AMBON, Siwalimanews – Komunitas Negeri Adat Hattu, Telu dan Piru meminta Komisi II DPRD Maluku untuk dapat menghentikan sementara operasional tambang nikel pada areal kobar dusun taman jaya desa piru Kecamatan Seram Barat, Kabupaten Seram Bagian Barat.

Hal ini disampaikan langsung saat melakukan audiens dengan Komisi II DPRD Maluku, yang dite­rima langsung ketua Komisi Saodah Tethool, Senin (01/9)

Usai pertemuan, koordinator mas­yarakat adat Hatu, Telu dan Piru, Agus­tinus  Latusia kepada warta­wan menjelaskan maksud kedata­ngan mereka berkaitan dengan pro­ses pertambangan yang  kembali dilakukan didaerah petuaan  Gu­nung Tinggi Dusun Telaga Kecama­tan Seram Barat dengan areal kobar dusun taman jaya Desa Piru.

Dikatakan, perusahaan  Manusela Prima Maining telah mengeksplorasi dan eksploitasi tambang nikel dan telah berjalan mulai tahun 2009 di­mana perusahaan tersebut sudah mam­pu dan sekitar tahun 2014 sebe­lum disahkannya UU Minerba telah mengekspor 28 ribu ton nikel.

Namun, perusahaan ini telah mela­kukan pekerjaan dibawah tangan tanpa sepengatahuan masyarakat dan hanya melalui satu  atau dua orang tertentu yang mengatasnama­kan Negeri untuk melakukan proses  sampai dikeluarkannya perijinan sehingga terjadi aktifitas  tambang.

Baca Juga: Bupati Harap Kualitas Pendidikan di SBB Ditingkatkan

“Setelah ditelusuri berawal dari proses 28 ribu ton nikel itu ternyata tidak jelas sampai dengan hari ini kita masyarakat terjadi saling menuduh satu dengan yang lain,” ujarnya.

Diakuinya, dari 28 ribu ton yang telah diekspor masyarakat yang ada di­desa Piru sebagai pemilik hak ula­yat tidak pernah mengetahui soal ro­yalti yang harusnya diterima sela­ku pemegang hak ulayat atau hak tanah dan bahkan tidak pernah dili­batkan dalam pembicaraan  sehingga menjadi persoalan sampai saat ini.

Tahun 2020 aktifitas perusahaan kembali berjalan pada areal kobar yang sama dan telah menimbulkan ke­resahan ditengah-tengah masya­ra­kat, karena itu untuk menjembatani keresahan ini maka komunitas adat negeri Hatu Telu Piru telah mela­lukukan beberapa proses.

Dijelaskannya, proses awal de­ngan meminta Kapolres SBB sebagai mediator untuk memperjelas persoa­lan yang diikuti dengan menyurat Pemerintah Desa untuk dilakukan audien dengan tujuan memper­ta­nya­kan apa yang dilakukan peme­rin­tah desa terkait dengan pertam­bangan.

“Kita berproses dari awal dengan menyurati Desa untuk dilakukan audien agar mempertanyakan apa yang dilakukan pemerintah desa terkait dengan pertambangan dan berproses dengan BPD untuk rapat negeri  dengan menghasilkan tiga poin,” tuturnya.

Dari penelusuran yang dilakukan, kata Agustunus ternyata ada keja­nggalan proses wilayah ijin pertam­bangan dan proses ijin usaha per­tam­­bangan dimana proses menda­patkan ijin memang dilakukan de­ngan tidak legal.

Selain itu, pelepasan hak ulayat  dilakukan oleh mantan kepala desa yang mana masa tugasnya telah berakhir pada tahun 2003 sedangkan melakukan pelepasan hak pada tahun 2006, sehingga terjadi penya­lah­gunaan kewenangan karena Mic­hael  kukupessy mantan kepala desa tidak berwenang lagi.

Agustinus berharap dengan pro­ses dan bantuan DPRD Maluku da­pat menghentikan sementara aktifi­tas tambang untuk selanjutnya ada pem­bi­caraan dengan masyarakat adat se­bab, sumber daya yang ada dapat dija­dikan sebagai pendapatan bagi negeri selain berasal dari DD dan ADD.

Sementara itu, Ketua Komisi II, Saodah Tethool mengatakan pihak­nya akan menampung semua aspi­rasi dan akan dibicarakan bersama rekan-rekan komisi lainya untuk dicarikan solusi. “Prinsipnya semua aspirasi kita tampun dan akan dicari solusi,” ujarnya.(Cr-2)