidak diinginkan.

“Demi keamanan di wilayah Kecamatan Pulau Haruku serta di wilayah Hatuhaha khususnya, kami ingin sampaikan kepada Pemda Maluku maupun Pemkab Malteng agar mempertimbangkan kembali upaya relokasi masyarakat Kariu secara permanen pada wilayah lain di Kecamatan Pulau Haruku,” tuturnya.

Untuk itu Iterima menyampaikan penyataan sikap yakni, pertama, dalam rangka terciptanya situasi keamanan yang kondusif di Pulau Haruku pada umumnya serta masyarakat negeri Pelauw dan Kariu pada khususnya, maka dengan tidak bermaksud menginterfensi tugas pemerintah dalam rangka membangun kembali pemukiman warga Kariu, kami mengusulkan agar dapat mempertimbangkan kemungkinan kebijakan relokasi terhadap warga Kariu dari tempat pemukiman saat ini ke salah satu daerah dalam wilayah Pulau Haruku yang diyakini dapat menjamin keamanan dan kenyamanan berdomisili bagi warga Kariu.

Kedua, merekomendasikan kepada negara dalam hal ini pemerintah untuk segera menyelesaikan berbagai persoalan laten di masyarakat, terutama yang terkait dengan sengketa hak ulayat atau konfik agraria, demi untuk menjamin kelangsungan hidup dikemudian hari yang lebih kondusif aman dan damai penuh dengan semangat persaudaraan diperlukan upaya mitigasi dan pencegahan konflik yang lebih konprehensip, yang berhubungan dengan hak-hak keperdataan kedua negeri dengan memperhatikan juga hak dan nilai-nilai sosial yang selama ini secara turun temuran dilaksanakan oleh kedua negeri.

Ketiga, perlu segera dilakukan upaya investgasi lebih lanjut untuk melihat keterlibatan warga dalam kepemilikan dan penggunaan senjata api termasuk penyalahgunaan prosedur penggunaan senjata oleh aparat keamanan.

Empat, adanya indikasi pelang­garan HAM, karena pembiaran by omission yang harus diungkap lebih jauh dengan memeriksa oto­ritas keamanan yang bertugas dan bertanggung jawab dalam pena­nganan kasus-kasus yang meli­batkan warga Negeri Pelauw/Ory dan Negeri Kariu, sejak pertama kali kasus di Ua Rual mengemuka dan dilaporkan oleh masyarakat Pelauw.

Kelima, mengingat konflik yang sering terjadi adalah konflik tapal batas atau hak ulayat antar negerim maka Iterima mendesak pemkab Mlateng sesuai kewenangannya untuk membentuk tim penentuan tapal batas antar negeri di Kecamatan Pulau Haruku dengan melibatkan negeri-negeri adat yang secara geografis berbatasan langsung antara negeri yang satu dengan negeri lainnya.

Keenam, merekomendasikan kepada daerah-daerah bekas konflik bila ada persoalan hukum terutama sengketa antar warga/negeri untuk dapat ditangani segera, cepat dan responsif oleh aparat keamanan terkait.

Ketujuh, penempatan dan kebe­radaan anggota TNI/Polri di ber­bagai daerah di Maluku terutama daerah-daerah rawan konflik, harus bisa dievaluasi sehingga tidak ada aparat yang dalam ber­tugas cenderung memihak pada satu daerah/negeri dan diskrimi­natif atau tidak berlaku adil pada daerah/negeri lain.

Kedelapan, terhadap rentetan kejadian yang terjadi di Hulaliu yang dilakukan oleh warga Aboru, maka kami menuntut Polda Maluku agar segera mengusut dan menindak tegas oknum masyarakat Negeri Aboru yang menggunakan senjata organik ilegal serta mengusut tuntas pelaku penebangan pohon cengkih, pala dan pengrusakan areal kebun dan pembakaran rumah kebun dalam beberapa dusun dalam petuanan Negeri Hulaliu. Terhadap penebangan pohon cengkih,pala dan rumah kebun agar segera dilakukan proses ganti untung.

Kesembilan, meminta ketegasan sikap atas janji Kapolda Maluku dan Pangdam Patimura yang disam­paikan saat berkunjung ke Negeri Pelauw dan Kariu, bahwa akan mendirikan/menempatkan pos keamanan pada perbatasan negeri utamanya untuk negeri-negeri ber­potensi konflik, hal ini kami sampai­kan, karena apa yang terjadi terhadap warga Hulaliu sejak 14 Januari 2022 s/d tanggal 14 Februari 2022, disebabkan karena penempatan pos penjagaan/keamanan yang salah .

Sepuluh, penempatan pos penga­manan yang saat ini baru dilakukan pasca konflik 15 Februari 2022 de­ngan menempatkan TNI di Negeri Aboru dan Brimob serta anggota Pol­res di Negeri Hulaliu, hal ini sa­ngat membahayakan dan bisa terjadi saling serang antara dua institusi, jika di manfaatkan oleh kelompok kepentingan anti NKRI, oleh sebab itu mestinya hanya satu institusi keamanan dan/atau pos gabungan di perbatasan kedua negeri. (S-36)