AMBON, Siwalimanews – Kalangan akademisi menduga vonis yang dijatuhkan kepada Tagop, akibat kurang telitinya majelis hakim.

Kendati putusan majelis hakim Pengadilan Tipikor Ambon ter­hadap mantan Bupati Buru Sela­tan, Tagop Sudarsono Soulissa tidak bisa diintervensi, tetapi ada hal menarik yang perlu dipapar­kan konstruksi hukum dari pu­tusan tersebut.

Majelis hakim pengadilan Tipi­kor Ambon, Kamis (3/11), mem­vonis Tagop Soulissa 6 tahun pen­jara, lebih ringan 4 tahun dari 10 tahun yang dituntut KPK padanya.

TS sapaan akrab Tagop juga dibe­baskan dari pembayaran uang peng­ganti yang dituntut KPK, Rp27,5 miliar dan hanya dibebankan mem­bayar denda sebesar Rp300 juta.

Hakim juga menyatakan, peneri­maan aliran dana sebesar Rp23.279. 750.000 dari rekanan dan Organisasi Perangkat Daerah sebagaimana tun­tutan KPK bukan merupakan grati­fikasi.

Baca Juga: KPK Harus Bisa Buktikan

Padahal sebelumnya, KPK me­ngungkapkan, Dana jumbo Rp23. 279.750.000 itu bersumber dari 5 rekanan dan 37 organisasi perangkat daerah, termasuk camat di lingkup Pemerintah Kabupaten Buru Sela­tan, dengan angka yang bervariasi,  sejak tahun 2015 hingga 2021.

Menanggapi hal ini, akademisi Hukum Unpatti, George Leasa men­duga hakim kurang teliti mendalami unsur pasal 12 a dan 12 b yang disangkakan kepada TS.

Dia mendukung penuh langkah KPK mengajukan banding terhadap putusan majelis hakim terhadap TS.

Dijelaskan, sudah tepat jika KPK mendakwa Tagop dengan rumusan pasal 12 a dan 12 b UU Tindak Pidana Korupsi, sebab norma hukum dari dua ayat tersebut tidak me­nyebutkan siapa yang memberikan uang kepada pegawai negeri sipil atau pimpinan atau rekanan.

“Kalau bicara terkait norma itu maka disitu tidak mengatakan siapa yang menjanjikan tetapi ditujukan kepada pegawai negeri atau penye­lenggara yang karena jabatannya berarti apa yang dimaksud dalam pasal ini adalah tanpa menye­but­kan, siapa sebagai orang yang memberikan,” ungkap Leasa.

Rumusan pasal tersebut,  lanjut Leasa berbunyi, pegawai negeri atau penyelenggara negara yang mene­rima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkan agar melaku­kan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertenta­ngan dengan kewajibannya.

Menurutnya, siapapun itu yang memberikan baik pegawai atau bawahan atau juga rekanan tetapi sepanjang uang tersebut adalah untuk mempengaruhi penyeleng­garaan negara yang karena jabatan­nya, maka dapat dihukum.

Apalagi yang memberikan sejum­lah uang tersebut adalah rekanan artinya, bahwa rekanan tersebut memang tahu persis bahwa uang tersebut diberikan kepada seorang pejabat negara yang punya jabatan.

“Kalau kepala OPD kasih uang dalam kaitan dengan uang dinas apakah terbukti dapat dibuktikan bahwa itu uang jalan, ataukah justru sebaliknya uang diberikan sebagai kewajiban dari proyek pemerintah. Artinya harus betul-betul melihat konsepsi dari pasal 12 a dan 12 b,” tegas Leasa.

Lanjut Leasa, TS dalam kedudu­kannya justru harus dan patut me­ngetahui bahwa uang yang diterima berasal dari orang tertentu dengan maksud tertentu, apalagi dalam rumusan pasal secara tegas mengan­dung unsur patut diduga.

“Jadi harus ajukan banding karena disitu tidak pernah disebutkan bah­wa yang memberikan bawahan atau orang tertentu, tetapi ada kata patut ketahui dalam rumusan pasal yang menjadi pemberat artinya, sebagai seorang pimpinan maka dia harus mengetahui bahwa bawahannya kasih untuk siapa atau kemudian kontraktor kasih untuk apa,” be­bernya.

