AMBON, Siwalimanews – Bupati Seram Bagian Barat M. Yasin Payapo menggaku, tidak mengetahui terjadinya alih fungsi izin perkebunan menjadi pengola­han kayu yang dilakukan sejak tahun 2017 lalu.

Diduga ada penyalahgunaan izin yang dilakukan oleh CV Titian Hijra beroperasi di wilayah petuanan Dusun Ahiolo dan Abio sejak ta­hun 2017, dengan mengantongi izin perkebunan Kakao dan Pala tetapi kenyataan, izin yang didapat digunakan untuk penebangan kayu.

“Saya ngak tahu ada alih fungsi per­kebunan, belum dapat laporan soal­nya,” jelas Payapo kepada Siwalima usai mengikuti rapat koordinasi Forkopimda provinsi dan kabupaten se-Maluku di Kantor Gubernur Maluku, Selasa (3/11).

Ketika ditanyakan CV Titian Hijra telah beroperasi enam tahun sejak tahun 2012, Payapo tetap mengaku belum mengetahui.

Didesak kalau sejumlah masyara­kat yang menamakan diri mereka Pemuda Mandiri Peduli Rakyat (PMPR) Indonesia Cabang Maluku telah menyuarakan kepada DPRD maluku atas pelanggaran yang dila­kukan oleh CV Titian Hijra namun diri­nya lagi-lagi mengaku tidak tahu.

Baca Juga: 29 M Lebih Dicairkan untuk 12.261 UMKM di Ambon

“Saya tidak tahu, belum dapat la­poran dari bawa soalnya, kilah Pa­yapo sambil mengatakan sudah ya, saya sedang buru-buru mau pergi.

Dikejar dengan pertanyaan keja­dian ini sudah berlangsung lama di daerah yang di pimpinnya, payapo lagi-lagi mengelak dan menaiki ken­daraan miliknya dan meninggalkan kantor gubernur.

Desak DPRD

Sebelumnya diberitakan, Lembaga Swadaya Masyarakat Pemuda Mandiri Peduli Rakyat (PMPR) Indonesia Cabang Maluku membeberkan terjadinya alih fungsi izin perkebunan menjadi izin pengolahan kayu di Kabupaten Seram Bagian Barat.

CV Titian Hijra beroperasi di wi­layah petuanan Dusun Ahiolo dan Abio sejak tahun 2017 dengan me­ngantongi izin perkebunan Kakao dan Pala. Namun izin tersebut dialih­fungsikan ke penebangan kayu.

“Jadi CV Titian Hijra ini mulai me­lakukan operasi pada wilayah pe­tuanan Dusun Ahiolo dan Abio sejak tahun 2017 dengan mengan­tongi izin perkebunan kakao dan pala,” jelas Brandon Matoke, salah satu peserta demo yang menyam­paikan tuntutannya kepada Komisi III DPRD Maluku, Senin (3/11) yang dipimpin Richard Rahakbauw.

Kata Matoke, CV Titian Hijra me­ngambil semua hasil hutan berupa kayu dari petuanan Ahiolo dan Abio yang selanjutnya dibawah ke Jawa, dan tidak diikuti dengan penanaman kembali. Bahkan masyarakat setem­pat tidak mendapatkan manfaat apapun dari beroperasinya CV Tirta Hijra.

“Dong hanya mengambil kayu dan dibawa ke Jawa, tapi izin untuk perkebunan Kakao dan Pala tidak ada,” beber Matoke.

PMPR meminta DPRD Maluku memanggil Bupati SBB karena dinilai lepas tangan dari adanya dugaan perampasan hasil hutan ber­modus pertanian diwilayah petua­nan Desa adat Ahiolo dan Abio Kecamatan Elpaputi  Kabupaten Seram Bagian Barat.

Selain itu, masa aksi juga meminta agar DPRD Maluku meninjau lokasi perkebunan yang dilakukan oleh CV Titian Hijra diwilayah petuanan desa adat Ahiolo dan Abio.

Tak hanya itu, PMPR juga me­nyampaikan tuntutan terkait dengan harga cengkeh yang mengalami pe­nurunan yang berdampak pada hasil panen cengkih.

Harga Cengkih Merosot

PMPR Indonesia juga menyentil merosotnya harga cengkih di Maluku yang berdampak terhadap masyarakat yang mengantungkan hidupnya sebagai petani cengkeh.

“Maluku adalah primadona di mata dunia dengan kekayaan alam berupa rempah-rempah. Yang jadi pertanyaannya, apakah cengkih dan pala masih jadi primadona hingga saat ini sampai sampai harganya turun drastis. DPRD harus lihat hal ini, banyak orang tua kami di Maluku yang mengantungkan hidup dari cengkih,” jelas koordinator lapa­ngan, Saman A Patty saat berorasi di DPRD Maluku sekitar pukul 13.00 WIT.

Patty mengungkapkan, harga cengkih kering per kilogram sebe­lumnya berkisar diatas  Rp 150 ribu/kg, dengan klasifikasi Rp 10 ribu/cupa. Namun saat ini turun darastis menjadi Rp 50 ribu/kg atau Rp 2 ribu/cupanya.

Kurang lebih 1 jam berorasi, para pendemo diterima Ketua Komisi III Richard Rahakbauw dan Wakil Ketua Komisi II Temmy Oersepuny di ruang komisi,

Haikal Tella menjelaskan, mero­sotnya harga cengkih dikaitkan de­ngan adanya pandemi Covid-19 ti­daklah rasional, mengingat merosot­nya harga cengkih di Maluku terjadi sebelum adanya pandemi.

Untuk itu, ia minta DPRD mencari solusi mengembalikan harga ceng­kih guna menyelamatkan para petani cengkih di Maluku.

“Kami hidup dari petani cengkih, namun saat ini harganya merosot drastis, yang kami pertanyakan, kenapa harga tersebut bisa turun, belakangan kami dengar alasannya pandemi. Sebelum covid harga ce­ngkih sudah turun, kalau terus begini orang tua kami yang berprofesi sebagai petani yang susah, DPRD harus melihat ini,” pintanya.

Menanggapi hal tersebut ketua Komisi Richard Rahakbauw berjanji akan mengagendakan untuk mema­nggil mitra terkait dalam hal ini Dinas Pertanian maupun Disperindag.

“Kita akan panggil kedua dinas ini dalam rapat dengar pendapat, sehi­ngga kita ambil kesimpulan kesa­lahannya dimana sampai harga ce­ngkih merosot dan langkah selan­jutnya apa,” janji Rahakbauw.

Untuk mendengar langsung penje­lasan dinas terkait, Rahakbauw juga membuka ruang agar perwa­kilan demonstran bisa hadir dan me­nyampaikan langsung aspirasi di depan dinas terkait dalam rapat nanti.

“Setelah ini kita rapat di komisi tentukan jadwal rapat, selanjutnya kita akan hubungi perwakilan de­monstran agar hadir dalam rapat itu untuk dengar solusinya apa kalau memang ada kemerosotan harga cengkih,” kata  Rahakbauw.

Mendengar penjelasan Rahak­bauw, massa selanjutnya membu­bar­kan diri dengan aman dan tertib pada pukul 14.29 WIT. (S-39)