AMBON, Siwalimanews – DPRD meminta, Pem­prov Maluku menjaga kualitas perikanan Ma­luku dan lebih responsif terhadap penggunaan merkuri di gunung bo­tak yang berdampak pada potensi perikanan.

Permintaan ini disampaikan pelaksana tugas Ketua DPRD Provinsi Malu­ku, Melkianus Sairde­kut merespon pidato akademik Justinus Mal­le saat pengu­ku­han se­bagai guru be­sar MIPA Unpatti yang menyen­til terkait peno­lakan ikan asal Maluku oleh negara-negara luar.

Kepada Siwalima di Kantor DPRD Maluku, Sairdekut me­ngungkapkan, secara kelem­bagaan DPRD belum men­dapatkan data maupun kajian terkait dengan infomasi ini, Peme­rintah Provinsi Maluku harus res­pon­sif dengan infomasi ini sebab didasarkan pada hasil akademik yang dapat dipertanggungjawabkan.

“Kalau itu hasil akademik maka sebagai mitra kerja, kita minta pemerintah daerah untuk merespon cepat terhadap informasi ini,” ujar Sairdekut.

Pemerintah Provinsi Maluku, kata Sairdekut harus mengambil langkah-langkah strategis guna menganti­sipasi persoalan penggunaan mer­kuri di areal gunung botak agar tidak berdampak luas terhadap hasil perikanan di perairan Maluku.

Selain itu, jika informasi akademik ini tidak cepat direspon Pemprov, maka akan ada stigma yang buruk terhadap hasil perikanan dari Ma­luku dan menjadi bola liar yang berdampak secara nasional maupun global.

Apalagi sampai dengan saat ini, kata dia, Pemerintah Pusat belum menetapkan Maluku sebagai Lum­bung Ikan Nasional sehingga dita­kutkan jika kualitas perikanan Ma­luku ditolak justru akan mempe­ngaruhi realisasi kebijakan Maluku Lumbung Ikan Nasional akibatnya terjadi persoalan baru.

“Harus bergerak cepatlah, kalau tidak maka semacam stigma dan akan menjadi bola liar kemana-mana, bahkan dapat berpotensi terhadap kebijakan LIN dari pemerintah pusat,” katanya.

Tolak Tuna dari Maluku

Seperti diberitakan sebelumnya, maraknya penggunaan bahan kimia seperti merkuri dan sianida pada pertambangan tanpa izin atau Peti di kawasan Gunung Botak, Ka­bupaten Buru sangat berpengaruh pada sektor perikanan.

Padahal Maluku sudah dipersiap­kan menjadi Lumbung Ikan Nasional (LIN) bersama dengan Maluku Utara. Bahkan pemerintah pusat me­ngelontorkan anggaran tidak sedikit yakni Rp1,5 triliun.

“Sejumlah negara mulai menolak impor tuna dari Indonesia dengan alasan konsentrasi merkuri pada ikan tuna Indonesia telah melampaui ambang batas,” kata Ahli Kimia Anorganik pada Fakultas MIPA Universitas Pattimura, Profesor Yusthinus Male, kepada wartawan, Rabu (7/12).

Untuk itu, dirinya mengingatkan Pemprov Maluku tidak menutup mata terhadap maraknya aktivitas Peti di Gunung Botak, Kabupaten Buru.

Male dikukuhkan dalam Rapat Terbuka Luar Biasa Senat Universitas Pattimura yang dipimpin Ketua Senat, Profesor Simon Nirahua, mengeluh lemahnya pengawasan dan penegakan hukum menyebab­kan Peti dengan menggunakan mer­kuri berdampak pada berbagai sektor salah satunya perikanan.

“Negara seperti Jepang, Amerika Serikat dan Uni Eropa menolak impor ikan dari Indonesia. Ikan yang dimaksud adalah tuna yang meru­pakan komoditi utama yang berasal dari perairan Maluku. Konsentrasi merkuri pada ikan-ikan di Maluku telah melampaui ambang batas yang ditetapkan,” tegas Male.

Atas dasar itu ia menghimbau kepada Pemprov Maluku dan kabu­paten kota jangan menutup mata terhadap aktivitas Peti.

“Masifnya penggunaan bahan kimia sianida dan merkuri di Maluku disebabkan hasil riset membuktikan bahan baku sianida dan merkuri yakni sinabar yang terdapat di Desa Luhu, Seram Bagian Barat kandu­ngannya sanga berkualitas di dunia,” jelasnya.

