AMBON. Siwalimanews – Penghentian penyidikan yang dilakukan oleh Kejaksaan Negeri Ambon telah menimbulkan spe­kulasi dan membawa keresahan masyarakat akan maraknya tindak pidana korupsi.

Akademisi Hukum Unpatti Sher­lock Lekipiouw mengatakan, secara substansial penjelasan teknis dari Kejaksaan Agung haruslah dilihat secara propor­sional dimana kepen­tingan hu­kum diletakan pada aspek materiil, dimana suatu tindak pidana telah terjadi dan menim­bulkan akibat.

Artinya,  akibat dari perbuatan mem­perkaya diri yang telah menyebabkan terjadinya dugaan ko­rupsi selesai, oleh karena telah dila­kukan pengembalian kerugian nega­ra oleh para pelaku tindak pidana.

“Memang pada titik itulah ke­mudian kejaksaan selaku penyidik menghentikan perkara aquo dan kemudian menimbulkan spekulasi dari beragam opini yang berkem­bang, terhadap kasus aquo, tentu­nya akan menimbulkan pro dan kon­tra dalam melihat substansi kasus aquo,” jelas Sherlock saat diwawan­carai Siwalima melalui telepon selulernya, Senin (21/2).

Menurutnya, jika yang dilihat adalah perbuatannya atau formilnya maka tentunya syarat dan prasyarat berkaitan dengan bukti permulaan atau alat bukti, maka substansinya akan diletakan pada unsur delik korupsi sebagaimana dimaksud dalam UU Tipikor Nomor 31 Tahun 1999.

Baca Juga: Hentikan Kasus Korupsi DPRD Ambon, MAKI: Tinjau Ulang!

Tetapi, sebaliknya jika diletakan dalam prespektif akibat perbuatannya secara materil maka pengembalian kerugian negara sebagai akibatnya telah dikembalikan, sehingga jaksa tentu akan memilih pilihan hukum untuk menghentikan perkara.

Kata Sherlock, atas perbuatan pe­ngertian penyidikan ini telah menim­bulkan keresahan dari masyarakat akan semakin marak tindak pidana korupsi, namun disisi lain,  hak untuk menghentikan penyidikan tidak serta merta harus diartikan demikian.

Karenanya, kedepan BPK sebagai lembaga pengawasan perlu memper­jelas aspek teknis prosedural terkait dengan mekanisme temuan atas duga­an perbuatan yang diduga terindikasi pada aspek korupsi, sehingga tidak lagi menimbulkan berbagai polemik dan juga substansi hukumnya.

“Jika rekomendasi atas temuan itu ada pada pengembalian kerugian negara, tidak perlu masuk dalam ranah projustisia melalui rangkaian penyelidikan sehingga fokus hanya pada aspek administrasinya tidak pada aspek pidananya,” tandasnya

Desak Transparan

Sementara itu, Dirut. Mollucas Corruption Watch (MCW)  Salahuddin Hamid Fakaubun meminta Kejari Ambon transparan soal prosedur pe­ngembalian kerugian negara yang telah dilakukan oleh oknum-oknum DPRD Kota Ambon.

Kata dia, kendati Kejaksaan Agung sudah menanggapi pemberitaan pemberhentian penyelidikan terhadap dugaan kasus korupsi di DPRD Kota Ambon oleh Kejari Ambon dengan dalil sudah sesuai prosedur, tetapi MCW menilai informasi yang disampaikan itu tidak utuh.  “Tetapi kami berkeyakinan bahwa informasi yang di dapatkan oleh Ke­jak­saan Agung pasti tidak utuh, sebab hemat kami banyak hal yang belum dibuka secara utuh ke publik terkait persoalan ini,” ujar Fakaubun dalam rilisnya kepada Siwalima, Senin (21/2).

Ia menyebutkan, Kejari Ambon tidak transparan soal pengembalian dana dari pihak DPRD itu waktunya ka­pan, sebab kerugian negara/daerah ber­dasarkan ketentuan dalam Un­dang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan didefinisikan sebagai kekurangan uang, surat berharga dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai  “Didalam Pasal 1 angka 15 UU BPK,”rincinya.

Dalam hal terjadi kerugian negara/daerah, lanjut Fakaubun, maka harus dilaksanakan ganti kerugian yakni sejumlah uang atau barang yang da­pat dinilai dengan uang yang harus di­kembalikan kepada negara/daerah oleh seseorang atau badan yang telah me­lakukan perbuatan melawan hu­kum, baik sengaja maupun lalai.  “(Pa­sal 1 angka 16 UU BPK,” tegasnya.

