AMBON, Siwalimanews – Anggota DPRD Kota Ambon Mouritz Tamaela dipolisikan mas­yarakat Desa Hunuth, Kecamatan Baguala, Kota Ambon.

Ketua Partai Nasdem Kota Ambon itu dilaporkan lanta­ran mengaku sebagai pemilik lahan dan melakukan peme­rasan kepada warga yang me­nempati bidang tanah Eigen­dom Verponding nomor 1036 sebagai tanah bekas hak barat di Desa Hunuth, yang kini su­dah berstatus sebagai tanah milik negara.

Tak hanya itu anggota DP­RD ini juga meminta sejumlah uang kepada masyarakat yang saat ini mendiami bidang tanah tersebut sebagai bentuk ganti rugi.

Keberatan dengan sikap Tamaela, warga lalu melakukan aduan resmi melalui kuasa hukum, Herman Hattu ke Polda Maluku, Senin (20/9).

Herman Hattu kepada wartawan usai memasukan laporan aduan me­ngatakan,  bidang tanah eigendom ver­ponding nomor 1036 sebagai tanah bekas hak barat yang luasnya sekitar 17 hektar, tanah tersebut di­tempati sejumlah masyarakat Desa Hunuth dan Durian Patah sejak dahulu. Hingga saat ini tanah terse­but sudah  menjadi tanah negara yang rencananya akan dibuat pro­yek pendaftaran tanah sistematis lengkap (PTSL) atau dikenal proyek Prona untuk masyarakat yang men­diami tanah tersebut.

Baca Juga: Mangkir dari Panggilan Polisi, Kasatpol PP SBT Bakal Dijemput Paksa

Namun Mouritz cs mengklaim sebagai pemilik lahan serta meminta sejumlah uang dari masyarakat yang mendiami tanah tersebut sebagai bentuk ganti rugi.

“Ada upaya terstruktur, sistematis dan masif yang sengaja dilakukan oleh Mouritz Tamaela dkk, untuk mengambil keuntungan di atas ta­nah negara serta menghambat pro­ses pensertifikat tanah di desa Hu­nuth,” ujar Hattu.

Dirinya menjelaskan, tanah bekas hak barat tersebut atas nama Petrus Tamaela almarhum. Seiring berja­lannya waktu, di tahun 1994 datang Lodewyk Tamaela almarhum, ayah dari Mouritz Tamaela, secara tanpa hak mengklaim sebagai pemilik tanah tersebut.

Dirinya sempat menempuh jalur hukum yakni gugatan ke Pengadilan Negeri Ambon, Banding di Penga­dilan Tinggi Maluku hingga Kasasi ke MA, namun upaya tersebut ga­gal. “Tahun 1994 gugat pejabat Desa Hunuth ke PN Ambon atas tudingan perbuatan melawan hukum namun ditolak. Tahun 1995 gugat lagi tapi ditolak juga, kemudian di tahun 1996 banding putusan PN di PT lagi lagi kalah. Tidak puas lanjut kasasi ke MA namun kasasi juga ditolak, dan semua salinan putusan sebagai bukti itu ada,” jelasnya.

Dikatakan, atas dasar putusan itu, proyek prona dapat dilaksanakan di atas tanah negara bekas hak barat, dikarenakan bidang tanah tersebut telah sah dikuasai langsung oleh negara yang berarti hak bekas pemilik tanah telah berakhir dan tanah yang bersangkutan telah jatuh ke tangan negara.

Namun katanya atas intervensi yang diduga dilakukan oleh Mouritz Tamaela sehingga proyek PTSL yang direalisasi pada tahun 2014 tidak kunjung jalan hingga 2021 ini. “Mouritz mengaku sebagai ahli waris yang masih berhak terhadap tanah tersebut sebagaimana berda­sar­kan surat keterangan ahli waris yang diterbitkan oleh Pemerintah Negeri Halong, pada 6 Agustus 1993.

Mauritz lalu meminta masyarakat yang ingin menerbitkan sertifikat terlebih dahulu harus membayar sejumlah uang yang besarannya ditentukan olehnya, padahal su­-dah jelas dan nyata Alm Lodewyk telah kalah di pengadilan negeri sampai pada tingkat kasasi di Mahkamah Agung,” tukas Hattu.

Belakangan tambah Hattu, diketa­hui telah terbit surat rekomendasi dari Sekertaris Kota Ambon dengan nomor 593/4838/setkot yang disam­paikan jalur-jalur tidak resmi kepada Kepala Desa Hunuth, Jondri Kap­puw, yang isinya menyatakan bah­wa hasil kesepakatan mediasi antara Kepala Desa Hunuth, BPD dan Mouritz, mewajibkan masyarakat untuk melakukan pembayaran ganti rugi padahal dari pertemuan tersebut kepala desa menolak dengan tegas untuk mewajibkan masyarakat mem­bayar ganti rugi.

Selain surat rekomendasi, inter­vensi demi intervensi dilakukan oleh Mouritz. Puncaknya pada tanggal 11 Mei 2021 saat dilakukan proses pengukuran tanah sebagai tindak lanjut dari pelaksanaan PTSL.

Mouritz bersama kroni-kroninya turun langsung ke lokasi penguku­ran tanah dan menetukan serta me­min­dakan patok-patok batas yang sudah ditetapkan oleh BPN bersama BPD Hunuth yang akhirnya pemin­dahan patok batas tersebut diten­tang oleh masyarakat yang kemu­dian menimbulkan keributan besar.

Diketahui untuk memuluskan langkah oknum anggota DPRD Kota Ambon ini, ada oknum BPD Hunut, pihak BPN maupun bagian Peme­rintahan Kota Ambon yang diduga kuat menyalahgunakan fungsi dan wewenang dan ikut bermain.

“Ada pertemuan pada tanggal 24 Mei 2021 yang dihadiri masyarakat yang tinggal di atas tanah tersebut, BPD, pejabat kepala desa, BPN Kota Ambon, Kepala Bagian Pemerin­tahan Kota Ambon, babinsa dan babin­kamtibmas, serta Mouritz dan kroni-kroninya, dimana dalam pertemuan itu Kepala BPN Kota Ambon menyatakan bahwa tanah tersebut memang sudah dikuasai oleh negara tetapi negara belum membayar ganti rugi kepada keluarga Tamaela. Karenanya, masyarakat yang mendiami tanah tersebut harus membayar ganti rugi, disertai ancaman bila konpensasi tidak diberikan maka sampai kapanpun masyarakat tidak akan memperoleh sertifikat hak milik,”ungkapnya.

Hattu mengatakan, dalam hal ini masyarakat didorong suatu ketaku­tan akan adanya isu-isu yang dise­ngaja disebarkan oleh oknum-ok­num tersebut dikalangan masyara­kat bahwa apabila masyarakat tidak memberikan ganti rugi maka bangu­nan-bangunan milik masyarakat sewaktu-waktu bisa saja digusur.

“Ketakutan tersebut menjadi wajar karna sebagian masyarakat awam hukum, pasti merasa resah dengan perbuatan tipu muslihat dan peme­rasan tersebut. Oleh karenanya per­buatan-perbuatan semacam ini tidak boleh dibiarkan dan harus dicegah. Dengan demikian laporan pengaduan kami sampaikan kepada Kapolda Maluku melalui Ditreskrimum, untuk dapat memproses sesuai hukum yang berlaku,” harapnya. (S-45)