AMBON, Siwalimanews – Hari ini, Rabu  (7/12), Universitas Pattimura kembali menambah guru besar. Dia adalah Profesor Dr. Yusthi­nus Thobias Male, S.Si., M.Si. Pengukuhan Male se­bagai guru besar akan dila­kukan oleh Rektor Unpatti, Profesor  Dr.M.J Sapteno, SH., M.Hum.

Guru Besar dalam bi­dang Ilmu Kimia Anor­ganik pada Fa­kultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (MI­­PA) Unpatti ini dalam pidato ilmiahnya akan menyoroti ten­tang “Penataan Wi­layah Pertambangan Rakyat untuk Memi­nimalisir Dampak nega­tif Penambangan Emas Tanpa Ijin (PETI) di Pulau Buru”.

Fenomena PETI di Gunung Botak Keca­ma­tan Wae Apo Kabu­paten Buru sangat ber­dampak kepada seluruh di­mensi kehidupan tidak hanya manusia, akan tetapi hewan baik darat maupun lautan dan tumbuh-tumbuhan. Hal itu disebabkan aktivitas PETI menggunakn zat kimia merkuri.

Menurut Male, aktivitas PETI sangat berdampak kepada lingkungan, karena PETI berkon­tribusi dalam lepasan dan emisi merkuri ke media lingkungan. Oleh­nya sebagai upaya pengelolaan merkuri, Pemerintah Indonesia telah merattifikasi Konvensi Minamata pada 2017 melalui pengesahan UU Nomor 11 Tahun 2017.

Cadangan emas di Gunung Botak kata Male sejak ditemukan  2011 yang lalu, ribuan penambang illegal dalam aktivitas PETI menggunakan metode amalgamasi dan sianidasi untuk mengekstrak emas di daerah Gunung Botak dan Gogorea Pulau Buru.

Limbah yang dihasilkan dibuang ke lingkungan secara langsung tanpa proses pengolahan sehingga sangat berbahay bagi manusia dan lingkungan.

Upaya penertiban dan pencega­han beberapa kali dilakukan peme­rintah daerah,  tetapi hasilnya belum optimal. Alhasil, ketika dihentikan, aktivitas PETI muncul lagi.

Male mengusulkan, jika tidak diupayakan penataan wilayah per­tambangan, khususnya yang meli­batkan masyarakat luas, melalui Wilyah Pertambangan Rakyat (W­PR), fenomena PETI akan semakin berdampak sistemik.

Pasalnya, emas merupakan sum­ber daya mineral penting dan ber­nilai tinggi dan sifatnya tidak ter­barukan. Olehnya pemanfaatannya harus mengisyaratkan adanya prak­tik penambangan yang sesuai de­ngan kaidah-kaidah pembangunan berkelanjutan.

Dijelaskan, pengolahan emas umumnya menggunakan metode sianidasi dan amalgamasi. Metode amalgamasi merupakan proses me­merlukan teknik dan ilmu yang  relatif tidak sederhana dibandingkan meto­de amalgamasi, sehingga umumnya pada WPR, proses pengolahan me­nggunakan metode amalgamasi. Metode ini merupakan proses eks­trak­si emas dengan cara mencam­purkan biji emas dengan merkuri (Hg).

“Penggunaan metode amalaga­masi berdampak terhadap lingku­ngan dan kesehatan manusia melalui akumulasi logam merkuri di lingku­ngan. Penambang skala kecil kerap terlibat dalam menggunakan  mer­kuri. Teknologi amalgamasi dengan merkuri tidak membutuhkan ketram­pilan khusus. Bahan bakunya mu­dah diperoleh secara illegal sehi­ngga secara ekonomis dapat meni­ng­katkan kehidupan para penam­bang,” katanya.