Jika dilihat dan mengikuti prose­dur pengembalian keuangan negara, kata Fakaubun, maka dalam pera­turan BPK Nomor 2 tahun 2010, da­lam pasal 1 dan 2 berbicara mengrenai tindak lanjut temuan BPK, sememtara mengenai batas waktu pengembalian diatur dalam ayat 3 itu secara eksplisit menjelas­kan soal batas pengembalian ke­uangan negara.

“Saya mau tambahkan bahwa agar publik tidak keliru soal keterangan tim penyidik soal kerugian negara. Saya mau luruskan dan jelaskan bahwa kejaksaan tidak punya kewenangan untuk menghitung kerugian ke­uangan negara. Ada lembaga negara lain yang punya wewenangan untuk menghitung keuangan negara. Itu menyalahi profesionalitas dalam penyelidikan,” tegasnya.

Dia meminta, tim penyidik untuk membaca baik-baik UU tipikor secara jelas jangan sepenggal-sepenggal, karena antara pasal yang satu dengan pasal yang lain punya keterkaitan.

Hal ini ditegaskan secara jelas dalam pasal 4 UU Nomor 31 tahun 1999 Ten­tang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang menyatakan bahwa, pe­ngembalian kerugian keuangan nega­ra atau perekonomian keuangan ne­gara tidak secara otomatis meng­hapus tindak pidana korupsinya, sebagai­mana dimaksud dalam pasal 2 dan 3 UU tindak Pidana Korupsi.

“Jadi Jika perbuatan itu telah meme­nuhi unsur pidana maka pengembalian kerugian keuangan negara secara otomatis tidak menghapuskan proses pidanannya karena unsur-unsurnya terpenuhi,” paparnya.

Tindak pidana korupsi itu merupa­kan delik formil, artinya apabila perbuatan pelaku telah menuhi unsur maka pelaku sudah bisa dipidanakan, tidak perlu lagi timbul akibat.

“Misalnya seperti dugaan kasus ko­rupsi di DPRD Kota Ambon, pihak-pi­hak yang diduga terlibat telah meng­embalikan kerugian keuangan negara jadi tidak dapat dipidana. Itu salah besar dan sangat keliru, sebab delik for­mil itu walapun uang hasil korupsi­nya sudah dikembalikan tetap proses hukumnya tetap berjalan, sebab per­buatan korupsinya meski uang hasil korupsinya sudah dikembalikan ke kas negara,” imbuhnya.

Dia melanjutkan,  manfaat peng­em­balian keuangan negara hasil korupsi itu bukan hanya bentuk penyelamat uang negara, tapi tujuan utamamya hanya untuk meringan­kan beban hukumanya saja apabila proses hukumnya berjalan.

“Jadi tim penyidik Kejari Ambon harus lebih transparan dan jujur menjelaskan posisi kasus yang sebenarnya. Maka dari itu tidak ada alasan yang logis untuk menutup perkara korupsi ini meski sudah mengembalikan uank hasil korupsi tersebut,” tegasnya lagi.

Sebagai Lembaga yang fokus me­ngawal kasus dan isu-isu korupsi di Maluku, MCW akan tetap mengawal kasus ini hingga tuntas, dan akan me­ngadukan proses ini ke lembaga hukum yang lain.  “Hemat kami bahwa keputusan yang diambil oleh penyidik untuk tidak melanjutkan proses hu­kum dugaan kasus korupsi di Seker­tariat DPRD Kota Ambon ini sangat keliru, dan tidak berdasar dan kepu­tusan itu telah melukai masyarakat Kota Ambon karena dinilai tidak adil dan diskrimitif terhadap kasus-kasus yang lain di Maluku,” katanya.

Sebagai LSM yang fokus pada isu-isu anti korupsi, MCW akan tetap berdiri didepan untuk melawan dan memberantas korupsi di Maluku termasuk dugaan kasus korupsi di DPRD Kota Ambon.  “Ada beberapa data korupsi yang sudah kami miliki berdasarkan penelusuran dan hasil tracking. Kami berkesimpulan semen­tara bahwa Kota Ambon sedang Darurat Korupsi. Untuk MCW mengajak semua elemen agar mari sama-sama kita jihad melawan korupsi sebab korupsi di Kota Ambon ini sudah masuk di berbagai sektor jdi sudah waktunya kita jihad untuk memberantas kejahatan ini agar tidak menyebar dengan.

