AKHIR-AKHIR ini dunia peternakan kita sedang dirundung malang. Di tengah kebutuhan daging sapi yang kian meningkat guna pemenuhan hewan kurban Idul Adha 2022, para peternak dan industri peternakan nasional justru menghadapi penyakit mulut dan kuku (PMK) yang amat serius. Sejak kemunculan PMK pada dua bulan lalu di area peternakan Kediri, Jawa Timur, per Mei 2022, sudah ditemukan 98 ribu sapi siap potong terkena PMK. Angka tersebut diyakini akan terus bertambah karena sebanyak 1,3 juta sapi sedang dalam proses penelitian/cek kesehatan hewan. Data Kementerian Pertanian per Mei 2022 menaksir sebanyak 2,7 juta sapi berpotensi terinfeksi virus yang menjadi biang PMK sehingga diperlukan langkah-langkah lebih tuntas guna menanggulangi korban peternakan lainnya sekaligus mencegah kerugian berkelanjutan. Para peternak sudah pasti menelan kerugian. Sapi lokal yang selama ini jadi tumpuan pendapatan ekonomi keluarga lenyap sia-sia. Demikian pula para pengusaha makanan dan industri olahan pangan, perhotelan, dan sejenisnya diyakini merugi lantaran tidak mampu memenuhi kebutuhan pelanggan.

Di pihak konsumen juga semakin tidak yakin terkait apakah daging-daging sapi yang dijual para pengusaha makanan olahan daging yang disediakan hotel-hotel dan rumah makan benar-benar dipastikan terbebas dari virus PMK? Bukan hanya permintaan daging lokal yang semakin kurang diminati lantaran belum adanya jaminan keamanan daging sapi dari PMK, melainkan juga kondisi demikian secara langsung mengancam eksistensi peternak lokal dan industri pangan nasional. Lebih khusus ialah ancaman nyata pada masa depan investasi peternakan lokal dan nasional kita seutuhnya. Kementan RI (2022) menyebutkan PMK menyebabkan terjadinya penurunan investasi peternakan sapi lokal yang signifikan. Para pengusaha makanan dan perhotelan akhirnya kembali menggandrungi sapi impor, impor daging yang selama ini pula menggerus keuangan negara/rakyat. Tanpa upaya tuntas berkelanjutan, PMK pada sapi tak hanya mengancam eksistensi peternak lokal, tetapi juga merusak investasi peternakan secara keseluruhan. Apa yang sudah dan perlu segera dilakukan instansi terkait dari pusat hingga daerah guna mengendalikan PMK sekaligus mencegah perluasan wilayah terjangkit PMK pada sapi?   Upaya preventif dan kuratif Harus diakui sejak tiga bulan terakhir pada 2022, kita sedang dalam proses pemulihan pada kondisi new normal akibat pandemi covid-19. Sayang, di saat yang sama, kembali kecolongan bahwa ternyata ada virus lain juga berkembang luas di kalangan hewan ternak, khususnya sapi. Jika tak bisa segera dihentikan, bukan tidak mungkin berpotensi menular ke hewan ternak lain, seperti kambing, domba, ayam, bahkan kerbau dan kuda. Tren PMK di Indonesia tak bisa dianggap sepele, apalagi dinilai sekadar penyakit musiman. PMK, sebagaimana disebutkan pakar peternakan dari IPB Gunawan Abdul (2022), berpotensi seperti covid-19 di tubuh manusia karena ancaman kematian masif itu diperlukan upaya preventif, pencegahan berkelanjutan.

Hasil Riset IPB (2022) setidaknya ada dua langkah preventif yang bisa segera dilakukan dalam jangka pendek dan jangka panjang. Pertama, mendesaknya vaksin massal bagi semua sapi hidup yang ada sekarang. Diyakini hanya dengan vaksinasi massal pada semua sapi dan hewan ternak lain yang bisa menghentikan penyebaran dan transmisi PMK pada sapi lainnya. Sayang, perkembangan teknologi media hewan ternak di Indonesia tergolong amat lambat dan bahkan kurang mendapat perhatian para ahli dan di kalangan investor peternakan nasional. Bukan hanya teknologi vaksin hewan ternak yang jauh dari inovasi, urusan kesehatan dan keamanan hewan ternak di Indonesia juga tergolong rendah. Iptek peternakan, termasuk teknologi medis peternakan di kawasan Asia Pasifik dari 12 negara yang mengembangkan investasi peternakan, mengatakan Indonesia berada di urutan 10 di bawah Myanmar dan Timor Timur. Bandingkan dengan Thailand, Australia, atau Vietnam yang hanya memiliki lahan peternakan 1/8 dari wilayah Indonesia, ternyata mampu menghasilkan daging sapi kualitas ekspor. Bahkan, mereka menguasai pasar daging sapi dunia. Indonesia yang selama ini memiliki luas lahan peternakan nomor tiga di dunia (dari luas daratan untuk kawasan peternakan) justru produksi daging sapi berada di urutan ke-10 dari 12 negara berpotensi sebagai produsen daging sapi.

