Analisis Politik Pilpres 2024 All Jokowi’s Men dan Upaya Sistematis Menjegal Anies
Ibaratkanlah calon-calon presiden pada Pemilihan Presiden pada 2024 sebagai produk, maka Ganjar Pranowo dan Prabowo Subianto adalah satu produk yang sama dengan merek yang berbeda. Satu lagi, Anies Rasyid Baswedan adalah produk yang berbeda dengan merek yang berbeda pula.
Produk yang sama itu berlabel All Jokowi’s Men, orang-orang yang tampaknya direstui menjadi pilihan Presiden Joko Widodo untuk meneruskan estafet kepemimpinan 2024. Keduanya adalah sintesa Jokowi, walaupun dalam hal ini Ganjar lebih diuntungkan karena mereknya (baca PDI Perjuangan) adalah partai penguasa yang sama, mengusung Jokowi sebagai presiden pada 2014 dan 2019.
Sementara itu, Prabowo adalah bekas rival dua kali Pilpres Jokowi yang kemudian mau dijadikan pembantu presiden. Tentu pilihan utama Jokowi adalah Ganjar yang sangat kentara di endorsenya karena memang satu partai, sementara Prabowo adalah ban serep yang oke saja bila rupanya mampu mengalahkan Ganjar meskipun ia diajukan Partai Gerindra.
Pada mulanya, Anies pun demikian. Berbekal catatan sebagai jubir pemenangan Jokowi pada Pilpres 2019, ia berulang kali mengemukakan bahwa ia adalah juga akan meneruskan kebijakan Jokowi bila terpilih kelak. Anies bahkan pernah berjanji apabila menang, proyek mercusuar Jokowi, Ibukota Nusantara (IKN) di Kalimantan akan diteruskan. Dengan diplomatis dia mengatakan, “IKN sudah jadi UU. Dan kita semua ketika dilantik tugas apapun sumpahnya melaksanakan UU,” kata Anies di Kantor DPP Demokrat, seperti dikutip dari CNN Indonesia Kamis (2/3).
Dengan tingkat kepuasan kinerja hingga 82% berdasarkan survei Lembaga Survei Indonesia (LSI) pada April 2023-tertinggi sejak Jokowi naik tahta pada 2014, sangat masuk akal semua capres ingin mimikri dengan Jokowi. Restu Jokowi amat menentukan, karena orang yang dipilihnya besar kemungkinan akan meraup limpahan suara pendukung pada dua pilpres sebelumnya. Maka tak salah Menteri Investasi Bahlil Lahadalia pernah menyatakan capres yang ingin menang harus baik-baik ke Jokowi.
Baca Juga: Gerak Langkah Abad Kedua NU & Urgensi Aspek Ilmu PengetahuanHanya saja sintesa itu sebenarnya menafikan fakta sejarah pilpres sejak reformasi. Secara politis, semua presiden yang terpilih adalah antitesa presiden sebelumnya. Abdurrahman Wahid atau Gusdur adalah aktivis pro-demokrasi musuh Soeharto, Susilo Bambang Yudhoyono adalah antitesa Megawati dimana sampai sekarang keduanya tak saling sapa, dan dalam dua kali pilpres Jokowi adalah antitesa SBY dimana Partai Demokrat menaruh pilihan Hatta Rajasa, aliansi keluarga (besan) pada pilpres 2014 dan bahkan pada 2019 pun demikian kembali berpihak pada Prabowo-Sandiaga.
Anies tidak akan pernah bisa menjadi sintesa Jokowi, meskipun ia berkali-kali membantah bila hubungannya tidak harmonis dengan presiden. Demikian pula Jokowi tak pernah mengungkapkan ketidaksukaannya pada Anies. Tapi sejak Jokowi memecat Anies sebagai Menteri Pendidikan tak lama setelah dilantik-meski ia berperan besar dalam pemenangan sebagai Jubir-semua tahu inilah awal publik tahu Jokowi tak sreg dengan Anies. PDIP dan juga endorsement Jokowi pada Pilkada DKI Jakarta 2017 terhadap pasangan Basuki Tjahaja Purnama -Djarot Saiful Hidayat adalah sinyal kuat bagaimana Jokowi ingin menjegal karir politik Anies sejak awal. Menjadi Gubernur DKI adalah tangga paling mudah untuk menjadi presiden seperti Jokowi.
