Catatan Kritis Untuk Ganjar; Capres Boneka Marionette
“Marionette adalah boneka dari Eropa yang digerakkan dengan tali dari atas. Orang yang mengoperasikannya disebut manipulator. Biasanya, manipulator tak kelihatan, ada dibalik layar. Di Jawa, ini disebut wayang dan dalang”
Saya tidak bisa menemukan kalimat paling tepat untuk bisa merangkum perbedaan kualitas antara Ganjar Pranowo, Gubernur Jawa Tengah dan calon presiden dari PDI Perjuangan dengan Presiden Joko Widodo, sesama kader partai banteng moncong putih. Kecuali seloroh seorang bekas menteri Jokowi. Dia bilang begini dalam sebuah perbincangan beberapa waktu lalu, “Bagusan Jokowi, bagaimanapun dia itu masih punya mimpi, kalau Ganjar, punya mimpi saja tidak,” katanya sambil terbahak. Saya ikut tersenyum, mengangguk-angguk. Saya setuju.
Yang saya tahu, sebelum Partai Nasdem mengumumkan pencalonan Anies Rasyid Baswedan sebagai calon presiden ada semacam kesepakatan tidak tertulisatau gentlemen agreement antar partai bahwa pengganti Jokowi, para capres yang akan bertanding pada 2024 haruslah ketua partai. Terbukti memiliki presiden yang bukan ketua partai dan hanya petugas partai, tetapi memiliki basis ril massa dan die hard di luar kader lebih merepotkan politisi dibalik panggung, karena ia punya massa, popularitas, daya tawar sehingga lebih susah dikendalikan oleh partai penyokong.
Saya tidak bisa mengonfirmasi kebenaran kabar itu, namun sebelum nama Anies didaulat Nasdem pada 3 Oktober lalu, nama yang sayup-sayup muncul adalah ketua partai. Airlangga Hartarto, Ketua Umum Partai Golkar, Prabowo Subianto, Ketua Umum Partai Gerindra, dan Puan Maharani yang meskipun bukan ketua partai tapi anak Ketua Umum PDI Perjuangan, atau boleh lahdikata putri mahkota. Bahkan, Puan sudah jauh-jauh hari melakukan gerilya politik ke daerah-daerah sejak Juli tahun lalu.
Setelah nama Anies-yang bukan kader partai dan tidak memiliki hubungan darah dengan petinggi partai pengusung-ditetapkan oleh Partai Nasdem, Partai Demokrat dan Partai Keadilan Sejahtera, peta bursa calon presiden langsung buyar. Khususnya di kubu banteng moncong putih yang merupakan satu-satunya partai yang punya tiket untuk mengusung capres. Munculnya Anis-walaupun tidak disukai-sebetulnya menjadi jalan keluar tak terduga bagi Jokowi untuk memuluskan rencananya.
Baca Juga: Peran Bawaslu dalam Melakukan Pengawasan Pemilu, Khususnya di Kabupaten Kepulauan TanimbarElektabilitas jeblok Puan, munculnya nama Anies, elektabilitas tinggi Ganjar benar-benar menjadi jalan tol bagi Jokowi untuk menempatkan Megawati dalam situasi sulit, mencapreskan Ganjar dibandingkan putrinya sendiri. Tapi ini tidak mudah, pernah pada September silam ada yang disebut sebagai ‘Dewan Kolonel’, sebuah nama untuk elit PDI Perjuangan di parlemen yang merupakan loyalis Puan untuk maju Pilpres 2024, dan menjegal Ganjar. Bahkan, Ganjar yang sekarang dicalonkan pernah ‘diadili’ oleh partainya sendiri karena dianggap melanggar aturan perintah untuk tidak “kampanye’ keluar Jawa Tengah.
Pada akhirnya, Ganjar tak terbendung walaupun harus melewati berbagai drama. Catatan saya, drama paling besar, saking inginnya Jokowi agar PDIP mengusung Ganjar, adalah preseden seorang presiden menggelar acara relawan Gerakan Nusantara Bersatu di Stadion Utama Gelora Bung Karno (SUGBK), Senayan, Jakarta Pusat pada November silam. Disitulah Jokowi show force, ingin ‘menekan’ PDIP bahwa dia benar-benar ingin Ganjar menjadi penerusnya dibandingkan Puan.
Dalam bahasa politik, Jokowi ingin menunjukkan kepada Megawati bahwa Ganjar itu memiliki pendukung, meskipun itu lungsuran dari dirinya. “Kalau wajahnya celing , bersih, tidak ada kerutan di wajahnya, hati-hati. Lihat juga rambutnya, kalau rambutnya putih semua, ah ini mikir rakyat ini,” kata Jokowi waktu itu. Tentu saja wajah celingdan bersih bisa ditafsirkan sebagai Puan, sementara rambut putih siapa lagi kalau bukan Ganjar. Sementara ‘wajah berkerut’, adalah untuk Prabowo, dua duanya adalah pilihan Jokowi. (baca: All Jokowi’s Men dan Upaya Sistematis Menjegal Anies)
Tetapi, manipulator atau dalang Ganjar tentu saja bukan hanya Jokowi. Bahkan, bila ia menang kelak, pemegang tali kendali atas Ganjar adalah Megawati. Mengendalikan Ganjar akan jauh lebih mudah bagi Megawati dibandingkan memegang Jokowi, sebab Ganjar tidak memiliki basis ril dan relawan pendukung setia yang bukan kader partai. Pendukung Ganjar adalah limpahan suara dari pendukung Jokowi yang jumlahnya akan lebih sedikit karena sebagian juga ‘ditempatkan’ oleh Jokowi untuk mendukung Prabowo.
