AMBON, Siwalimanews – Sikap bungkam DPRD Maluku akan mangkraknya proyek jumbo air bersih di Pulau Haruku, menuai banyak kritik. Dewan dianggap tak peka dan tidak berpihak ke rakyat kecil.

Belum adanya sikap resmi DPRD Maluku berkaitan dengan pengerjaan proyek infrastruktur dasar bagi warga kecil, disa­yangkan berbagai kalangan.

Akademisi Fisip Unpatti, Pau­lus Koritelu mengatakan, sebagai representasi rakyat Maluku se­benarnya DPRD harus segera memanggil eksekutif dalam hal ini Dinas PUPR Maluku dalam kaitan dengan persoalan proyek bermasalah yang dibiayai dana pinjaman PT Sarana Multi Infra­struktur.

“Sebagai representasi rakyat, sebanarnya mereka harus pang­gil pihak eksekutif termasuk PUPR untuk menanyakan apa dan di mana problemnya,” ung­kap Koritelu.

Menurutnya, jika DPRD mema­nggil Dinas PUPR, sebenarnya merupakan hal biasa saja dalam hal menjalankan tugas pengawa­san dan bukan istimewa, sehi­ngga pemanggilan itu dapat dilakukan.

Baca Juga: Gelombang Tinggi Ancam Sejumlah Perairan Maluku

Koritelu menegaskan DPRD Maluku harus berani untuk memanggil karena ini berkaitan dengan anggaran miliaran rupiah yang diduga bermasalah dan meru­gikan keuangan daerah.

“DPRD jangan diam dan harus berani panggil agar jelas persoa­lannya,” tegas dia.

Menurutnya, jika DPRD tidak berani memanggil, maka jangan salahkan kalau publik curiga dan bertanya-tanya, apalagi fenomena ketidakpercayaan masyarakat sema­kin bertambah kepada lembaga yang terhormat itu.

Ditambahkan, bila masyarakat tidak percaya dengan eksekutif, itu merupakan hal biasa karena tugas eksekutif melayani masyarakat. Tetapi jika kepercayaan terhadap DPRD tidak ada, maka hal itu akan berpengaruh terhadap fungsi dan tugas mereka.

“Jika masyarakat tidak percaya dengan eksekutif, tidak bermasalah karena memang fungsi eksekutif melayani masyarakat sedangkan DPRD harus berteriak ketika ada kebijakan pemerintah yang salah,” cetusnya.

Dihubungi terpisah, praktisi hu­kum Fistos Noija mengatakan, proyek infrastruktur yang dibangun oleh pemerintah harus dapat mensejahterakan masyarakat tetapi faktanya proyek tersebut tidak dapat dirasakan dan justru merugikan masyarakat.

Karena itu, DPRD Provinsi Maluku harus dapat bersuara ketika terjadi persoalan yang berkaitan dengan pembangunan infrastruktur bukan sebaliknya berdiam diri dan mentup mata.

Menurutnya, DPRD dipilih oleh masyarakat sehingga harus memper­juangkan kepentingan masyarakat, apalagi hal ini berkaitan dengan kerugian keuangan  daerah.

“DPR itu kan dong seng pernah me­lamar atau iko tes untuk disitu tapi karena masyarakat, jadi kalau ada masalah seperti ini dong seng bisa diam dan tutup mata,” tegas Noija.

Menurutnya, DPRD harus berani untuk mempertanyakan persoalan ini kepada PUPR, jangan sampai menimbulkan permikiran lain terhadap lembaga itu.

Sementara itu, aktivis Lembaga Pemantauan Penyelenggaraan Ne­gara RI, Minggus Talabessy mene­gaskan, DPRD memiliki fungsi lain seperti anggaran dan juga penga­wasan, sehingga menjadi tanggung jawab DPRD untuk melihat hal ini.