Di sisi lain, kebutuhan/permintaan daging sapi melampaui kemampuan memproduksi sendiri sehingga setiap tahun Indonesia selalu impor daging sapi dengan pengeluaran tak kurang dari Rp29 triliun. Kedua, pemberdayaan sapi lokal. Salah satu biangnya ialah rendahnya produksi daging sapi kualitas ekspor lantaran minimnya upaya pemberdayaan sapi lokal untuk dikembangkan berstandar ekspor. Salah satu penyebabnya ialah rendahnya kinerja peternak dan pengusaha sapi nasional untuk mengembangbiakkan sapi lokal nasional. Para ahli ternak nasional kita juga tergolong lembek dalam inovasi teknologi peternakan, lemah dalam iptek pembibitan, penanggulangan penyakit hewan ternak, hingga rendahnya daya saing produksi peternakan nasional kita secara keseluruhan. Ada apa dengan para dokter hewan dan ahli peternakan nasional kita yang tak mampu lagi kreatif berinovasi untuk mengembangberdayakan potensi sapi lokal nasional. Akibatnya fatal. Bahan baku vaksin untuk para sapi kita akhirnya juga harus diimpor di tengah keuangan negara yang sedang krisis. Belum lagi perdebatan para ahli medis peternakan soal kehalalan vaksin. Terlalu lama berdebat halal haram vaksin, keburu PMK menular lebih luas dan sapi-sapi rakyat mati.

Sementara itu, aspek kuratif-rehabilitatif juga wajib dijalankan secara masif. Antara melakukan upaya sanitasi dan kebersihan perkandangan dan lingkungan hewan ternak, termasuk memastikan sumber pakan ternak yang terstandar. Sayang, data menunjukkan bahwa aspek perkandangan (farming) ternak di Indonesia juga dinilai Badan Kesehatan Hewan Ternak Dunia (2021) masih berada dalam skor 5,5 (dalam skala 10). Hal itu berarti masih berlangsungnya tradisi buruk bahwa kandang sapi dipastikan kotor, pengap, dan jadi sarang nyamuk. Riset IPB (2021) menyebutkan kandang hewan ternak di Indonesia justru memicu berkembang biaknya aneka bakteri patogen dan virus PMK, termsuk memicu antraks, penyakit sapi gila yang pernah jadi wabah pada 1990-an. Padahal, seperti halnya hidup manusia, hewan ternak juga butuh kenyamanan tempat bernaung, kesehatan lingkungan dan kebersihan tempat tinggal karena separuh kesehatan hewan ternak berasal dari kandang sistem perkandangan. Di luar itu, faktor sumber pakan hewan ternak di Indonesia juga masih jauh dari higienitas standar kesehatan hewan ternak dunia karena biasanya sumber pangan ternak kita masih berasal dari sumber ala kadarnya, khususnya ternak dari peternak lokal.

Baca Juga: Nasib Awak Kapal di PP Nomor 22 Tahun 2022

Para peternak sapi biasanya tidak memiliki lahan khusus yang dipakai untuk merawat rumput agar tetap subur, sehat, dan terbebas dari debu/sumber bakteri lainnya. Bandingkan dengan tradisi peternak di Australia atau Thailand yang sarat teknologi tinggi. Selain itu, disediakan hamparan khusus yang jadi ladang rumput dan bahan pakan berkelanjutan. Hewan ternak seperti sapi/domba tidak pernah merasa lapar karena tersedia hamparan rumput yang disediakan para peternak/para pengusaha/investor peternakan tanpa habis. Tak pernah ditemukan hewan ternak yang kurus, apalagi mati kelaparan seperti di Indonesia. Kondisi demikian memicu hewan ternak hidup bahagia, sehat, dan tentu saja jika waktunya dipanen akan mendapatkan daging yang prima. Kasus PMK harus dijadikan pelajaran dan peringatan bagi semua pihak untuk melakukan inovasi tata kelola peternakan nasional yang lebih baik. Dengan begitu, dunia peternakan nasional berkembang dinamis-produktif guna meningkatkan kesejahteraan para peternak, para pengusaha/investor ternak, dan pada akhirnya mendatangkan devisa bagi negara. Kehadiran PMK semestinya memicu semua stakeholders peternakan nasional untuk memperbaiki berbagai faktor yang selama ini menghambat berkembangnya investasi peternakan nasional kita.Oleh: Tasroh PNS/ASN, Tim Pengembangan Ekonomi Daerah (Divisi Kebijakan Investasi), Tim Penanggulangan Kemiskinan dan Pengangguran Pemkab Banyumas