Salah satu yang membulatkan keputusan Megawati sebelum memberikan tiket capres kepada Ganjar pada konferensi pers di Istana Batutulis, Bogor, Jawa Barat, Jumat (21/4/2023) adalah polemik hebat nasional satu bulan sebelumnya. Yakni, tiada angin tiada hujan adalah sangat ganjil bagi seorang politisi seperti Ganjar yang sedang mati-matian meraih simpati publik, memiliki elektabilitas capres tertinggi, tiba tiba berlaku seperti party pooper-perusak pesta.
Tidak tanggung-tanggung yang dirusak adalah pesta seluruh pecinta sepakbola, olahraga paling populer di Indonesia. Survei Ipsos mengungkapkan Indonesia memiliki penggemar sepak bola terbesar di dunia dengan persentase angka 69%. Yakni dengan lantang melawan arus mengeluarkan sebuah press release tertulis-kejanggalan kedua yang terbaca dari seorang Ganjar-yang menolak kehadiran timnas sepakbola Israel dalam perhelatan Piala Dunia U 20 yang seyogyanya dihelat di Indonesia pada 20 Mei – 11 Juni 2023.
Salah satu alasannya, “Kita sudah tahu bagaimana komitmen Bung Karno terhadap Palestina, baik yang disuarakan dalam Konferensi Asia-Afrika, Gerakan Non-Blok, dan maupun dalam Conference of the New Emerging Forces.Jadi ya kita ikut amanat beliau,” kata Ganjar dalam keterangan tertulis, Kamis (23/3/2023). Tidak ada satupun publik figur yang berani melakukan itu, termasuk rival Ganjar, Prabowo dan Anies, keduanya diam saja. Ganjar tidak hanya melawan para suporter bola, ia bahkan ‘melawan’ endorser utamanya, Jokowi yang memiliki sikap memisahkan bola dengan politik atas kehadiran timnas Israel.
Saya merasa orang bodoh sekalipun akan menyarankan hal itu tidak selayaknya dilakukan oleh politisi yang sedang beradu meraup simpati masyarakat. Begitu pula, saya yakin Ganjar pasti paham itu adalah sebuah langkah blunder bahkan sebelum menyebar rilis itu kepada media, sebagaimana kemudian banyak orang menilai. Saya rasa Ganjar juga tahu konsekuensi dari pernyataan itu serius, FIFA bisa membatalkan Indonesia sebagai tuan rumah Pildun U 20, sebab Israel adalah anak emas FIFA.
Lantas mengapa Ganjar nekat? Yup, selembar press release itu adalah tes loyalitas terakhir Ganjar kepada PDIP, khususnya kepada cucu Bung Karno. Ganjar ingin menunjukkan bahwa ia adalah petugas partai yang akan mengorbankan apapun, tegak lurus dengan ideologi partai dan mimikri gaya, serta patuh perintah Ketua Umum, dibandingkan Jokowi. Sudah terbukti, Megawati adalah politisi yang berani melawan arus, rela tidak populer demi melakukan sesuatu yang menurutnya benar. Sudah tak terhitung pernyataan melawan arus Megawati, dan dia tampak tak peduli itu merugikan elektabilitas PDIP dan dirinya.
Saya tidak mengatakan Ganjar dipaksa atau terpaksa untuk mengeluarkan rilis itu, namun namanya kemudian memang benar-benar diumumkan Megawati sebagai pilihan PDIP satu bulan setelahnya. Meskipun dari informasi yang ada, Megawati baru memutuskan untuk memberikan penugasan baru bagi Ganjar sebagai capres PDIP satu pekan sebelum acara di Batutulis. Serangkaian peristiwa ini membuktikan, sang presiden kelak, bila ia terpilih, adalah presiden marionette.
Ketar-Ketir Ganjar
Ganjar telah memegang tiket, namun suasana batin di lingkaran utama Ganjar, dan sang capres PDIP menurut orang-orang dekatnya gelisah. Tidak lain tidak bukan, karena hasil survei elektabilitasnya yang tak kunjung membaik seperti sedia kala, menang jauh dari pasangannya. Posisinya yang merosot cukup dalam sejak ‘insiden’ press release soal penolakan timnas Israel di Pildun U 20. Rupanya, tiket pencapresan Ganjar harus dibayar dengan harga yang cukup mahal, kehilangan sejumlah pendukung dan simpatisannya. Padahal sebelum pembatalan Pildun U 20, elektabilitas Ganjar jauh melampaui lawan-lawannya.