Dalam menjalankan fungsi penga­wa­san, kata Talabessy sebenarnya DPRD sudah harus mengetahui bahwa ada proyek yang bermasalah karena itu secara jelas merugikan daerah miliar rupiah.

Karena itu, DPRD seharusnya dengan inisiatif sendiri harus me­manggil Dinas PUPR untuk mena­nyakan supaya bisa diketahui personal, bukan setelah ada desakan dari masyarakat dahulu.

DPRD harus panggil, artinya jika ada unsur korupsi disitu, DPRD harus berani keluarkan rekomendasi untuk penegakan hukum,” ujar Talabessy.

Lanjutnya, DPRD tidak boleh me­nutup mata dan berdiam diri karena tanggung jawab sebagai wakil rakyat apalagi ini anggaran yang cukup besar.

“Jangan cuma rapat membahas persoalan yang biasa-biasa se­dangkan masalah di depan mata tidak dilihat. Kalau tidak masyarakat tidak percaya kepada para wakil yang ada,” cetusnya.

Komisi Harus Panggil

Anggota Komisi I DPRD Provinsi Maluku, Alimudin Kolatlena men­desak Komisi III untuk segera memanggil Dinas PUPR Maluku untuk mempertanyakan persoalan ini.

Menurutnya, sejak awal pinjaman SMI ini telah bermasalah mulai dari distribusi pembagian per wilayah, per gugus pulau, per kabupaten yang memang telah terjadi ketim­pangan hingga proses pengerja­annya yang menyisakan sejumlah persoalan.

“Akhirnya juga pekerjaan yang sudah berjalan atau proses yang sudah berjalan itu ternyata menyi­sakan banyak masalah di lapangan. Kita lihat misalnya trotoar di Kota Ambon, sampai dengan hari ini komplain dari masyarakat tidak berhenti. Kemudian banyak sekali pekerjaan yang tersebar di Maluku itu meninggalkan banyak masalah, ada yang pekerjaannya belum selesai sudah terancam ambruk dan hari ini juga banyak sekali proyek-proyek dari dana SMI yang tidak dikerjakan dengan maksimal sampai hari ini,” ungkap Kolatlena.

Meskipun bukan sebagai anggota Komisi III, tetapi sebagai anggota DPRD, pihaknya perlu mendesak agar dengan adanya persoalan seperti pembangungan talud di SBT, Air bersih di Pulau Haruku dan trotoar di Kota Ambon maka Komisi III harus keras dengan memanggil pihak-pihak terkait.

“Kita minta supaya DPRD ter­utama Komisi III melakukan fungsi pengawasannya secara lebih ketat termasuk dengan memanggil pihak-pihak terkait,” ujar Kolatlena.

Wakil rakyat daerah pemilihan SBT dari Partai Gerindra ini meminta, Komisi III harus keras dalam menja­lankan fungsi pengawasan, karena memang fungsi pengawasan tidak boleh diabaikan apalagi ber­kaitan dengan anggaran yang cukup besar.

“Teman-teman di komisi III harus tegas karena ini berdampak pada anggaran kita yang terpotong de­ngan sendirinya dari katong pung dana alokasi umum. Jadi penga­wasan mesti ketat,” cetusnya.

Hal yang sama diungkapkan ang­gota DPRD Provinsi Maluku, Amir Rumra. Ia mengatakan, persoalan yang disampaikan oleh masyarakat merupakan bagian dari pengawasan publik terhadap lembaga DPRD.

“Semua catatan itu menjadi bagian sehingga menjadi perhatian bagi komisi III untuk melakukan penga­wasan terhadap persoalan-persoa­lan ini termasuk memanggil pihak-pihak terkait,” tegasnya.

Rumra menegaskan pihaknya tidak mencampuri urusan Komisi III, namun ketika ada masalah maka menjadi tanggung jawabnya untuk meminta rekan Komisi III untuk bisa memperhatikan hal itu.

