AMBON, Siwalimanews – Puluhan mahasiswa yang tergabung di Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI) dan Gerakan Ma­hasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Ca­bang Ambon, me­nyer­bu Kantor Gu­bernur Maluku, Se­nin (31/1).

GMKI dan GMKI meminta, Pemprov Maluku tidak menu­tup mata dari warga Kariu tetapi turut ber­tanggung jawab untuk pembangunan rumah masyarakat.

“Seharusnya Pemprov Maluku  bertanggung untuk pembangunan rumah masyarakat Kariu, karena mereka sudah menjadi korban dari masyarakat Ori,” ungkap  Glen per­wakilan GMKI saat berorasi di depan Kantor Gubernur.

GMKI mendesak Pemprov Ma­luku memberikan kepastian mem­bantu warga Kariu yang kini me­ngungsi di Desa Aboru.

“Harus ada kerja nyata yang dilakukan oleh pemerintah kepada warga Negeri Kariu,” teriaknya.

Baca Juga: Gedung Gereja Karmel Dobo Mulai Dibangun

Sementara itu, Wily yang mewakili GMNI dalam orasinya menegaskan keutuhan kolektif masyarakat harus diperjuangkan.

“Sebenarnya dari pergerakan kami ingin memperjuangkan bahwa mas­yarakat sudah menjadi korban dan tugas pemerintah sebagai mediator selalu mengumandangkan proses perdamaian, tetapi dilain sisi harus juga bertanggung jawab atas ke­rusakan rumah-rumah warga Kariu yang terjadi akibat konflik tersebut,” tandasnya.

Menurutnya, APBD maupun APBN yang dikucurkan, tidak perlu lagi kepada pihak kepolisian, karena mereka sudah tidak bisa diharapkan, Rp111 triliunan dari APBN itu sangat luar biasa, tetapi tugas dan fungsi mereka tidak bisa melakukan apa-apa.

Setelah melakukan orasi secara bergantian beberapa menit akhirnya Wakil Gubernur Maluku Barnabas Orno didampingi Kepala BIN daerah Maluku Brigjen Jimmy Aritonang serta Kepala Kesbangpol menemui para demonstran.

Di depan massa Wagub mengaku, baru selesai menggelar rapat koor­dinasi dengan jajaran Kementerian Polhukam, terkait persoalan tapal batas tanah di Haruku.

“Kami baru saja melakukan rapat koordinasi dengan jajaran Menko­polhukam untuk bagaimana menye­lesaikan persoalan tapal batas di Haruku,” ujar Orno.

Namun, sayangnya hasil rapat koordinasi tersebut, belum dapat dikemukakan ke publik, karena belum mencapai titik final.

“Kami belum dapat menyampaikan hasil rapat karena saat ini belum mencapai titik final, sebab terhadap persoalan ini bukan berbicara ten­tang persoalan individu, makanya kita butuh penyelesaian masalah secara terpadu. Kedepannya nanti kita lihat prosesnya,” ucap Wagub.

Wagub juga mengaku, Pemprov Maluku akan membentuk tim ter­padu bersama Kemenkopolhukam guna menyelesaikan masalah ini.

Usai mendengar penjelasan Wa­gub massa kemudian membubarkan diri dengan aman dan tertib.

Harus Cepat Tangani

Pemerintah diminta untuk me­ngambil langkah cepat untuk me­nangani masalah Kariu.

Seperti yang dikutip dari website sinodegpm.id, Majelis Pekerja Ha­rian Sinode GPM menilai, berkaitan dengan penyerangan atas warga Kariu pada, Rabu (26/1) oleh warga Dusun Ori dan Desa Pelauw yang diperlengkapi senjata organik, maka pemerintah harus bertindak cepat untuk menanganinya.

Dari anatomi permasalahan, ada tiga agenda pokok yang sudah harus dilaksanakan secara cepat, namun komprehensif oleh pemerintah, yakni Pertama, penanganan peng­ungsi Kariu yang saat ini berada di Aboru. Mereka sudah harus ditem­patkan kesatu lokasi pengungsian, dalam rangka memulihkan kondisi kemanusiaan.

Jika tidak, mereka akan menjadi warga negara yang diterlantarkan oleh negara. Mereka bukan membu­tuh­kan bantuan natura dalam kebi­jakan tanggap darurat saja, tetapi ruang dan tempat untuk memba­ngun hidup yang lebih manusiawi.

“Kami tidak tahu, apakah ini harus ditangani oleh BNPB atau Dinas Sosial, tetapi berkaitan dengan be­ban trauma masyarakat Kariu, harus ada lokasi yang sekaligus menjadi bagian dari pemulihan rasa trauma. Jika itu di Pulau Haruku, atau di luar pulau Haruku, maka pemerintah harus cepat memprosesnya,” tulis pihak Sinode website tersebut.

Kedua, rehabilitasi rumah-rumah yang dibakar di Kariu. Pemerintah bertanggungjawab merehabilitasi semua rumah yang dibakar oleh massa penyerang/perusuh. Hal itu terkait dengan hak atas properti yang musnah oleh tindak kekerasan, sebagai bentuk tindak kriminal yang dilakukan kelompok masyarakat lain (Pelauw dan Ori).

Rehabilitasi itu adalah, jaminan langsung bahwa masyarakat Kariu dapat kembali ke negerinya dan tinggal diatas tanah serta di dalam rumah miliknya, dan mereka tidak lagi menjadi pengungsi atau kelompok etnik yang tercabut dari akar kulturalnya, karena tindak kriminal penyerangan.