Bila Pilpres diadakan sekarang, atau katakanlah dua-tiga bulan lagi saya berkesimpulan Prabowo akan menang. Skenarionya amat mirip dengan drama Pilkada DKI 2017, dimana Prabowo berlaku seperti Anies, Ganjar bernasib seperti Ahok, sementara Anies sekarang merepresentasikan Agus Harimurti Yudhoyono dulu. Skema ini bila diterapkan untuk Pilpres 2024, Anies akan kalah pada putaran pertama, dan pendukungnya berpindah ke Prabowo di putaran kedua, karena bagi pendukung mantan Gubernur DKI ini, apalagi yang hardcore, calon yang mereka pilih asal bukan Ganjar-representasi Jokowi.
Bagaimanapun juga, Anies lebih dekat dan banyak berhutang budi ke Partai Gerindra daripada PDIP Perjuangan, dimana restu Prabowo lah yang turut menghantar Anies menjadi DKI-1 seperti juga Jokowi dulu. Yang saya dengar, itulah skenario dibalik munculnya ‘koalisi besar’ yang bertujuan memaksakan kandidat Capres 2024 minimal ada tiga, Ganjar, Prabowo dan Anies, atau empat lebih baik. Tujuannya, menggagalkan skenario Pilpres 2024 satu putaran; Ganjar vs Prabowo yang diinginkan PDIP, sebab dengan hanya satu putaran peluang Ganjar bisa menang lebih besar.
Tujuan koalisi besar yang diinisiasi salah satu partai besar ini cuma satu, menggulingkan cengkraman PDIP di Istana, sebab mereka menilai banteng moncong putih terlalu eksklusif, mau menang sendiri, tak mau berbagi. Bila anda ingin bukti sekunder, cobalah cari tahu, googling, apa pernah kelompok Prabowo Cs menyerang Anies?-analisa ini ada pada artikel selanjutnya; Catatan Kritis Untuk Prabowo; Capres Emosional-Orba.
Belakangan kubu Ganjar semakin ketar ketir. Sejumlah barisan potensial pendukungnya, justru membelot ke Prabowo. Dimulai dengan relawan Gibran di Solo yang berbaiat kepada Prabowo dan bahkan dihantarkan oleh Gibran Rakabuming Raka sendiri. Ada isu liar, Prabowo meminta Gibran untuk menjadi cawapresnya. Bila kabar ini benar, posisi Ganjar benar-benar diujung tanduk. Apakah fenomena sebagian fans keluarga Jokowi pindah ke Prabowo sebagai perintah Jokowi?
Ada dua kemungkinan, itu hanyalah taktik sementara Jokowi menekan PDIP untuk mau menerima Erick Thohir, menteri kesayangannya sebagai cawapres Ganjar. Sejumlah wartawan istana juga tahu, hubungan Megawati dan Jokowi itu love and hate relationship. Sudah beberapa kali Jokowi melakukan taktik mengerahkan massanya untuk menekan partainya. Kedua, baca lebih lanjut dianalisis selanjutnya; King Jokowi.
Performa Ekonomi Ganjar
Bila dibandingkan dengan Anies, performa Ganjar dalam bidang ekonomi saat memimpin Jawa Tengah lebih baik, meskipun perbandingkan ini agak kurang pas sebab Anies hanya lima tahun sementara Ganjar hampir 10 tahun. Tetapi, dari tren indikator-indikator penting menunjukkan, Ganjar lebih baik. (baca: Catatan Kritis Untuk Anies; No Action Talk Only!)
Data realisasi investasi di Jateng juga bisa dikatakan biasa saja, atau boleh dikatakan Ganjar tak cakap menarik investasi, karena realisasi investasi di daerahnya berada pada level 10 besar ada di urutan ke-9. Namun, serapan tenaga kerja di Jateng cukup tinggi di atas rata-rata nasional, khususnya di sektor pertanian. Ini tidak lepas dari model investasi di Jateng yang padat karya, dan di dukung oleh Upah Minimum Regional tahun 2022 hanya sebesar Rp 1,8 juta terendah di Indonesia. Bandingkan dengan UMR DKI Jakarta yang nyaris tembus Rp5 juta.
Di tangan Ganjar, jumlah kemiskinan di Jateng terus menurun dari 14,1% pada awal memimpin di 2013 menjadi 10,9% tahun lalu. Demikian pula, angka pengangguran turun tipis dari 6% menjadi 5,6% pada rentang periode yang sama. Sementara itu, dalam rentang lima tahun terakhir, jurang antara kaya dan miskin di Jateng stagnan di angka koefisien gini 0,37, dan cukup rendah sebesar 2,9%.
Dalam hal janji kampanye, seperti halnya Anies yang gagal membendung reklamasi Teluk Jakarta, Ganjar juga gagal dalam mengatasi banjir akibat air pasang yang melimpah ke daratan atau dikenal juga dengan istilah banjir rob di Pesisir Kota Semarang. Setiap waktu masalah ini menjadi problem yang tak pernah usai di Jateng. Oleh: Muhammad Maruf Kepala Riset CNBC Indonesia. Menyelami jurnalistik sejak 1999 dengan pengalaman di media digital-cetak nasional dan internasional. (*)
Tinggalkan Balasan