GMNI Dukung Polda Usut Tuntas Kasus Penjualan Senpi
AMBON, Siwalimanews – Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) mendukung Polda Maluku mengusut tuntas kasus penjualan senjata api ke kelompok kriminal bersenjata (KKB) di Papua.
Delapan orang sudah ditetapkan tersangka dan resmi ditahan yakni, SAP dan MRA (anggota Polri), MS anggota TNI-AD dari Yonif 733/Masariku, AL (TNI-AU), SN, RM, HM dan AT merupakan warga sipil.
Sekretaris GMNI Ambon, Alberthus Pormes mengungkapkan, sikap dan tindakan yang dilakukan oleh dua oknum penegak hukum tersebut sangat dikecam, lantaran menjual senjata api ke KKB di Papua.
“Apapun bentuk tindakan yang dilakukan oknum polisi beberapa waktu lalu terkait dengan penjualan amunisi dan senjata yang dilakukan kepada KKB Papua. Kami sangat mengecam hal tersebut,” jelasnya kepada Siwalima, Minggu (28/2).
Menurutnya, tindakan yang dilakukan para tersangka ini tidak bertanggungjawab dan perlu diberikan hukuman yang berat, apalagi oleh aparat penegak hukum.
Baca Juga: Kapolresta: Rekonstruksi Suat di JMP Tergantung Penyidik“Kita mendukung segala upaya pengambangan kasus ini dan meminta kepada Polda Maluku agar melakukan pemecatan secara tidak terhormat kepada beberapa oknum anggota polisi tersebut,” pintanya.
Pormes berharap, kedepan langkah pembinaan dilakukan kepada seluruh anggota baik polisi maupun TNI, agar kecil kemungkinan terjadi hal yang sama di hari-hari mendatang.
“Kami juga meminta kepada publik untuk tidak mengeneralisir hal tersebut dalam Institusi kepolisian, karena yang dilakukan adalah oknum dan mari kita mendukung upaya pengembangan kasus tersebut agar berjalan dengan baik,”pintanya.
Ia juga berharap kedepan, proses pengawasan dan pembinaan dilakukan bukan hanya kepada lembaga kepolisian, tetapi TNI dan sipil harus dilakukan pengawasan yang sama dalam rangka pencegahan.
Akui Anggotanya Terlibat
Seperti diberitakan sebelumnya, TNI Angkatan Udara akhirnya mengakui keterlibatan satu anggotanya, dalam penjualan senjata api ke KKB di Papua.
Keterlibatan satu oknum anggota TNI-AU itu menambah daftar orang yang terlibat menjadi delapan. Mereka diantaranya empat warga sipil, dua oknum anggota Polresta Pulau Ambon dan Pulau-pulau Lease dan dua oknum anggota TNI yakni TNI-AD dan TNI-AU.
Delapan orang yang sudah ditetapkan tersangka dan resmi ditahan yakni SAP dan MRA (anggota Polri), MS anggota TNI-AD dari Yonif 733/Masariku, AL (TNI-AU), SN, RM, HM dan AT merupakan warga sipil.
Danlanud Pattimura, Kolonel Pnb Sapuan kepada Siwalima Kamis (25/2) mengaku, berdasarkan hasil pengembangan dan penyelidikan pihak TNI-AU, satu prajurit berinisial Praka AL, resmi ditetapkan tersangka dan sudah ditahan.
“Kita resmi tahan Praka AL setelah melakukan proses penyelidikan dan kerja sama yang baik dengan Polda Maluku,” ungkap Danlanud.
Ia menjelaskan, keterlibatan anak buahnya itu sebagai pemberi pistol revolver yang akhirnya sampai ke tangan oknum anggota Polresta Ambon. Dalam mendalami kasus ini, TNI-AU terus melakukan pengembangan terhadap pihak lain yang diduga turut terlibat.
“Kita kembangkan terus kasus ini, karena dugaan masih ada keterlibtan pihak-pihak lain,” katanya.
Praka AL saat ini diketahui anggota POM Lanud Pattimura. Danlanud menegaskan, tersangka Praka AL terancam dipecat dan dijerat dengan UU Darurat yakni UU Nomor 12 Tahun 1951 dengan ancaman manimal 20 tahun penjara dan maksimal hukuman mati.
Ciderai Institusi
Akademisi Hukum Unpatti, George Leasa mengatakan, oknum anggota TNI dan Polri di Maluku yang terlibat penjualan senpi dan amunisi KKB di Papua telah menciderai institusinya.
Sebagai anggota Tni maupun Polri, oknum-oknum tersebut dapat dikategorikan penghianat negara karena menjual senpi kepada kelompok separatis di Papua. “Tindakan ini merusak NKRI. Mereka dapat dikategorikan penghianat negara,” ujar Leasa kepada Siwalima Rabu (24/2).
Dikatakan, untuk pemberian sanksi kepada oknum-oknum anggota TNI dan Polri ini seharusnya institusi memberikan hukuman berat, bila perlu dipecat dulu baru dihukum sesuai kepemilikan senjata dan amunisi yang dimiliki para pelaku.