Mantan Dekan Fakultas Hukum Unpatti dua periode ini pun meminta hakim pada Pengadilan Tinggi untuk memeriksa perkara ini secara objektif, sesuai dengan konstruksi pasal 12 a dan b sebagai dakwaan penuntut umum.

Dukung Banding

Terpisah, praktisi hukum Paris Laturake mengatakan pengajuan banding merupakan hak baik jaksa penuntut umum maupun kuasa hukum terdakwa dan hukum acara pidana memberikan ruang untuk upaya hukum itu dilakukan.

“Pengajuan banding itu hak para pihak apalagi hukum acara menjamin hak itu jadi silahkan dilakukan,” ujar Laturake.

Bagi Laturake ketika KPK menga­jukan banding maka pasti ada ketidaksepakatan antara JPU de­ngan pertimbangan majelis hakim yang memutuskan perkara, apalagi jika pidana yang dijatuhkan majelis hakim jauh dibawah tuntutan jaksa.

Karenanya, Laturake meminta Majelis hakim pada pengadilan ban­ding untuk memeriksa memori banding yang dilakukan Jaksa Penuntut Umum secara adil agar tujuan hukum itu dapat tercapai

Buktikan

Seperti diberitakan sebelumnya, hanya kurungan penjara selama 6 tahun dijatuhkan hakim kepada mantan penguasa Kabupaten Buru Selatan itu.

Oleh majelis hakim Pengadilan Tipikor Ambon, Kamis (3/11), Tagop Sudarsono Soulissa divonis 6 tahun penjara, lebih ringan 4 tahun dari 10 tahun yang dituntut padanya.

Vonis tersebut terasa spesial, lan­taran politikus PDIP itu dibebaskan dari pembayaran uang pengganti yang dituntut KPK, Rp27,5 miliar dan hanya dibebankan membayar denda sebesar Rp300 juta.

Sebelumnya, JPU KPK menuntut Tagop dengan pidana penjara 10 tahun, denda  500 juta subsider satu tahun dan uang pengganti sebesar Rp27,5 milliar, dengan ketentuan jika terdakwa tidak mampu membayar diganti dengan hukuman penjara selama 5 tahun.

Tak hanya itu, JPU KPK juga memberikan hukuman tambahan kepada Tagop berupa pecabutan hak untuk dipilih dalam pemilihan umum selama 5 tahun, terhitung sejak menyelesaikan pidana.

Tuntutan JPU tersebut terpatah­kan oleh majelis hakim, Tagop di­vonis 6 tahun penjara dan membayar denda Rp300 juta.

Menanggapi hal ini, akademisi Hukum Pidana Unpatti, Diba Wadjo menilai bahwa putusan hakim tidak bisa diintervensi, karena hakim bekerja sesuai UU No 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

Hakim bekerja dan memutuskan, lanjut Wadjo sesuai dengan fakta-fakta persidangan yang ada, sehi­ngga jika mantan Bupati Bursel, Tagop dibebaskan dari uang peng­ganti sebesar Rp27,5 M, ini menjadi catatan bagi KPK untuk membuk­tikan tuntutannya di tingkat banding.

Kepada Siwalima melalui telepon selulernya, Minggu (6/11) Diba men­jelaskan, KPK harus mampu mem­bantah dan membuktikan putusan hakim yang menyatakan bahwa penerimaan uang dari organisasi perangkat daerah bukan gratifikasi, adalah keliru.

Karena menurutnya, penerimaan uang atau hadiah dengan adanya imbalasan apapun itu sudah term­a­suk gratifikasi, hanya saja mem­buktikan unsur-unsur gratifikasi tersebut sehingga Tagop dibebas­kan dari tuntutan ini, KPK sebagai Jaksa Penuntut Umum pada tingkat banding juga harus mampu membuktikannya.

“Karena sekali lagi yang saya bilang, putusan hakim itu tidak bisa diintervensi, sehingga dikembalikan kepada KPK sebagai JPU untuk membuktikannya di tingkat banding,” ujarnya.