Tinjau Ulang

Seperti diberitakan sebelumnya, Ke­jaksaan Agung harus meninjau ulang keputusannya mendukung langkah Kejari Ambon, yang bertentangan dengan aturan hukum.

Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman akan meminta Kejaksaan Agung untuk meninjau ulang peng­hentian kasus dugaan penyalahgu­naan anggaran di Sekretariat DPRD Kota Ambon Rp5,5 miliar sesuai temuan BPK.

Boyamin menyayangkan sikap Kejagung yang mestinya mengoreksi dan memerintah Kejaksaan Negeri Ambon menindaklanjuti kasus du­gaan koupsi di DPRD Kota Ambon ke penyidikan dan bukan menghentikan dengan alasan uang negara telah dikembalikan.

“Saya menyayangkan sikap Kejak­saan Agung yang mestinya mengo­reksi sikap dari Kejari Ambon dalam penanganan perkara korupsi di DPRD Ambon. Mestinya Kejagung memerin­tahkan untuk meneruskan penyelidi­kan, ternyata mengamini dan menye­tujui apa yang dilakukan Kejari Ambon,” jelas Saiman melalui voice Whatsappnya kepada Siwalima, Sabtu (19/2).

Menurutnya, langkah kejaksaan yang demikian justru akan memper­buruk penegakan hukum di Indonesia dan kedepannya penanganan ka­sus DPRD Kota Ambon ini menjadi contoh buruk suburnya korupsi di Indonesia. “Ini adalah sikap yang kurang baik bagi penegakan hukum kedepannya. Orang bisa berpikir kalau korupsi cepat-cepat saja, karena tidak menuntut, karena akan berpikir yang sama dengan Kejari Ambon ini, bahwa kalau mereka cepat-cepat mengembalikan uang negara, ya minta ditutup dan tidak diproses lanjut,” kesalnya.

Sikap kejaksaan yang demikian, lanjut Saiman, akan membuat orang berani korupsi, padahal pasal 4 UU Ti­pikor sudah sangat jelas menye­butkan bahwa, pengembalian uang tidak menghapus pidana yang dila­kukan. Pidana dimaksudkan adalah tindakan korupsi itu. “Karena kenapa nanti kalau ketahuan cepat-cepat dikembalikan aman dan bebas. Pada­hal, amanat pasal 4 UU Korupsi kan pengembalian kerugian negara tidak menghapus pidana, artinya tidak me­nghapus korupsi. ini kan juga sama dengan yang terjadi di masyarakat luas, pencuri TV saja ketahuan meski­pun dikembalikan dia masih dikebuki orang sekampung, dan tetap diproses hukum oleh polisi,” tegasnya.

Proses pengembalian ini pun, lanjut dia, kalau dalam hukum itu dibedakan atas kemauan sendiri atau bukan ke­mauan sendiri. Jika itu  atas kemauan sendiri bisa saja tidak dituntut. Artinya sebelum ketahuan oleh penegak hu­kum mengembalikan. Sedangkan pada kasus dugaan  korupsi di DPRD Kota Ambon ujarnya, proses pengembalian boleh dibilang terpaksa, karena jaksa sudah melakukan pemeriksaan dan dipanggil barulah dikembalikan.

“Itu­lah kalau dalam korupsi meringankan, yang di Ambon ini setelah dilakukan  penyelidikan dan setelah dipanggil-panggil oleh Kejaksaan Negeri Ambon jadi mereka itu mengembalikan bukan karena keihklasan karena kemauan sendiri tetapi karena terpaksa, sehingga mestinya diproses lebih lanjut soal uang sudah kembali itu hanya unsur meringankan. Nampaknya kejaksaan Agung maupun Kejaksaan Negeri itu memahami putusan yang keliru dari dari putusan Mahkamah Konstitusi itu, nah keputusan MK itu kan kalau kemudian ada kesalahan administrasi yang sifatnya bisa ditolerir, tetapi kalau sudah terbukti ada perbuatan pidananya maka harus tetap diproses lebih lanjut,” tegasnya.

Menurutnya, penghentian kasus dugaan korupsi di DPRD Kota Ambon adalah kepentingan sepihak dan tidak membela kepentingan masyara­kat sebagai korban dari korupsi.

Ia janji akan tetap melakukan upaya yang bias dimungkinkan oleh hukum, dan bisa saja mendorong masyarakat Ambon melakukan praperadilan.

“Saya mencoba meriview ke Keja­gung supaya merubah sikapnya dan memerintahkan untuk meneruskan penyelidikan,” tegasnya.