Hal yang sama juga diungkapkan anggota Komisi I DPRD Provinsi Maluku, Benhur Watubun. Politisi PDI-P ini mengatakan, oknum-oknum anggota Polresta Ambon dan 733/Masariku ditangkap dan ditahan oleh institusinya lantaran diduga menjual senpi dan amunisi ke KKB di Provinsi Papua dianggap menciderai institusi.
“Ini mengindikasikan ada jaringan terselubung yang ikut bermain dalam institusi kepolisian dan TNI. Olehnya patut diwaspadai,” kata Watubun.
Ia berharap, TNI dan Polri segera memproses keterlibatan anggotanya karena telah berhianat kepada negara. “Setiap penghianatan itu kiranya segera diproses dan mendapat hukuman yang berat. Kami berharap masalah ini mesti diusut hingga ke akarnya. Saya masih menaruh harapan besar kepada internal Polri dalam mengusut keterlibatan oknum anggotanya,” pungkas Watubun.
Hukuman Mati
Para tersangka yang terlibat terancam hukuman mati hingga sanksi pemecatan dari institusi baik TNI maupun Polri.
Mereka dijerat UU Darurat sebagaimana diatur dalam pasal 1 UU Nomor 12 Tahun 1951 dengan ancaman manimal 20 tahun penjara dan maksimal hukuman mati. Selain itu juga kepada tersangka yang berasal dari institusi Polri dan TNI selain hukuman tersebut diatas juga dikenakan sanksi tegas berupa pemecatan.
Dalam keterangannya kepada pers di Ambon, Selasa (23/2), Kapolresta Ambon dan Pulau-pulau Lease, Kombes Leo Surya Nugraha Simatupang tidak sendiri, tapi didampingi Danpomdam XVI Pattimura, Kolonel CPM Johny Paul Johanes Pelupessy, Kabid Humas Polda Maluku, Kombes Roem Ohoirat, Dirreskrimum Polda Maluku, Kombes Sih Harno dan Kabid Propam Polda Maluku, Kombes Mohamad Syaripudin.
Sebanyak Tujuh tersangka sudah ditahan, empat warga sipil dua dari institusi Polri dan satu tersangka lainnya dari TNI-AD. Sedangkan satu anggota TNI yang diduga TNI-AU sampai sekarang belum ditetapkan tersangka dan ditahan karena peran yang bersangkutan masih didalami.
Mereka yang ditahan yakni SAP dan MRA merupakan oknum anggota Polri yang bertugas di wilayah hukum Polresta Pulau Ambon dan Pulau-pulau Lease. Tersangka lainnya MS oknum TNI dari satuan Yonif 733 Masariku serta SN, RM, HM dan AT yang merupakan warga sipil. “Jadi mekanisme penjualan senpi dan amunisi ilegal yang kemudian sampai ke tangan KKB itu benar berasal dari anggota Polri,” ujar Simatupang.
Dikatakan, untuk senjata rakitan laras panjang jenis SS1 dijual oleh oknum anggota polri berinisial SAP alias S, sementara senjata api jenis revolver dijual oleh oknum anggota polisi berinisial MRA yang sebelumnya juga mengaku pernah melakukan transaksi jual beli senpi.
“Setelah dilakukan penyelidikan, kepemilikan senjata rakitan jenis SS1, diketahui diperoleh dari salah satu oknum anggota Polri inisial SAP alias S dimana senjata dijual kepada saudara J yang ditangkap oleh Polres Bintuni. Sedangkan senjata revolver bisa dimiliki J juga berasal dari angota Polri MRA. Senjata ini didapat dari sesorangan yang masih dikembangkan, kemudian diserahkan lagi kepada sipil atas nama SN dan dijual kembali ke J. Untuk MRA ini kali kedua dirinya melakukan transaksi sebelum akhirnya ditangkap,” beber Simatupang.
Belum diketahui secara pasti asal muasal senjata rakitan yang diperjualbelikan tersebut, namun dari penyelidikan motif penjualan senpi yaitu hunya memperoleh keuntungan. Simatupang juga mengungkapkan total enam tersangka yang sudah diamankan belum keseluruhan, masih terdapat pelaku lain yang hingga kini masih dalam pengembangan dan pengejaran.
“Asalnya senjata rakitan masih kita telusuri namun motifnya untuk mendapat keuntungan. Jadi senjata dibeli dari warga dengan harga Rp 6 juta dan dijual lagi seharga Rp 20 juta. Kalau untuk tersangka sendiri sebagian besar sudah tertangkap, namun masih ada yang belum. Untuk itu karena TKPnya ada di wilayah hukum Polresta Ambon dan Pulau-pulau Lease, maka kita akan terus telusuri dan ditindak lanjuti,” janji Simatupang.
Kabid Propam Polda Maluku , Kombes M Syaripudin menegaskan, tak hanya hukuman pidana, oknum anggota Polri yang terlibat juga akan diberi sanksi berupa pemberhentian tidak dengan hormat alias pecat.
“Aturan jelas apabila seseorang anggota Polri melakukan tindak pidana, dan dihukum minimal empat tahun penjara, maka dia akan diberi tambahan sanksi berupa pemecatan atau pemberhentian tidak dengan hormat,” tegas Syaripudin. (S-52)
Tinggalkan Balasan