Dia mengakui, sebagai aparat penegak hukum baik itu jaksa, polisi maupun hakim memiliki tanggung jawab untuk bersama-sama membe­rantas korupsi, dimana dalam proses penegakan itu bukan hukuman ba­dan saja yang dikejar dikenai sanksi pidananya, tetapi juga uang negara dikembalikan ke kas negara, karena itu hak rakyat.

Karena itu, lanjutnya, Tagop tidak dibebankan membayarkan Rp27,7 miliar ini harus mampu dibuktikan lagi oleh KPK, sehingga pengem­balian uang negara itu bisa dikem­balikan ke kas negara.

“Intinya saya kira KPK harus benar-benar mampu membuktikan sehingga ketika di tingkat banding itu bisa terbukti. Dan sah-sah saja jika KPK banding, karena putusan­nya jauh dari tuntutan JPU, sehi­ngga ada upaya hukum lanjut yang bisa ditempuh yakni banding, dan itu sah-sah saja, tinggal bagaimana KPK membuktikannya,” ujarnya.

KPK Banding

Sebagaimana diberitakan, eks Bupati Buru Selatan itu divonis majelis hakim dengan pidana 6 ta­hun penjara.

Tagop dinyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah secara bersama-sama telah menerima se­jumlah uang sebesar 400 juta secara bertahap.

Tindakan Tagop melanggar pasal 12 a dan 12 b Undang-undang No­mor 31 Tahun 1999 sebagaimana di­ubah dalam undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberan­tasan Tindak pidana korupsi jo pasal 55 ayat (1) KUHPidana.

Putusan tersebut dibacakan ha­kim ketua, Nanang Zulkarnain Faizal dalam persidangan yang digelar di Pengadilan Tipikor Ambon, Kamis (3/11).

Sementara terkait gratifikasi, hakim berpendapat bahwa uang yang diterima sebagaimana disebut­kan JPU dalam tuntutannya bahwa Tagop telah menerima sejumlah uang dari beberapa organisasi pe­rangkat daerah dan rekanan tidak dianggap sebagai suatu tindakan gratifikasi.

Hakim juga membebaskan Tagop dari uang pengganti sebesar Rp27,5 miliar.

Selain Tagop, majelis hakim juga menjatuhkan vonis kepada orang dekatnya, Johny Reinhard Kasman dengan pidana 4 tahun penjara.

Putusan majelis hakim ini lebih rendah jika dibandingkan dengan tuntuta JPU KPK, yang menuntut orang nomor satu yang pernah berkuasa di Kabupaten Bursel itu dengan pidana 10 tahun penjara.

Selain pidana badan, Tagop juga dituntut membayar denda 500 juta subsider satu tahun dan uang pe­ngganti sebesar Rp27,5 milliar, dengan ketentuan jika tidak mampu membayar diganti dengan hukuman penjara selama 5 tahun.

Tak hanya itu, JPU juga mem­berikan hukuman tambahan kepada Tagop berupa pecabutan hak untuk dipilih dalam pemilihan umum selama 5 tahun, terhitung sejak me­nyelesaikan pidana.

Sedangkan orang dekatnya, Joh­ny dituntut  5 tahun penjara, denda Rp200 juta subsider 6 bulan penjara

Terhadap putusan majelis hakim tersebut, JPU KPK, Taufic Ibnu­gro­ho Cs dalam persidangan menya­takan akan mengajukan banding. Sementara kuasa hukum Tagop dan Johny menyatakan pikir-pikir.

Dituntut 10 Tahun

Sebelumnya, JPU KPK menuntut mantan Bupati Buru Selatan, Tagop Sudarsono Soulissa dengan pidana 10 tahun penjara.

Tagop dinyatakan terbukti secara sah dan menyakinkan bersalah me­lakukan tindak pidana korupsi berupa penerimaan gratifikasi secara berlanjut.

Tuntutan KPK  tersebut dibaca­kan dalam sidang lanjutan yang digelar di Pengadilan Tipikor Ambon, Kamis (29/9) dan dipimpin Hakim Nanang Zulkarnain.

KPK menyebutkan, terdakwa tidak memiliki etikat baik untuk me­ngakui perbuatannya.