Lanjutnya pasokan bahan baku merkuri dan sianida terbesar didunia juga berasal dari Maluku. Karena itu jika kedepan tidak diantisipasi oleh pemerintah dalam hal pengawasan dan penegakan hukum, bukan tidak mungkin kasus Minamata di Jepang akan dialami masyarakat Maluku khusus di Pulau Buru.

“Belajar dari pengalaman kasus Minamata di Jepang. Dam­-paknya tidak sekarang, tetapi harus menu­nggu 10 sampai 20 tahun baru mera­sakannya. Jadi, kasihan anak-anak cucu kita yang akan merasakan dampak tersebut,” ungkapnya.

Pada orasi ilmiahnya, Male me­nyoroti tentang “Penataan Wila­yah Pertambangan Rakyat untuk Memi­nimalisir Dampak Negatif Peti di Pulau Buru”.

“Tingginya minat pembeli merkuri dari Indonesia dikarenakan material sinabar dari Gunung Tembaga memiliki kandungan yang cukup tinggi. Padahal, material dari Gunung Tembaga akan terbawa aliran sungai sampai ke laut dan berpotensi meng­kontaminasi ekosistem perairan.

Hasil analisa kadar merkuri pada sedimen perairan laut di pesisir Teluk Piru menunjukan kadar merkuri cukup tinggi. Ini tentu saja mem­butuhkan perhatian lebih lanjut karena ekosistem Teluk Piru mirip dengan Teluk Kayeli di pulau Buru yakni kepadatan tumbuhan mangrove sehingga sangat berpotensi untuk terjadinya metabolism sinabar menjadi metal merkuri yang sangat beracun oleh aktivitas mikroba,” bebernya.

Sebagai orang Maluku, ia meng­ajak semua pihak  baik pemerintah maupun swasta untuk memikirkan konsekuensi dampak dari aktivitas PETI yang kian marak di sejumlah wilayah di Maluku.

Sementara itu, Rektor Universitas Pattimura, Profesor, M.J Sapteno dalam sambutannya pada acara pengukuhan tersebut meminta semua stakeholder tidak menga­baikan informasi ilmiah dari per­guruan tinggi. “Jangan diabaikan, sebab berbicara bahan kimia ini me­ngarah kepada kehidupan berkelan­jutan. Olehnya pemerintah daerah harus berkolaborasi dengan pergu­ruan tinggi dan lainnya guna menghindari dampak negatif bagi masyarakat.

Tak Ada Penolakan

Menanggapi hal ini pelaksana tugas Kepala DKP Provinsi Maluku Erawan Asikin mengungkapkan hingga saat ini tidak ada penolakan terhadap ekspor produk perikanan Maluku di beberapa negara tujuan seperti, Amerika Serikat, Jepang dan Vietnam yang selama ini menjadi tujuan ekspor perikanan Maluku.

Terkait persoalan ini, kata Erawan, pihaknya telah berkoordinasi de­ngan Badan Karantina Ikan, Peng­endalian Mutu dan Keamanan Hasil (BKIPM), Kementerian Kelautan dan Perikanan RI, yang berperan penting dalam mencegah masuk tersebarnya hama penyakit ikan, pengendalian mutu dan keamanan hasil perikanan.

“BKIPM telah berkoordinasi hingga ke United States’ Food and Drug Administration (FDA), merupakan lembaga pengawas obat dan makanan Amerika Serikat yang mengatur regulasi terkait produk yang dipasarkan di negara tersebut.

Dari hasil konfirmasi BKIPM ke FDA, telah disampaikan bahwa dari 2021 hingga 2022 tidak ada penolakan satupun produk perikanan Maluku. Begitu juga dengan negara tujuan ekpsor Jepang. Untuk Eropa belum ada yang diekpsor.

Erawan menjelaskan, untuk pengiriman ekspor hasil perikanan dan kelautan, para ekportir termasuk di Maluku harus memiliki sejumlah syarat yang harus dipenuhi. Syarat yang harus di penuhi diantaranya, hasil perikanan harus melalui pengujian mutu oleh BKIPM.

“Setelah dinyatakan lolos, barulah BKIPM akan mengeluarkan sertifikat Health Certificate (HC) yang artinya layak untuk ekspor,” jelas Erawan.

Kendati demikian, eksportir juga, mempunyai alat uji di masing masing Unit Pengolahan Ikan (UPI) mereka, untuk pengujian mutu ikan. Disamping itu, mereka (eksportir) juga harus memiliki sertifikasi yang didapat dari customer-customer di luar negeri. Misalnya, MSC certification (Marine Stewardship Council). MSC certification adalah salah satu sertifikasi eco-labelling yang sangat popular di pasar Internasional, terutama di USA dan negera-negara Uni Eropa dan memiliki kriteria penilaian yang sangat kompleks. (S-20)