Untuk itu, proses ini harus dibarengi dengan jaminan keamanan sebagai kewajiban negara (Polri dan TNI) dengan membangun pos keamanan yang permanen dan penugasan personel yang netral atau nasionalis.

Ketiga, penegakan hukum sebagai jaminan keadilan kepada seluruh warga negara Indonesia, terutama masyarakat Kariu yang secara langsung menjadi korban tindak kriminal berupa pemarangan, penyerangan dan pembakaran rumah.

Pelaku pemarangan, pelaku penyerangan dan pembakaran serta aktor intelektualnya sudah harus ditangkap dan diproses. Malah jika ada aparat kepolisian yang diduga terlibat pun harus segera diproses secara transparan dan terbuka.

Kepolisian Daerah Maluku harus segera membuktikan kinerja dan langkah cepatnya, bukan kemudian terbuai dalam berbagai isu lain yang kesannya untuk mengalihkan tindak kriminalitas itu ke kasus-kasus perdata. Namun jika ada masalah keperdataan lainnya, baiknya hal itu diselesaikan juga sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku

Ini tiga langkah yang sudah harus dilakukan oleh pemerintah saat ini, sebab ini juga yang sudah disampaikan masyarakat Kariu secara langsung kepada Wakil Gubernur Maluku, Pangdam XVI Pattimura dan Kapolda Maluku dalam kunjungan di Aboru pada Kamis, (27/1) kemarin.

Desak Copot

Ikatan Pemuda Pelajar  Mahasiswa Pelauw (IPPMAP) segera mencopot Kapolres Pulau Ambon dan Pulau-pulau Lease, Kombes Pol Raja Arthur Lumongga dan Kapolsek Haruku, AKP Subhan Amin.

IPPMAL menilai kedua orang itu lalai dalam memberikan perlin­du­ngan kepada dua negeri berte­tangga Dusun Ori Negeri Pelauw dan Negeri Kariu, Kecamatan Pulau Haruku saat bentrok pada 26 Januari 2022 yang lalu.

“Kami minta Kapolda segera copot Kapoolres Pulau Ambon dan Kapolsek Haruku karena lalai dan sengaja membiarkan konflik terjadi di Ori dan Kariu,” kata Ketua Tim Advokasi Matasiri (Pelauw), Ismail Tuasikal saat mendampingi IPPMAP memberikan keterangan kepada pers di Ambon, Senin (31/1).

Tuasikal menyampaikan rasa kekesalannya kepada pemerintah dalam hal ini Gubernur Maluku, Murad Ismail, Pangdam XVI/Pattimura, Mayjen Richard Rampubulon dan Kapolda Maluku.

Menurutnya, konflik Ori-Kariu merupakan akibat dari kelalaian negara yang sengaja membiarkan pelanggaran HAM terjadi di dua negeri itu. Sejak awal lanjut Tuasikal, banyak terjadi ketersinggungan yang dilakukan Negeri Kariu hingga akhirnya berujung ke proses hukum, namun hal itu tidak ditanggapi pihak kepolisian.

Sebagai Ketua Tim Advokasi Matasiri, Tuasikal meminta kepada Polda Maluku untuk segera mengungkap actor dibalik konflik tersebut serta mnghukum oknum-oknum yang secara sengaja berada dibalik konflik tersebut.

Kritik Gubernur

Sementara itu, tokoh masyarakat sekaligus sesepuh PDIP yakni Everd Kermite dan Bito Temmar mengkritik Gubernur Maluku, Murad Ismail.

Kermite mengaku, prihatin lantaran pasca bentrok terjadi di Kariu, Gubernur Maluku, dan Ketua DPRD Lucky Wattimury belum sempat melihat rakyatnya ditempat pengungsian.

Apalagi keduanya berada pada pengurus PDIP yang duduk dibangku pimpinan dan juga sebagai representasi rakyat, harusnya Gubernur dan Ketua DPRD merasa masalah ini besar adalah satu masalah yang besar, sehingga sebelum jajarannya sudah harus ada ditempat untuk memberi ketenangan kepada mayarakat.

“Perhatian tidak cukup dengan hanya memerintahkan bawahanya. Kehadiran seorang Gubernur dan Ketua DPRD punya kesan yang luar biasa,” tandas Kermite kepada Siwalima, Senin (31/1).

Mantan Ketua Komisi II DPRD Maluku ini, mendesak pemerintah, baik provinsi maupun Kabupaten Malteng untuk mengambil langkah-langkah konkrit bagi korban, dengan membuat kebijakan pembangunan rumah warga yang terdampak.

Ditempat terpisah sesepuh PDIP lainnya yang juga mantan Bupati KKT Dua Periode Bito Temmar manilai, kepekaan elit pemda dan DPRD di Maluku sangat rendah.

Menurutnya, Sudah ada indikasi awal akan terjadi konflik di wilayah Haruku, namun DPRD maupun pemda baik provinsi maupun kabupaten tidak cukup tanggap, sehingga terjadi situasi seperti itu.

Selain kepada Gubernur, Temmar juga menyesalkan tindakan Ketua DPRD Maluku, Lucky Wattimury yang sebenarnya sudah mendapat informasi terkait kondisi di Haruku, namun tidak merespon. (S-21/S-10/S-07)