Ferry Tanaya Jadi Tersangka
Korupsi Pengadaan Lahan PLTG Namlea

AMBON, Siwalimanews – Pengusaha Ferry Tanaya ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan korupsi pembelian lahan pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Gas (PLTG) di Namlea, Kabupaten Buru.
Lahan seluas 48.645, 50 hektar di Desa Sawa itu adalah milik Ferry, dan dibeli oleh PLN Wilayah Maluku dan Maluku Utara untuk pembangunan PLTG 10 megawatt.
Diduga ada kongkalikong antara Ferry, PLN Wilayah Maluku dan Maluku Utara yang saat itu dipimpin Didik Sumardi dan pihak BPN Kabupaten Buru dalam transaksi pembayaran.
Sesuai Nilai Jual Objek Pajak (NJOP), harga lahan itu hanya Rp 36.000 per meter2, namun mereka main mata untuk melakukan mark up, sehingga merugikan negara lebih dari Rp 6 miliar.
Penetapan Ferry sebagai tersangka berdasarkan Surat Penetapan Tersangka Nomor: B-749/Q.1/Fd.1/05/ 2020, tanggal 08 Mei 2020.
Baca Juga: Jaksa Tuntut Pengangkut Cinnabar 2,6 Tahun BuiSelai Ferry, Kejati Maluku juga menjerat mantan Kepala Seksi Pengadaan Tanah BPN Kabupaten Buru, Abdul Gafur Laitupa. Lelaki 46 tahun ini ditetapkan sebagai tersangka berdasarkan Surat Penetapan Tersangka Nomor: B-750/Q.1/Fd.1/05/2020, tanggal 08 Mei 2020.
“Kejaksaan telah menetapkan dua orang tersangka dalam perkara pengadaan lahan PLTG Namlea yaitu, FT dan AGL,” kata Kasi Penkum Kejati Maluku, Samy Sapulette kepada Siwalima melalui WhatsApp, Kamis (4/6).
Kedua tersangka dijerat Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 jo Pasal 18 UU Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana dirubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. “Kita akan panggil saksi-saksi untuk melengkapi berkas perkara kedua tersangka,” kata Sapulette lagi.
Negara Dirugikan 6 Miliar
Seperti diberitakan, hasil audit BPKP Maluku menemukan kerugian negara Rp 6 miliar lebih dalam pembelian lahan seluas 48.645, 50 hektar di Desa Sawa, Kecamatan Namlea, Kabupaten Buru.
Kasi Penkum Kejati Maluku, Samy Sapulette mengaku, hasil audit dari BPKP diterima pada Selasa 17 Maret.
“Benar laporan hasil audit penghitungan kerugian keuangan negara terkait perkara dugaan Tipikor dalam pelaksanaan pengadaan tanah untuk pembangunan PLTG Namlea sudah diterima oleh penyidik,” kata Sapulette, kepada wartawan, di Kantor Kejati Maluku, Selasa (17/3).
Untuk diketahui, status hukum kasus ini dinaikan ke tahap penyidikan sejak akhir Juni 2019, setelah dalam penyelidikan, penyidik Kejati Maluku menemukan buktibukti kuat adanya perbuatan melawan hukum yang merugikan negara.
Lahan seluas 48.645, 50 hektar itu, dibeli oleh PT PLN Wilayah Maluku dan Maluku Utara dari pengusaha Ferry Tanaya untuk pembangunan PLTG 10 megawatt.
Sesuai NJOP, lahan milik Ferry Tanaya itu hanya sebesar Rp 36.000 per meter2. Namun jaksa menemukan bukti, dugaan kongkalikong dengan pihak PLN Wilayah Maluku dan Maluku Utara yang saat itu dipimpin Didik Sumardi, sehingga harganya dimark up menjadi Rp 131.600 meter2.
Jika transaksi antara Ferry Tanaya dan PT PLN didasarkan pada NJOP, nilai lahan yang harus dibayar PLN hanya sebesar Rp.1.751.238. 000. Namun NJOP diabaikan. PLN menggelontorkan Rp.6.401. 813.600 sesuai kesepakatan dengan Ferry Tanaya. (Mg-2)
Tinggalkan Balasan