Keliru Terapkan Aturan

Sementara itum akademisi Hukum Pidana Unpatti, Raymond Supusepa berpendapat, diihentikannya pena­nga­nan kasus tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh Kejaksaan Negeri Ambon yang diduga melibatkan ang­gota DPRD dan mengakibatkan keru­gian keuangan negara Rp5,5 miliar dengan alasan kerugian negara telah dikembalikan adalah penerapan hukum yang keluru.

“Menurut pendapat saya, kerugian keuangan negara itu kemudian tidak bisa mengesampingkan pasal 4, dima­na pasal 4 ini berkaitan erat dengan mengembalikan kerugian negara tidak menghapus pidana. Jika dihubung­kan dengan kewenangan jaksa dalam menghentikan perkara dalam tahap penyelidikan, menurut pendapat beta bahwa, itu ada suatu hal yang salah  dalam sistim penerapan hukum di Indonesia, khususnya tindak pidana korupsi,” ujar dia.

Pasalnya,  Kejari Ambon lanjutnya, telah keliru dalam menerapakan aturan, kejaksaan berpatokan pada aturan teknis kejaksaan dan bukan Pasal 4 UU Tipikor yang dala hirakhi peraturan perundang-undangan mempunyai kedudukan yang tertinggi dari aturan teknis kejaksaan.

“Karena kalau aturan-aturan teknis yang dilakukan oleh kejaksaan sehu­bungan dengan penghentian ini, itu dia bersifat aturan teknis dan bukan bersifat teknis undang-undangan, Se­dangkan pasal 4 itu merupakan norma yang harus diikuti oleh aparat penegak hukum, apabila ada terjadi pengem­balian kerugian keuangan negara tidak menghapus pidana,” tegasnya.

Kata Supusepa, seharusnya unsur tindak pidana ini sudah terpenuhi, dan seharusnya jaksa meningkatkan ke tahap penyidikan.

Aturan teknis dimaksudkan yaitu kejaksaan berpatokan pada peraturan teknis yang diatur oleh jaksa., yakni surat edaran Jampidus  No B.1113 tahun 2010, berkaitan erat dengan perioritas dan pencapaian dalam perkara tindak pidana korupsi. Aturan teknis itu juga dikuatkan dengan  pe­tunjuk teknis penanganan Tindak Pidana Korupsi berdasarkan surat Jampidsus Nomor 765 tahun 2018, berkaitan erat dengan tahap penyeli­dikan tindak pidana korupsi,

Kepada Siwalima melalui teleponn selulernya, Sabtu (19/2), Supusepa mengatakan kewenangan yang dilaku­kan oleh jaksa dalam tahap penyeli­dikan tindak pidana korupsi itu hanya kepada kasus-kasus dimana jumlah kerugian relatif kecil, dalam hal pelaku tindakan pidana telah mengembalikan kerugian keuangan negara, kemudian bisa diterbitkan laporan hasil penye­lidikan dan kemudian perkara itu bisa dihentikan ditahap penyelidikan.

“Harus digaris bawahi bahwa per­kara untuk kasus-kasus dimana jumlah keuangan negaranya kecil. Jadi kalau mengaju pada pasal yang diajukan itu menurut saya kerangka berpikir dari kejaksaan itu mengaju pada aturan tahun 2010 dan 2018 dan mengaju pada dan UU Kejaksaan Nomor 16 Tahun 2004, pasal 35 (a) yang ber­kaitan erat dengan pengendalian kebijakan penegakan hukum keadilan dalam ruang lingkup tugas dan kewenangan kejaksaan,” jelasnya.

Dan karena bertolak pada dua atu­ran teknis kejaksaan itulah, maka sam­pai di Kejagung pun akan berpen­dapat yang sama. Tetapi harusnya diingat dan digaris bawahi bahwa, aturan-aturan teknis yang disampaikan itu hanya untuk kasus-kasus dimana jumlah kerugian keuangan negara dalam jumlah kecil, sehingga tang­gung jawab jaksa untuk melakukan penyelidikan itu bisa berkoordinasi dengan lembaga-lembaga seperti Ins­pektorat dan bisa dihentikan, ketika jumlah kerugian keuangan negara itu yang sangat kecil bisa dikembalikan dan terjadi penyetoran dana kerugian keuangan negara dari pelaku ini boleh dihentikan.

