Bebas Aktif dan Politik Kemanusiaan Kita
INDONESIA menjadi bagian dari 141 negara yang mendukung resolusi Majelis Umum PBB untuk mengecam serangan Rusia ke Ukraina. Dukungan Indonesia tersebut ternyata menuai debat publik. Ada yang mendukung, tapi tidak sedikit juga yang menolak. Mereka yang menolak menganggap keputusan Indonesia itu telah keluar jalur karena tidak mencerminkan politik luar negeri bebas aktif. Bebas aktif dalam konteks Ada kekeliruan yang cukup serius yang masih beredar di tengah masyarakat kita terkait pelaksanaan politik luar negeri Indonesia. Kekeliruan itu berangkat dari asumsi bahwa untuk menjalankan politik luar negeri (polugri) yang bebas aktif maka Indonesia harus bersikap netral dalam setiap konflik. Padahal, polugri bebas aktif berbeda dengan politik netral. Bebas artinya Indonesia harus independen, tidak boleh tertekan dan ditekan dalam menentukan sikap. Adapun aktif berarti Indonesia harus berkontribusi dalam mewujudkan perdamaian dunia.
Pidato Wakil Presiden Mohammad Hatta pada 2 September 1948 di Badan Pekerdja Komite Nasional Pusat (BPKNP) jelas menegaskan bahwa polugri bebas aktif harus diabdikan bagi perdamaian dunia. Pidato Mendajung di Antara Dua Karang tersebut, yang kemudian ditulis lebih lengkap oleh Hatta dalam artikelnya di jurnal Foreign Affairs edisi April 1953, juga memberi kita konteks bahwa polugri kita tidak lahir dari ruang hampa. Lebih jelas, ia harus dibaca dan dijalankan berkelindan dengan landasan filosofis dan konstitusional kita, yaitu Pancasila dan UUD 1945. Pada dua dokumen ini, kita akan menjumpai bahwa hulu dari politik luar negeri kita adalah internasionalisme atau perikemanusiaan. Presiden Soekarno dalam pidatonya pada 1 Juni 1945 mengingatkan bahwa paham kebangsaan Indonesia tidak dimaksudkan sebagai paham yang chauvinistic. Katanya, “Memang prinsip kebangsaan ini ada bahayanya! Bahayanya ialah mungkin orang meruncingkan nasionalisme menjadi chauvinisme sehingga berpaham ‘Indonesia uber Alles.” Lebih tegas Bung Karno mengatakan bahwa “Kita bukan saja harus mendirikan negara Indonesia merdeka, tetapi kita harus menuju pula kepada kekeluargaan bangsa-bangsa.” Dari sini jelas bahwa polugri Indonesia tidak berdiri sendiri. Ia memiliki konteks yang di antaranya ialah untuk meninggikan internasionalisme atau perikemanusiaan, atau dalam bahasa Bung Karno ‘kekeluargaan bangsa-bangsa’.
Di titik ini pula, kita dapat membaca dan meletakkan dukungan Indonesia pada resolusi Majelis Umum PBB tentang serangan Rusia itu secara tepat. Resolusi tersebut bukan hanya tidak bertentangan dengan kebijakan polugri kita, tetapi juga telah sesuai dan sejalan dengan landasan polugri kita dalam hal ini Pancasila dan UUD 1945. Diplomasi Indonesia ke depan memang harus lebih asertif. Untuk setiap aib dan kekacauan yang terjadi di muka bumi, diplomasi kita tidak perlu dan tidak boleh bersikap abstain. Pada setiap tindakan yang mengancam perdamaian dunia, polugri kita harus bersikap. Bahwa dalam setiap konflik, apalagi yang melibatkan negara, tiap-tiap pihak mempunyai justifikasi dan pembenaran itu hal lumrah. Yang terpenting, kita tidak boleh larut dalam debat soal justifikasi itu. Polugri Indonesia harus memihak kepada kemanusiaan. Keberpihakan ini adalah amanat suci dari Pancasila dan UUD 1945.
Politik kemanusiaan kita Sejarah telah merekam dengan baik, betapa paham kebangsaan yang ‘overdosis’ dapat segera berubah menjadi fasisme. Hal ini telah ditengarai oleh Bung Karno seperti disitir di atas. Oleh karena itu, kita memerlukan resep yang tepat, bagaimana nasionalisme seharusnya dirawat dan dikembangkan. Pertanyaan ini penting dijawab, mengingat polugri kita ke depan akan terus berhadapan dan bersinggungan dengan kepentingan strategis bangsa-bangsa.
Setiap negara akan terus menggunakan jargon ‘nasionalisme’ untuk mencapai tujuannya. Bahkan, Rusia ketika akan menyerang Ukraina pun menggunakan justifikasi untuk melindungi kepentingan dalam negerinya, betapapun kontradiktifnya argumen itu. Di tengah turbulensi politik dunia itu, penting bagi kita memiliki kompas untuk menjalankan polugri kita. Dan, kemanusiaan adalah salah satu kompas itu. Tentu politik kemanusiaan di sini tidak boleh diartikan dan dijalankan dengan naif. Polugri kita harus tetap dapat membaca perkembangan geopolitik dunia dengan cermat. Namun, postulat dasarnya jelas bahwa bacaan kita akan geopolitik dan geostrategis internasional harus memasukkan elemen kemanusiaan. Kemajuan teknologi, termasuk di dalamnya ialah masifnya penggunaan media sosial, juga menjadi alasan mengapa kemanusiaan harus menjadi kompas polugri kita. Penyelenggaraan kebijakan luar negeri Indonesia ke depan harus lebih peka menyerap aspirasi masyarakat. Zaman telah berubah.
Baca Juga: Kejari Aru Setor Rp1.023 Miliar ke Kas NegaraPenyelenggaraan polugri tidak perlu dan tidak boleh lagi elitis karena ia telah dimonitor dan ‘dipelototi’ langsung oleh masyarakat melalui berbagai perangkatnya. Dengan demikian, sensitivitas kita dalam membaca dan menangkap rasa keadilan masyarakat dunia harus menjadi faktor penentu dalam merumuskan kebijakan luar negeri. Hal terakhir, kenapa Indonesia harus menjadikan kemanusiaan sebagai kompas polugri ialah karena prinsip kemanusiaanlah yang paling dekat ‘nasabnya’ dengan rules of law . Jika kita sepakat bahwa hubungan bangsa-bangsa di dunia harus dibimbing oleh hukum internasional maka polugri kita harus berdiri di garda paling depan dalam mengamankan hukum internasional. Dus, kita harus setia dengan prinsip kemanusiaan karena itu bagian untuk menegakkan hukum internasional. Dengan kompas kemanusiaan itu pula, seperti kata Bung Karno, polugri kita akan tumbuh dan berkembang dalam ‘taman sari kekeluargaan bangsa-bangsa’.Oleh: Ali Murtado Diplomat Indonesia di Doha, Qatar
Tinggalkan Balasan