Perkara korupsi saat ini merupakan suatu hal yang sangat menarik untuk dibicarakan. Apalagi jika tindak pidana korupsi dilakukan oleh pejabat pemerintahan yang terkenal dan memiliki image bersih dan merakyat.

Korupsi pada dasarnya tumbuh sepanjang usia manusia. Modus-modus korupsi juga berkembang seiring kemajuan peradaban manusia sendiri. Indonesia sampai hari ini masih terus berjuang membersihkan praktik korupsi.

Korupsi tidak hanya mengganggu perekonomian negara dan kesejahteraan masyarakat, korupsi bahkan telah mengganggu pemenuhan HAM dan akses terhadap kebutuhan dasar warga negara. Tetapi faktanya praktik korupsi masih tumbuh subur dengan beragam.

Tindak pidana korupsi oleh pejabat pemerintah kebanyakan diawali dengan adanya penyimpangan administratif. Patokan untuk melihat hal tersebut yang pertama adalah apakah ada samenhang antara klausula yang menyebabkan terjadinya penyimpangan administratif dengan kerugian yang menjadi konsekuensinya. Dimana jika terjadi kerugian keuangan negara maka sudah dapat dikualifikasikan sebagai tindak pidana korupsi.

Kedua adalah mengenai pertanggungjawaban terhadap penyalahgunaan wewenang yang menyebabkan terjadinya tindak pidana korupsi. Pertanggungjawaban tersebut menurut Hukum Administrasi merupakan tanggungjawab yang bersifat tunggal yang artinya top leaderlah yang menjadi pelaku utamanya.

Baca Juga: Gunung Botak dan Dampak Lingkungan

Ketiga adalah kata “dapat” dalam frasa “dapat menimbulkan kerugian keuangan negara dan perekonomian negara”.

Penjelasan diatas dirumuskan sebagai delik formil, yaitu adanya tindak pidana korupsi terjadi karena sudah dipenuhi unsur-unsur yang sudah dirumuskan oleh delik, tidak didasarkan pada timbulnya akibat. Penjelasan ini berarti, adanya potensial loss saja sudah memiliki unsur yang cukup untuk membuktikan terjadinya tindak pidana korupsi.

Kewenangan atau wewenang memiliki kedudukan penting dalam kajian hukum tata negara dan hukum administrasi. Begitu pentingnya kedudukan wewenang.

Penyalahgunaan wewenang dianggap sama dengan unsur melawan hukum. Seperti kita ketahui bahwa Unsur “melawan hukum” merupakan “genus”nya, sedangkan unsur “penyalahgunaan wewenang” adalah “species” nya. “Penyalahgunaan wewenang” subjek deliknya adalah pegawai negeri atau pejabat publik, berbeda dengan unsur “melawan hukum” subjek deliknya  setiap orang.

Dalam konsep hukum administrasi, setiap pemberian wewenang kepada suatu badan atau kepada pejabat administrasi negara selalu disertai dengan “tujuan dan maksud” diberikannya wewenang itu, sehingga penerapan wewenang itu harus sesuai dengan “tujuan dan maksud” diberikannya wewenang itu.

Dalam hal penggunaan wewenang tersebut  tidak sesuai dengan “tujuan dan maksud” pemberian wewenang itu maka telah melakukan penyalahgunaan wewenang (“détournement  de pouvoir”).

Parameter “tujuan dan maksud” pemberian wewenang  dalam menentukan terjadinya penyalahgunaan wewenang dikenal dengan asas spesialitas (specialialiteitsbeginsel). Asas ini dikembangkan oleh Mariette Kobussen dalam bukunya yang berjudul De Vrijheid Van De Overheid. Secara substansial specialialiteitsbeginsel mengandung makna bahwa setiap kewenangan memiliki tujuan tertentu.

Dalam Undang-Udang Administrasi Pemerintah (UUAP) Penyalahgunaan wewenang merupakan gebus yang terdiri dari tiga spesies yang berbeda-beda yakni, melampaui wewenang, mencampur adukan wewenang, bertindak sewenang- wenang. UUAP tidak menjelaskan pengertian penyalahgunaan wewenang, hanya mengkualifikasi 3 jenis spesies penyalahgunaan wewenang sebagaimana disebut di atas.

Dikaitkan dengan kewenangan Peradilan Tata Usaha Negara dalam menguji penyalahgunaan wewenang vide pasal 21 UUAP harus dilihat dalam konteks yang terbatas yakni semata dalam aspek pengujian penyalahgunaan wewenang yang menimbulkan kerugian keuangan negara.

Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dalam Pasal 41 ayat (5) dan Pasal 42 ayat (5) menegaskan bahwa tata cara pelaksanaan peran serta masyarakat dan pemberian penghargaan dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi perlu diatur dengan Peraturan Pemerintah. Peran serta masyarakat tersebut dimaksudkan untuk mewujudkan hak dan tanggungjawab masyarakat dalam penyelenggaraan negara yang bersih dari tindak pidana korupsi.

Di samping itu, dengan peran serta tersebut masyarakat akan lebih bergairah untuk melaksanakan kontrol sosial terhadap tindak pidana korupsi. (*)