Mangkrak

Seperti diberitakan, Tahun 2020 lalu, Dinas PU Maluku merancang proyek Air Bersih di Pulau Haruku, yang tersebar di beberapa desa, seperti Kailolo, Pelauw, Rohomoni, Aboru dan Wasu.

Anggaran yang disiapkan pun tak tanggung-tanggung. Seperti dilansir laman www.lpse.malukuprov.go.id, pagu proyek tersebut sebesar Rp. 13 miliar, yang bersumber dari pinjaman PT SMI.

PT Kusuma Jaya Abadi Construction, ditetapkan sebagai pemenang lelang, dengan nilai Rp. 12.483. 909.041.36.

Sesuai kontrak, seluruh item pe­kerjaan harus mulai dilaksanakan tanggal 3 Desember 2020 dan berak­hir pada 31 Desember 2020. Kon­traktornya sendiri sudah diberi uang muka, sebelum kerja sebesar 20 persen.

Tak cukup sampai di situ, mereka kemudian diberi tambahan dana sebesar 30 persen, sehingga total menjadi 50 persen. Betul-betul aneh. Sebelum bekerja apa-apa, kontraktor spesial ini sudah diberi modal Rp. Rp. 6,2 miliar.

Bahkan belum lama ini, sang kontraktor juga sudah mencairkan termin 75 persen, sebesar Rp. 3.120.997.250.

Sumber Siwalima di Pemprov Ma­luku mengatakan, pencairan terse­but dilakukan pada tanggal 17 Mei 2021. Termin 75 persen baru dicairkan sebelum lebaran, tanggal 17 Mei,” kata sumber yang minta namanya tidak ditulis itu.

Dengan demikian, hingga kini tercatat sudah Rp. 9,3 miliar yang digelontorkan Pemprov untuk membiayai proyek mangkrak ini.

Sesuai pantauan lapangan, fisik proyek yang sudah selesai dikerja­kan, tidak lebih dari 25 persen.

Detail Kerja

Sesuai kontrak, kontraktor diha­rus­kan mengerjakan dua sumur di Kailolo, dua sumur di Pelau dan dua sumur lainnya di Namaa dan Naira.

Dua lokasi yang sudah ditetapkan sebagai lokasi penggalian sumur di Kailolo terletak di kompleks Sekolah Dasar dan di dekat Kramat.

Dua sumur lain yang digali di Kailolo juga belum selesai dikerjakan dan hanya berbentuk lubang pengeboran yang ditutup karung plastik.

Selain sumur, kontraktor juga diharuskan membangun dua bak penampung yang masing-masing berkapasitas 100M3. Namun hingga kini hanya ada satu bak penampung yang dibangun, itupun masih belum rampung pengerjaannya.

Di Pelauw, titik penggalian sumur ada di belakang kantor Camat Pelauw, dimana kontraktor hanya menggali sumur yang belum selesai dikerjakan. Sedangan dua bak pe­nampung yang berkapasitas 100M3, sama sekali belum dibangun.

Dari pantauan di lapangan, diketahui kegiatan pengerjaan sudah lebih dari satu bulan terhenti. Beberapa warga desa yang ditemui Siwalima Selasa (25/5) mengaku kalau seluruh tukang yang mengerjakan proyek tersebut sudah pulang sebelum bulan puasa lalu.

Tak Masuk Rohomoni

Staf pemerintah Negeri Rohomoni Rizal Sangadji membenarkan kalau awalnya sesuai rencana akan ada pembangunan air bersih di desanya. Walau begitu, sampai saat ini proyek tersebut tidak ada.

Kepada Siwalima melalui telepon selulernya, Rizal mengatakan, sekitar sebulan lalu, kontraktor yang akan mengerjakan sumur bor untuk kebutuhan air bersih di desanya sudah memasang alat bor dan peralatan lainnya di lokasi pengeboran.

