Diancam Lapor Kejagung, Kajari Tolak Berkomentar
AMBON, Siwalimanews – Kendati dikritik habis-habisan oleh sejumlah kalangan karena menghentikan kasus dugaan korupsi penyalahgunaan anggaran Rp5,5 miliar di DPRD Kota Ambon, namun Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) Ambon, Frits Dian Nalle menolak berkomentar.
Dikonfirmasi Siwalima terkait penghentian kasus yang diduga melibatkan pimpinan dan anggota DPRD Kota Ambon itu, Rabu (9/2) Nalle memilih diam.
“Saya bicara subtansi penghentian saja. Hal-hal lain No Komen,” ungkap Kajari melalui pesan Whats-Appnya, Rabu (9/2).
Dikejar lagi soal Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) Bonyamin Saiman akan melaporkan ke Kejaksaan Agung (Kejagung) lagi-lagi mantan Kajari Kupang ini menolak berkomentar.
“No Komen,” ujarnya lagi.
Baca Juga: MAKI Lapor KejagungMenurutnya, penghentian dilakukan dengan alasan indikasi kerugian keuangan negara senilai Rp 5,5 miliar telah dikembalikan.
Dia mengaku, penyelidikan kasus ini berawal dari hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Perwakilan Provinsi Maluku, terkait anggaran belanja barang dan jasa serta realisasi belanja perjalanan dinas pada Sekretariat DPRD Kota Ambon tahun 2020. Dimana menurut BPK Maluku, realisasi anggaran itu diduga tidak sesuai dengan ketentuan.
Katanya, realisasi belanja yang dilakukan tidak sesuai ketentuan menimbulkan indikasi kerugian keuangan negara sebesar Rp 5.977.145.383. namun setelah dikurangi dengan pajak Rp 394.430. 172 maka nilai indikasi kerugian keuangan daerah Rp 5.582.715. 211,” tuturnya.
Atas temuan itu, BPK kemudian merekomendasikan ke Walikota Ambon untuk memerintahkan Sekretaris DPRD Kota Ambon menarik indikasi kerugian keuangan itu. Sekretariat DPRD Kota Ambon.
Selanjutnya ditindaklanjuti rekomendasi itu dengan mengembalikan kerugian keuangan sebesar Rp 5.582.715.211. proses pengembalian keuangan negara itu dilakukan secara bertahap.
Tahap pertama, dari Sekretariat DPRD Kota Ambon menyetorkan Rp 1,5 miliar ke kas daerah Pemkot Ambon sebelum perkara diperiksa oleh Kejari Ambon.
Kedua, sekitar Rp 4 miliar lebih dikembalikan Sekretariat DPRD Kota Ambon melalui jaksa penyelidik yang diteruskan ke rekening kas daerah Pemkot Ambon. pengembalian itu dilakukan oleh seluruh pimpinan dan anggota DPRD sebanyak 35 orang serta beberapa orang PPK dari Sekretariat DPRD Kota Ambon, sebagaimana rekomendasi temuan BPK.
Bila perkara itu sebelumnya masih dalam tahap penyelidikan, lanjut dia, kerugian keuangan negara yang dimaksud masih berupa indikasi.
“Indikasi yang berarti masih berupa tanda-tanda, gejala atau petunjuk awal yang bersifat perkiraan atau dugaan terjadinya kerugian keuangan negara, dan belum merupakan kerugian keuangan negara yang sudah nyata atau sudah pasti nilainya sebagaimana dimaksud dalam Putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor 25/PUU-XIV/2016,” jrelasnya.
Atas dasar itu, Kejari Ambon menghentikan penyelidikan kasus ini, menilai tidak ditemukan unsur merugikan keuangan negara dalam pengelolaan anggaran pada Sekretariat DPRD Kota Ambon tahun anggaran 2020.
Ditambahkan, karena indikasi kerugian keuangan negara tersebut telah dikembalikan seluruhnya oleh Sekretariat DPRD Kota Ambon sesuai dengan rekomendasi BPK RI Perwakilan Provinsi Maluku maka pihaknya berkesimpulan tidak ditemukan unsur merugikan keuangan negara dalam pengelolaan anggaran pada Sekretariat DPRD Kota Ambon tahun anggaran 2020.