Tindakan terdakwa juga dinilai JPU sebagai upaya menghambat pengusutan kasus mengingat dalam memberikan keterangan terdakwa selalu berbelit belit.

Selain pidana badan, Tagop juga dituntut membayar denda 500 juta subsider satu tahun dan uang peng­ganti sebesar Rp27,5 milliar, dengan ketentuan jika tidak mampu mem­bayar diganti dengan hukuman pen­jara selama 5 tahun.

Tak hanya itu, JPU juga mem­berikan hukuman tambahan kepada Tagop berupa pecabutan hak untuk dipilih dalam pemilihan umum selama 5 tahun, terhitung sejak me­nyelesaikan pidana.

Menanggapi tuntuntan jaksa, Tagop melalui kuasa hukumnya mengajukan pembelaan. selanjutnya majelis hakim memberikan waktu untuk menyusun nota pembelaan selama dua minggu. Sidang kemu­dian ditutup dan dilanjutkan kembali pada 13 Oktober dengan agenda pembelaan terdakwa.

Terima Suap 23,2 Miliar

Sebelumnya, KPK bongkar habis peran Tagop dalam sidang perdana di Ambon.

Tagop resmi menjalani sidang perdana di Pengadilan Tipikor Ambon, Kamis (16/6) dengan agenda pembacaan dakwaan oleh jaksa penuntut umum KPK.

JPU dalam dakwaannya menye­but­kan, terdakwa TSS, sapaan akrab Tagop, menerima aliran dana se­besar Rp23.279.750.000.

Dana jumbo itu bersumber dari lima rekanan dan 37 organisasi pe­rangkat daerah, termasuk camat di lingkup Pemerintah Kabupaten Buru Selatan, dengan angka yang berva­riasi,  sejak tahun 2015 hingga 2021.

KPK juga menyebutkan terdakwa menerima uang dari sejumlah reka­nan atau kontraktor yaitu, pertama Benny Tanihattu, selaku Direktur Utama PT Gemilang Multi Wahana dan Komisaris PT. Cahaya Citra Mandiri Abadi dari tahun 2012 s/d 2014 uang sebesar Rp1.980.000.000.

Kedua, terdakwa menerima uang dari Andrias Intan Alias Kim Fui, Direktur Utama PT. Beringin Dua se­kaligus sebagai pemilik PT. Tunas Harapan Maluku, PT Kadjuara Man­diri dari tahun 2012 s/d 2015 sebesar Rp400.000.000.

Ketiga, terdakwa menerima uang dari Venska Yauwalata, Direktur PT Beringin Dua dan sebagai salah satu pemegang saham atau komisaris dari PT Tunas Harapan Maluku pada tanggal 29 Januari 2014 sebesar Rp50.000.000.

Keempat, terdakwa menerima uang dari Abdullah Alkatiri selaku Direktur PT Waesama Timur dan persero pasif CV Kampung Lama Permai pada tanggal 20 Januari 2012 sebesar Rp 25.000.000 dan fasilitas hiburan  senilai Rp40.000.000,00

Kelima, terdakwa menerima uang dari Rudy Tandean selaku Direktur PT. DINAMIKA MALUKU pada ta­nggal 29 Mei 2015 sebesar Rp75. 000.000 melalui transfer.

Dari OPD

KPK juga menyebutkan Tagop menerima langsung uang sebesar Rp9.180.000.000,00 yang berasal dari 37 organisasi perangkat daerah sejak tahun 2011 sampai 2021.

Dikatakan, sejak tahun 2012-2021  terdakwa di kediamannya menerima uang Kadis Kesehatan Ibrahim Banda setiap tahun sebesar Rp350. 000.000 dan total Rp2,800.000.000.

Berikutnya, OPD lainnya yang dikumpulkan oleh Badan Pengelo­laan Keuangan dan Asset Daerah dari tahun 2011 sampai dengan ta­hun 2021, Terdakwa menerima uang setiap tahunnya Rp380.000.000,00 yang berasal dari 37 OPD/SKPD masing-masing sekitar Rp5 juta s/d Rp10 juta serta 6 orang Camat sekitar Rp2,5 juta.