“Mereka pasang cuma sekitar sebulan yang lalu, kemudian alat itu dicabut dan dibawa pergi entah kemana, kami tidak tahu alasan apa sehingga tidak jadi dibor airnya,” kesal rizal.

Dirinya mengaku sesuai dengan perencanaan pembangunan air bersih di Pulau Haruku dengan menggunakan dana SMI itu dibangun sumur bor selain di Desa Rohomoni, juga di Pelauw, Kailolo termasuk di Aboru.

“Yang di desa lain sudah jalan tetapi, kami tidak, peralatan sudah dicabut,” jelasnya.

Sampai sekarang pun pihaknya belum mendapat konfirmasi dari dinas PUPR Maluku terkait alasan apa proses pembangunan batal dilaksanakan.

Akui Belum Selesai

Sekertaris Camat Pulau Haruku, Ali Latuconsina yang dikonfirmasi Siwalima membenarkan proyek air bersih di Pulau Haruku khususnya di Pelauw dan Kailolo belum selesai dikerjakan.

“Kalau untuk pengeboran sudah selesai, tetapi kalau pekerjaan lanjutan belum selesai, panel surya bak penampung itu belum dikerjakan, mesin pompa belum dilaksanakan,” jelas Latuconsina kepada Siwalima melalui telepon selulernya, Rabu (26/5) lalu.

Menurutnya, proyek air bersih di Pulau Haruku dikerjakan tidak ada papan proyek, sehingga pekerjaan yang sudah harus diselesaikan namun belum diselesaikan.

“Ini dari akhir tahun lalu, mestinya sudah harus selesai sehingga masyarakat sudah bisa manfaatkan tetapi belum. Para pekerja dari luar dan mereka sudah pulang di sebelum puasa, dan belum balik. Sehingga belum ada pekerjaan lanjutan,” ujarnya.

Ia berharap, pekerjaan proyek air bersih ini bisa diselesaikan dan masyarakat bisa memanfaatkan.

“Harapan besar proyek ini harus segera dilanjutkan dan diselesaikan biar masyarakat bisa memanfaatkan proyek ini,” jelasnya singkat.

PUPR Tertutup

Hingga saat ini, tak satupun pe­jabat di Dinas PU Maluku yang mau buka mulut soal proyek air bersih mangkrak ini.

Mulai dari Ka­bid Cipta Kar­ya, Nurlela Sopa­lauw, PPTK Nur Madras, hingga Sekretaris Dinas Afandy Hasanusi, semu­anya tutup mulut dan memilih meng­hindar dari media.

Begitu pula dengan kontraktor yang menggarap proyek jumbo ini. Fais makelar yang memin­jam perusahaan untuk meng­erjakan proyek ini juga melakukan aksi tutup mulut.

Bermodalkan perusa­haan pin­jam­an, proyek pembangunan sarana dan prasarana air bersih Pulau Haruku, dikerjakan oleh makelar proyek.

Ko­non Fais ini adalah orang dekat pejabat yang meng­urus dan mengawal selu­ruh proses di SMI.

Fais ini pula yang meminjam PT Ku­suma Jaya Abadi Construction, yang beralamat di Jalan Sumber Wuni Indah A-30/34 Lawang, Kabu­pa­ten Malang, Jawa Ti­mur, untuk memenuhi persyaratan lelang.

Menurut sumber Siwa­lima, Fais sendiri yang turun langsung dan aktif berkomunikasi dengan para pejabat PU.

“Seluruh pengurusan dilakukan oleh Fais, mulai dari tender sampai dengan urusan pencairan,” ujar sumber yang meminta namanya tidak ditulis ini.

Masih kata sumber itu, dalam untuk memperlancar prosesnya, Fais selalu membawa-bawa nama pejabat Badan Pemeriksa Keuangan. “Dia selalu membawa nama pejabat BPK, termasuk dalam proses pencairan,” tambah sumber tadi.

