POLEMIK prokontrak ekspor benih bening lobster (Puerulus) yang terjadi ialah wajar di tengah upaya membangun lapangan kerja sektor perikanan. Berdasarkan kajian Bappenas-OECD (2021), setidaknya ada potensi 21,88 juta lapangan kerja dari sektor biru sebanyak, 9,18 juta jiwa. Jumlah terbesar ialah dari usaha budi daya perikanan yang disusul pengolahan ikan. Dalam kontek ekspor lobster, ada dua kutub pemikiran, yaitu konservasi dengan prinsip natural recovery process dan semi artificial recovery process. Kalau dipahami lebih dalam, makna keduanya ialah prinsip sustainable lobster management. Sustainable lobster management bermakna keberlanjutan populasi (reproduksi, recruitment, dan stock enhancement), ekologi (kesehatan habitat), bisnis (lapangan kerja, pasar, data management), dan ekonomi (income generating bagi masyarakat, pelaku usaha, dan bangsa). Di atas kedua pemikiran ini, penulis melihat ada tiga kepentingan mendasar yang dapat mereduksi perbedaan tersebut.

Kepentingan ini seharusnya jadi pertimbangan untuk kemajuan perikanan Indonesia.   Kepentingan kita ADVERTISEMENT ADVERTISEMENT Kepentingan pertama yang harus dijadikan perhatian ialah masalah pengawasan penangkapan dan ekspor. Kekhawartiran ini sangat beralasan, saat pelarangan ekspor benih, penyelundupan tetap terjadi. Berdasarkan data berbagai sumber, penyelundupan selama periode 2015-2022 yang penulis catat sebanyak 2,26 juta benih digagalkan, dengan prakiraan nilai ekonomi berdasarkan data estimasi sewaktu penangkapan sebesar Rp235 miliar/tahun.

Pemikiran sederhana, dalam kondisi ada pengawasan dan pembatasan, jumlah ekspor ilegal yang digagalkan sangat tinggi. Bagaimana jika dilegalkan dan pengawasan di pintu keluar tidak memadai? Perlu diingat bahwa penyelundupan selama ini banyak terjadi di black gate, yaitu pintu yang tidak resmi sebagai titik ekspor. Dengan jumlah hari layar 90 atau 105 hari per tahun pengawasan, diprediksi semakin besar potensi stok benih keluar tanpa izin. Artinya, potensi black market Puerulus dapat semakin besar dan melemahkan daya saing usaha budi daya. Jadi, hipotesis ekspor benih dilegalkan akan meminimalkan black market bisa terealisasi jika pengawasan ditingkatkan. Kepentingan kedua ialah penguatan daya saing global lobster kita dengan memperkuat pasar domestik dan internasional. Pada era pandemi ini, pasar domestik terasa lebih rasional dari pasar ekspor. Dari sisi ekonomi, legalisasi ekspor dapat berefek melemahnya ekonomi pembudi daya nasional.

Logika sederhana, ketika benih lebih cepat mendatangkan uang, akan ada kecenderungan terjadi eksploitasi benih berlebih. Eksploitasi berlebih karena efek intensitas penangkapan yang meningkat terkait dengan kebutuhan memperoleh uang cash secara cepat oleh nelayan. Kenyataan penulis menemukan di daerah selatan Jawa Barat banyak masyarakat beralih profesi jadi penangkap benih dan meninggalkan budi daya. Begitu juga ketika tidak ada pengawasan dan pencatatan data benih penjualan nelayan penangkap, potensi kebocoran tetap tinggi. Kebocoran berikutnya ialah rendahnya pendapatan dari ekspor benih jika dibandingkan dengan ekspor dewasa. Dengan bea tarif ekspor Rp0,25 untuk per ekor benih crustasea Puerulus (PP 75/2015), dengan potensi 2 miliar benih, potensi ekonomi Puerulus mencapai Rp60 triliun (pada harga Rp30 ribu per ekor berdasarkan survei di Teluk Bumbang sebelum Implementasi Permen KP Nomor 56/2016). Sementara itu, potensi pendapatan negara hanya Rp500 juta dengan asumsi tanpa ada budi daya dalam negeri. Dengan potensi stok 2 miliar dan dikembangkan budi daya dengan SR 40% (skenario optimistis), potensi stok dewasa mencapai 800 juta ekor.

Dengan asumsi penjualan size 2 ekor per kg dan harga rata-rata Rp400 ribu, potensi ekonominya mencapai Rp160 triliun. Sementara itu, potensi pendapatan negara dengan 800 ekor dewasa mencapai Rp400 miliar. Dari perhitungan sederhana ini, terlihat bahwa ekspor benih sama sekali tidak kompetitif dan tidak memberikan efek ganda baik pada nelayan penangkap, daya saing usaha lobster, maupun pendapatan negara selain efek uang cash, serta keuntungan eksportir. Akankah kita meneruskan ekspor tanpa bisa mengambil manfaat lebih besar untuk bangsa kita? Kepentingan ketiga yang harus diperhatikan dalam sistem bisnis lobster ialah momentum cipta lapangan kerja yang tengah digaungkan pemerintah. RUU omnibus law dan era pandemi covid-19 harusnya dijadikan momentum menciptakan lapangan kerja dalam negeri bagi rakyat Indonesia. Penguatan sistem budi daya akan mampu menyerap lebih banyak lapangan pekerjaan. Satu hal yang belum jelas dalam sistem usaha dan budi daya, persentase dari kuota yang akan dijadikan benih budi daya dan yang akan dijadikan ekspor. Dengan tidak mengekspor benih dan fokus membangun sistem usaha lobster bisa dijadikan solusi cipta lapangan kerja yang kompetitif. Jika ekspor benih tetap dilakukan, diperkirakan akan meningkatkan kebocoran ekonomi dan kehilangan potensi lapangan kerja yang seharusnya bisa diraih. Saat ini seharusnya sektor perikanan dan kelautan harus hadir sebagai solusi dalam penyediaan lapangan kerja dan ekonomi bangsa.

Baca Juga: Tantangan Guru di Indonesia

Jalan tengah Dari perbedaan pandangan yang ada dan dengan tetap mengedepankan prinsip sustainable fisheries from stock to welfare, setidaknya ada tiga langkah yang dapat dipilih. Pertama ialah melarang atau menghentikan ekspor benih lobster. Dengan menghentikan ekspor, margin dan multiplier effect dapat diambil bangsa sendiri. Budi daya lobster bisa menyumbang tenaga kerja yang diperlukan sektor perikanan. Kedua membangun etalase budi daya lobster secara masif. Etalase budi daya akan menjadi window show bisnis terintergasi dari benih sampai pemberdayaan masyarakat dan cipta ekonomi serta lapangan kerja.

Tantangan bagi pemerintah, etalase kampung lobster di Lombok Timur jangan jadi semangat tahunan tanpa realisasi yang nyata. Ketiga dengan memberikan insentif bagi pelaku usaha yang mampu menyiapkan sistem terintegrasi dari benih sampai ekspor pada etalase tersebut. Setiap pelaku usaha yang mampu memberikan lapangan kerja, memberdayakan masyarakat diberikan insentif dalam perizinan dan lainnya. Dengan mengambil jalan ini, bisnis usaha lobster tanpa ekspor benih akan mampu menjadikan perikanan lebih berdaya saing. Dengan langkah ini, Puerulus sibening halus laksana intan yang mengoda setiap orang akan tetap bersama kita dan menyejahterakan.Oleh: Yonvitner Dosen MSP/Kepala Pusat Kajian Sumber Daya Pesisir dan Lautan (PKSPL) IPB University.