Bahwa uang tersebut oleh ben­dahara masing-masing OPD/SKPD atau kecamatan disetorkan kepada Kabid Perbendaharaan BPKAD, sehingga total uang yang telah diterima oleh Tagop dari tahun 2011 sampai dengan 2021 sebesar Rp3.800.000.000,00.

Penerimaan Melalui Johny

Penuntut Umum KPK  mengung­kapkan, Tagop menerima uang me­lalui orang kepercayaannya Johny Rynhard Kasman sebesar Rp14.099. 750.000 dari para rekanan/kontraktor di Kabupaten Buru  dengan rincian sebagai berikut: Satu, Ivana Kwelju Direktur Utama PT Vidi Citra Ken­cana dari tahun 2015 sampai 2017 total sebesar Rp3.950.000.000.

Dua, terdakwa menerima uang dari Andrias Intan alias Kim Fui, Direktur Utama PT Beringin Dua sekaligus sebagai pemilik PT Tunas Harapan Maluku, PT Kadjuara Mandiri tahun 2016, Andrias Intan alias KIM FUI uang sebesar Rp9.737.450.000,00 melalui Johny Rynhard Rasman.

Tiga, Terdakwa menerima uang dari Abdullah Alkatiri selaku Direk­tur PT. Waesama Timur dan persero pasif CV. Kampung Lama Permai pada tanggal 20 Januari 2012 se­besar Rp30.000.000 melalui Johny Rynhard Kasman.

Empat, terdakwa menerima uang dari Rudy Tandean selaku Direktur PT. Dinamika Maluku pada tanggal 3 Juni 2015 sebesar Rp300.000,000 melalui Johny Rynhard Kasman.

Lima, terdakwa menerima uang dari Venska Yauwalata Direktur PT Beringin Dua dan sebagai salah satu pemegang saham/komisaris dari PT Tunas Harapan Maluku pada ta­nggal 29 Januari 2014 sebesar Rp82.300.000.

Bahwa penerimaan uang yang seluruhnya sejumlah Rp23.279.750. 000 selanjutnya  digunakan untuk ke­pentingan pribadi terdakwa.

Saat menerima uang tersebut, terdakwa tidak pernah melapor­kannya kepada KPK, dalam teng­gang waktu 30 hari kerja sejak di­terima, sebagaimana yang dipersya­ratkan dalam Undang-Undang No­mor 31 Tahun 1999 tentang Pembe­ran­tasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-

Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pi­dana Korupsi, sehingga seluruh pe­nerimaan uang tersebut merupakan gratifikasi yang diterima oleh ter­dakwa yang tidak ada alas hak yang sah menurut hukum.

Perbuatan terdakwa tersebut, haruslah dianggap pemberian suap karena berhubungan dengan jabatan terdakwa selaku Bupati Buru Selatan sebagaimana diatur dalam pasal 12C ayat (1) dan (2) Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang- undang nomor 20

Tahun 2001 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi serta berlawanan dengan kewajiban dan tugas terdakwa sebagai penyelenggara negara yang tidak boleh melakukan korupsi, kolusi dan nepotisme serta menerima

gratifikasi sebagaimana dalam ketentuan pasal 4, 5 dan 6 Undang –undang RI Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari

Korupsi, Kolusi dan Nepotisme dan bertentangan dengan pasal 76 ayat (1) huruf e Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah Jo Undang-undang Nomor 12 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah.

Kata KPK, terdakwa sebagai bupati memiliki kewenangan dan kekuasaan secara umum sebagai Pengguna Anggaran (PA),  mengatur dan mengelola APBD Kabupaten Buru Selatan serta memiliki kewenangan untuk mengangkat dan memberhentikan pejabat pada OPD di Kabupaten Buru Selatan.

Terdakwa juga memiliki supir pribadi sekaligus orang kepercayaannya yaitu Johny Rynhard Kasman yang bertugas mengurusi keperluan pribadi terdakwa diluar kedinasan diantaranya, membayar kredit/cicilan terdakwa, menerima transfer uang, dan menarik uang di rekening milik Johny Rynhard Kasman yang dipergunakan terdakwa menampung uang dari para rekanan/kontraktor yang mengerjakan proyek di Kabupaten Buru Selatan. (S-20)