Fais sendiri sangat tertutup dan tak menjawab panggilan telepon maupun pesan singkat yang dikirim padanya. Padahal awalnya Fais berkomunikasi dengan Siwalima, namun saat mengetahui hendak dikonfrontir soal air bersih di Pulau Haruku, Fais tak pernah menjawab lagi panggilan dan pesan singkat yang dikirim.

Sebelumnya, Ka­bid Cipta Kar­ya, Nurlela Sopa­lauw yang dikonfirmasi soal proyek mangkrak ini Rabu (26/5), menyaran­kan Siwalima untuk da­tang ke Sekretariat Di­nas PU­PR.

“Untuk konfirmasi ke kantor sekretariat Dinas PUPR,” ujar Nurlela dalam pesan WhatsApp.

Hal yang sama juga diungkapkan PPTK Nur Madras. “Nanti ke kantor saja konfirmasi ke sekretariat,” ujar dia melalui pesan whatsApp, Rabu (26/5) siang.

Siwalima mencoba lagi melakukan konfirmasi pada Kamis (27/5) dengan kedua pejabat ini namun diarahkan langsung ke Sekretaris Dinas PUPR.

“Untuk konfirmasi langsung ke sekretaris dinas,” jawab Nurlela kembali kepada Siwalima.

Nur Madras sebagai penanggung jawab proyek air bersih di Pulau Haruku,  Kamis (27/5) siang juga menyarankan Siwalima untuk langsung mengonfirmasi sekretaris dinas.

“Ketemu dengan sekretaris dinas sebagai koordinator media center SKPD,” jawabnya.

Namun begitu, sekitar pukul 12.50 WIT, salah satu pegawai di Sekretaris Dinas PUPR, mengaku kalau Afandy Hasanusi masih melayani beberapa tamu.

Siwalima kemudian berinisitif untuk tetap menunggu dan mencegat di lobi Dinas PUPR untuk meminta klarifikasi tentang proyek air bersih di Pulau Haruku.

Hal ini penting karena publik harus mengetahui mengapa proyek air bersih yang nyaris habiskan anggaran Rp 12,4 miliar itu mangkrak.

Sekitar satu jam menunggu, akhirnya sang sekretaris dinas Afandi Hasanusi keluar. Namun saat dicegat Siwalima, Afandi menghindar dan berdalih hendak makan dulu. “Saya makan dulu,” ujarnya singkat.

Siwalima meminta waktu untuk menunggunya usai makan di kantornya, namun sayangnya sampai pukul 15.55 WIT sang sekretaris dinas ini belum juga kembali ke kantornya.

Hasanusi juga beberapa kali dihubungi melalui Whatsapp, namun hingga berita ini dikorankan sang sekretaris tidak merespons.

Akui Perintah Atasan

Sementara itu, petugas lapangan PT Ku­suma Jaya Abadi Construction, Sadly mengakui adanya perintah atasan untuk tidak menceriterakan soal pekerjaan dan pencairan anggaran 75 persen, sekalipun pekerjaan belum selesai.

“Kalau itu saya tidak memiliki kewenangan menjawab karena itu instruksi dari atasan saya juga, mungkin nanti saya konfirmasi dulu baru bisa menjawab,” ujar Sadly saat dikonfirmasi Siwalima, Senin (31/5) melalui telepon selulernya.

Ditanya, soal tidak adanya lagi peralatan untuk kelanjutan pengerjaan proyek, Sadly berdalih jika semua peralatan masih ada, namun karena adanya larang mudik sehingga semua pekerja kembali ke Jawa.

“Semua peralatan masih ada pak, karena terkait masalah larangan mudik kita pulang dulu,” cetusnya.

Ketika ditanya soal adanya tekanan kepada Dinas PUPR guna mencairkan anggaran, Sadly menegaskan bukan menjadi ke­-wenangannya untuk menjelaskan

Saya tidak memiliki kewenangan untuk menjawab itu pak nanti dari pihak perusahaan,” ujar Sadly. (S-50)