Serta-Merta
Sementara itu, Akademisi Hukum Unidar, Rauf Pelu menilai, Kejari Ambon tidak boleh serta merta menghentikan kasus dugaan korupsi di Sekretariat DPRD Kota Ambon dengan menyampingkan pasal 4 UU Tipikor.
“Didalam pasal 4 UU Tipikor tersebut sangat jelas menyebutkan pengembalian keuangan negara atau perekonomian negara tidak menghapus tindak pidana yang telah dilakukan. Sehingga Kejari Ambon tidak boleh serta merta menghentikan kasus itu. Karena sudah jelas dalam aturan UU Tipikor,” ungkapnya saat diwawancarai Siwalima melalui telepon selulernya, Rabu (9/2).
Dikatakan, Kejari Ambon seharusnya belajar dari kasus-kasus sebelumnya yang ditangani Kejati Maluku, terhadap pengadaan dua unit speedboat di Kabupaten MBD oleh mantan Kadishub, Odie Orno, dimana proses pengembalian keuangan negara sudah dilakukan tetapi Kejati Maluku tetapi proses hukum dan akhirnya hakim hukum ringan dengan alasan pasal 4 UU Tipikor itu.
“Mestinya Kejari belajar dari Kejati dalam penanganan kasus ini, kasusnya hampir sama dimana pengembalian kerugian negara juga terjadi saat penyelidikan, itu berarti pengembalian kerugian negara itu sudah membuktikan adanya indikasi tindak pidana, mestinya kasus ini dilanjutkan proses hukumnya sampai ke pengadilan,” tegas Pelu.
Pelu menyayangkan proses penerapan aturan yang dinilainya keliru oleh Kejari Ambon, karena telah mengabaikan pasal 4 UU Tipikor itu. Apalagi anggota dewan merupakan lembaga legislative yang mempunya tugas untuk mengawasi penggunaan anggaran pihak eksekutif.
Lapor Kejagung
Seperti diberitakan sebelumnya, Kejaksaan Negeri (Kejari) Ambon dinilai salah kaprah menghentikan proses hukum kasus dugaan korupsi penyalahgunaan anggaran di Sekretariat DPRD Kota Ambon sebesar Rp5,5 miliar sesuai temuan BPK.
Penghentian proses hukum tersebut dengan alasan telah mengembalikan kerugian negara, adalah tindakan yang keliru, karena seharusnya pengembalian kerugian negara tidak menghapus proses pidana yang telah terjadi.
“Sesuai pasal 4 UU Korupsi Nomor 31 Tahun 1999 dan perubahannya berbunyi pengembalian kerugian negara itu tidak menghapus pidana. Artinya pidana korupsi berapapun kalau itu ditemukan unsur korupsi, sebagaimana diatur dalam pasal 2 dan pasal 3, pasal 5 suap misalnya, pasal 12 soal pemerasan atau persekongkolang jahat pasal 15, maka nilai Rp 1 juta pun tetap harus diproses hukum, apalagi ini nilainya Rp5,3 miliar. Yang masih jauh dari diwacanakan Jaksa Agung kalau nilai Rp 50 juta tidak boleh diproses,” jelas Koordinator Masyarakat Anti Korupsi (MAKI) Boyamin Saiman kepada Siwalima melalui voice Whats-appnya, Senin (7/2).
Menurut Boyamin, pengembalian kerugian negara oleh oknum-oknum DPRD Ambon menjadi faktor pemberat, karena fungsi legislatif yaitu mengawasi penggunaan anggaran yang dilakukan oleh eksekutif dan tidak boleh menyimpang.
“Ini menjadi faktor pemberat karena apa, mereka seharusnya mengawasi penggunaan tetapi diduga ada penyimpangan atau ada dugaan korupsi maka segera diproses, ibarat kata pagar makan tanaman,” ujarnya.
Meskipun telah ada pengembalian kerugian negara, lanjutnya, tetapi Kejari Ambon tetap harus melanjutkan proses hukum kasus tersebut.
“Justru pengembalian itu uangnya harus disita menjadi barang bukti. Jadi kalau kemudian tidak dilanjutkan penyelidikannya, maka adalah salah kaprah,” tegasnya.
Ia mengungkapkan, Kejari Ambon telah keliru jika tidak melanjutkan proses hukum kasus dugaan korupsi penyalahgunaan anggaran di Sekwan Kota Ambon, karena pengembalian keuangan negara bisa menjadi bukti meringankan di pengadilan.