Tak hanya itu, emisi merkuri yang signifikan menghasilkan sejumlah masalah yang berhubungan dengan kesehatan dan lingkungan. Karena kurangnya pengetahuan dan alter­na­tif pengolahan emas, ribuan pe­nambang dan masyarakat berpo­tensi terkontaminasi limbah B3.

Diakuinya, proses amalgamasi mempunyai resiko terhadap kese­hatan manusia dan lingkungan yang lebih tinggi dibandingkan sianida khususnya limbah merkuri baik dalam bentuk cair maupun gas.

Senyawa merkuri relative lebih sulit untuk dihancurkan dibanding­kan dengan senyawa sianida. Siani­da realtif mudah dihancurkan de­ngan cara pemanasan dibawah sinar matahari atau dioksidasi oleh oksidator.

Mengingat sifatnya yang tidak dapat dihancurkan, maka perusa­haan pertambangan biasanya tidak memilih merkuri sebagai media penangkap logam emas, tetapi me­milih sianida untuk proses peng­olahan biji emas.

Sedangkan penambang rakyat cen­derung memilih pengolahan dengan  merkuri dengan resiko dam­pak negatif yang lebih besar dan usaha penge­lolaan  yang lebih besar pula.

Disebutkan, kendati pemerintah sudah memiliki perangkat perun­dang-undangan dan sejumlah regu­lasi yang mengatur kegiatan per­tambangan, fakta di lapangan me­nun­jukan kurangnya pengawasan dan penegakan hukum.

Lemahnya pengawasan dan pe­negakan hukum menyebabkan PETI dengan menggunakan merkuri berdampak pada berbagai sektor salah satunya perikanan. Sejumlah negara seperti Jepang, Amerika Se­rikat dan Uni Eropa menolak impor ikan dari Indonesia. Ikan yang dimak­sud adalah tuna yang merupakan komoditi utama eksport karena konsentrasi merkuri telah melampaui ambang batas yang ditetapkan.

Atas dasar itu, pada tahun  2017, Presiden Joko Widodo telah mene­tapkan kebijakan nasional untuk mengurangi penggunaan merkuri sejalan dengan Konvensi Mina­mata.

Sayangnya, sambung ahli kimia ini, ternyata Indonesia merupakan negara penghasil merkuri terbesar di dunia. Mirisnya, wilayah Maluku khususnya Kabupaten SBB punya kontribusi besar dalam menyalurkan  zat berbahaya itu.

Data menunjukan, pada 2016 Indonesia menjadi pengeksport mer­kuri nomor satu di dunia dengan total 680,44 Ton. Jumlah ini seba­gian besar berasal dari Gunung Tembaga Kabupaten SBB.

Menurut Male, setiap tahun 700 Ton Sinabar dikirim dari Pulau Seram ke Jawa. Jika kemurnian material sinabar 50 persen, maka setiap tahunnya Pulau Seram mengeksport 350 Ton merkuri (Hg).

Tingginya minat pembeli merkuri dari Indonesia dikarenakan material sinabar dari Gunung Tembaga memi­liki kandungan merkuri yang cukup tinggi. Padahal, material dari Gunung Tembaga akan terbawa aliran sungai sampai ke laut dan berpotensi meng­kontaminasi ekosistem perairan.

“Hasil analisa kadar merkuri pada sedimen perairan laut di pesisir Teluk Piru menunjukan kadar merkuri cukup tinggi. Ini tentu saja membu­tuhkan perhatian lebih lanjut karena ekosistem Teluk Piru mirip dengan Teluk Kayeli di pulau Buru yakni ke­padatan tumbuhan mangrove sehi­ngga sangat berpotensi untuk terja­dinya metabolism sinabar menjadi metal merkuri yang sangat beracun oleh aktivitas mikroba,” bebernya.

Sebagai orang Maluku, Male mengajak semua pihak  baik peme­rintah maupun swasta untuk memi­kirkan konsekuensi dampak dari aktivitas PETI yang kian marak di sejumlah wilayah di Maluku. (S-07)