Tetapi dalam perkara dugaan tindak pidana korupsi di DPRD Kota Ambon sangatlah berbeda sehingga penang­ga­nannya tidak bisa menggunakan aturan teknis kejaksaan, karena jumlah kerugian negaranya sangat besar, dan harusnya menggunakan aturan Pasal 4 UU Tipikor.

Jika kemudian dihubungkan dengan kasus ini, lajutnya, maka seharusnya dilihat dari sistim hirakhi peraturan Perundang-Undangan. Dimana Pera­turan Teknis itu hanya berlaku untuk kejaksaan.  Namun ketika norma dalam pasal 4 itu sudah ada sebagian  bagian dari Undang-Undang, maka yang digunakan adalah Undang-undang

“Berdasarkan Lex superior dego­gat legi inferiori Oleh karena itu Pa­sal 4 mengatakan bahwa mengem­bali­­kan kerugian negara itu tidak menghapus, pidana korupsinya. Dan juga dijelaskan dalam pasal 4 ber­kaitan erat dengan kerugian keua­ngan negara itu, harus diproses da­lam proses peradilan, sehingga de­ngan alasan aturan-aturan teknis itu, menurut pendapat saya, bahwa seharusnya ditingkatkan ke tahap penyidikan,” tegasnya.

Argumentasinya, ungkap Supu­sepa, pertama  pada Undang Un­dang Tipikor pasal 2 ayat (1) dan pasal 3 dihubungkan dengan kerugian keua­ngan Negara, maka yang harus dicari oleh penyelidikan adalah apakah ini merupakan peristiwa pidana ataukah tidak dalam tahap penyelidikan.

Kedua, apakah unsur-unsur melawan hukum, unsur memperkaya diri sendiri itu  memiliki benang merah. atau memiliki hubungan, apakah ada perbuatan melawan hukum. Pasal 2 ayat (1) dihubungkan dengan nilai kekayaan dari pejabat negara itu, apakah berdasarkan itu ada transaksi keuangan yang beredar ke para pelaku tindak pidana korupsi ataukah tidak dalam transaksi perbankan.

Selanjutnya, dikaitkan dengan pasal 3, berkaitan erat dengan pe­nya­lahgunaan kewenangan sarana yang ada padanya sebagai seorang pejabat atau seorang pegawai ne­geri. Disitulah dihubungkan dengan menguntung­kan diri sendiri, apakah ada peristiwa dimana berpindahnya harta kekayaan dari keuangan ne­gara kepada pejabat-pejabat terten­tu. Itu bisa ditindak­lanjuti oleh OJK dalam transaksi perbankan, bisa juga ditindaklanjuti dengan melihat laporan LHKPN untuk melihat kekayaan keuangan negara itu naik. Karena peristiwa pidana ini sudah dianggap selesai.

“Jadi perbuatan ini sudah selesai ditahap penyelidikan walaupun telah mengembalikan kerugian keuangan negara, maka perbuatan pidanya telah selesai jika dihubungan dengan hukum administrasi negara, maka adanya maal administrasi,” katanya.

Dikatakan lagi, soal kerugian ke­uangan negara disitu ada pengecua­liannya didalam Pasal 4 bahwa pe­ngembalian keuangan negara itu ter­jadi tahap penyelidikan, itu perbua­tannya telah selesai sehingga norma hukumnya walaupun mengembalikan kerugian keuangan negara tidak menghapus pidana.

Seharusnya, kata Supusepa, aparat penegak hukum dalam penanganan perkara ini, harus melihat tentang unsur pasal 2 ayat (1), dan tidak ada etikat baik dari tahap administrasi tadi, dan jika anggota dewan mau mengembalikan kerugian negara maka itu harus terjadi pada saat ada temuan atau laporan BPK dimana dan dikembalikan tepat waktu maka pasti dari pihak BPK akan menerbitkan surat bahwa tidak ada lagi kerugian keuangan negara, sehingga bagi aparat penegak hukum tidak bisa lagi untuk untuk memproses dalam proses pidana, karena kerugian keuangan negara menurut hukum administrasi atau mekanisme administrasi tidak pernah ada.

Namun kalau tidak ditindaklanjuti oleh pelaku tindak pidana korupsi dan kerugian keuangan negara itu pindah kepada rekening atau kekayaan dari pada pelaku, otomatis perbuatan itu telah selesai, dan tahap penyelidikan adalah merupakan serangkaian tindakan dari penyelidik untuk menemukan suatu perbuatan pidana, perbuatan tindak pidana korupsi itu telah ada dan seharusnya ditingkatkan ke penyidikan. (S-20/S-05)