Ia menegaskan, MAKI akan melaporkan kepada Jaksa Agung Bidang Pengawasan dan Komisi Kejaksaan untuk menegur atau memberikan sanksi bagi kejaksaan di daerah yang tidak memproses kasus ini, dengan alasan uang sudah dikembalikan.
“Harusnya ditegur dan diberikan sanksi. Kita akan lihat apa tindakan dari atasannya, kalau menurut proses hukum kita bisa ajukan gugutan praperadilan, tetapi nanti kita lihat dulu apa tindakan atasannya,” tegasnya.
Peluang Praperadilan
Seperti diberitakan sebelumnya, Penghentian penyelidikan kasus dugaan korupsi penyalahgunaan anggaran Rp5,5 miliar di Sekretariat DPRD Kota Ambon justru bisa membuka ruang publik mempraperadilan Kejaksaan Negeri Ambon.
Alasan praperadilan ini karena, tidak ada bukti hukum yang memenuhi unsur dihentikannya kasus dugaan tindak pidana korupsi.
Padahal temuan BPK Rp 5,5 miliar sudah menjadi petunjuk kuat bagi tim penyidik Kejari Ambon untuk menetapkan pelaku tindak pidana korupsi tersebut, apalagi indikasi perbuatan melawan hukum sudah ditemukan.
Demikian diungkapkan, akademisi hukum Unpatti, Sherlock Lekitipiouw saat diwawancarai Siwalima melalui telepon selulernya, Selasa (8/2).
“kasus ini dari mula sudah menjadi sorotan publik dan energi publik yang cukup besar, tiba-tiba kemudian dihentikan dengan alasan subjektifitas dari tim penyidik kejaksaan dengan dalil bahwa telah terjadi pengembalian kerugian negara,” katanya.
Sesuai dengan pasal 4 UU Tipikor pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara itu tidak menghapus tindak pidana yang dilakukan. Dari proses penyelidikan itu bukan soal aspek hukum yang diterapkan, atau norma hukum, tetapi ini menyangkut penerapan hukum yang bermasalah.
“Jadi ini soal interpretasi dimana dalil argumentasi penyidik itu subjektif menurut penyidik, karena sudah ada pengembalian kerugian negara, maka asas kemanfaatan hukum, kerugian negara sudah dipulihkan,” ujarnya.
Tetapi pada sisi yang lain, katanya, jika ditelusuri soal delik perbuatan hukumnya maka masih patut dipertanyakan, dan keputusan penghentian ini rawan digugat kembali melalui pra peradilan
“Kalau dalil kejaksaan telah memenuhi asas kemanfaatan dan keadilan hukum, kemanfaatan hukum yang bagaimana dan keadilan hukum seperti apa,” tanyakan.
Secara hukum, ungkap Sherlock, jika menggunakan argumentum kontrario maka kerugian negara yang dimaksudkan sekaligus menjadi bukti bahwa perbuatan pidana itu telah selesai.
“Nah kejaksaan harus berhati-hati, karena Mahkamah telah menyatakan konstruksi perbuatan korupsi itu adalah perbuatan hukum yang selesai. Jadi percobaan dalam korupsi itu dianggap selesai,” katanya.
Diungkapkan, Kejari Ambon menggunakan hak subjektifitas itu untuk menentukan bahwa kerugian negara sudah dikembalikan maka sudah selesai kasusnya, bagaimana perbuatan hukum yang sudah terjadi.
Kata dia, penggunaan hak subjektifitas jaksa itu sebenarnya tidak harus mencederai rasa keadilan msyarakat, karena korupsi sudah ditetapkan sebagai kejahatan yang kuar biasa, sehingga penanganannya harus ekstra, padahal waktu sudah habis diproses penyelidikan dengan memeriksa begitu banyak saksi.
“Waktu habis dengan drama yang begitu delematisnya, endingnya selesai,” tuturnya.
Seharusnya, kata Sherlock, temuan BPK dalam konstruksi KUHAP harus dijadikan sebagai bukti petunjuk, dan jika dilihat dari fakta hukum yang terjadi beradasarkan temuan BPK itu, ada rangkaian perbuatan yang dimainkan oleh oknum-oknum di DPRD. (S-05)
Tinggalkan Balasan