Saling tidak suka atau tidak antara Jokowi dan Anies tidaklah penting, ini soal pilihan politik masing masing, dan tampaknya bukan masalah personal. Menariknya adalah belakangan Anies mengubah strategi kampanye dengan mencoba memaksimalkan potensinya sebagai antitesa Jokowi. Ini dimulai dari sebuah postingan Anies duduk santai memegang buku bersampul ‘Principles for Navigating Big Debt Crises’.
Narasi di akun medsos Instagram Anies begini; “Matahari yang terang itu, kini mulai meredup terbenam. Teduh, semilir dan tenang untuk membaca dan bersiap. Sebelum esok menyambut hari yang baru dan lebih baik.” Buku yang dipegang Anies di postingannya itu adalah karya investor top dunia, Ray Dalio yang berisi gagasan soal bagaimana kebijakan publik merespons masalah krisis utang. Buku ini menyediakan penjelasan tentang cara mengatasi krisis agar tak terulang kembali.
Ray Dalio memakai peristiwa krisis Depresi Hebat era 1930-an dan krisis keuangan tahun 2008 yang mengguncang dunia. Ray memaparkan sejarah krisis dan mengapa hal itu terjadi. Dalam bahasa terang, postingan Anies mungkin berbunyi begini, “Kalau saya jadi presiden saya sudah siap mengatasi masalah utang pemerintah yang menggunung warisan Jokowi.”
Tentu saja ini adalah serangan pertama yang cukup telak kepada Jokowi. Tindakan seperti ini tidak pernah Anies lakukan sejak ia dicalonkan Nasdem sebagai Capres. Sudah menjadi fakta Jokowi adalah presiden dengan prestasi menambah utang terbanyak sejak republik ini berdiri demi program masif infrastruktur. Bila SBY mampu menurunkan rasio utang terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) dari 54% pada 2004 menjadi hanya 24% pada akhir kepemimpinan, maka Jokowi membuat rasio utang pemerintah menjadi 40%. Dari Rp2.600 triliun menjadi nyaris Rp8.000 triliun atau mudahnya setiap kepala rakyat Indonesia saat ini menanggung utang Rp29 juta.
Anies dan partai pengusungnya tampaknya mulai sadar bila pilihan menjadi antitesa justru merupakan jalan tol untuk menuju kemenangan. Sudah banyak kajian ilmiah yang membuktikan orang Indonesia itu gampang percaya pada janji, bahkan berita Hoax sekalipun. Ini sekaligus membenarkan mengapa banyak orang Indonesia mudah sekali tertipu investasi bodong. Bila menjadi presiden nanti, Anies tentu saja belum tentu lebih baik dari Jokowi, namun dengan menawarkan hal baru, hal berbeda dengan petahana maka peluang dia menang justru lebih besar.
Bagi Anies, selain antitesa memainkan isu dizalimi juga akan bisa mendulang suara. Orang Indonesia itu paling murah hati dan gampang terenyuh oleh penderitaan. Bila keduanya dimainkan dengan benar, dapat meningkatkan elektabilitasnya sekaligus mendongkrak daya tawarnya terhadap konsesi politik dengan partai pengusung. Sebab, tentu saja dukungan terhadap Anies tidak gratis. Partai pendukung juga mengharapkan efek coattail atau mendapat limpahan suara dari pendukung Anies.
Serangan kedua adalah kritik terkait subsidi mobil listrik dalam acara “Deklarasi dan Pengukuhan Amanat Indonesia”, Minggu (07/05/2023). Mengutip Detik, Anies mengatakan “Solusi menghadapi tantangan lingkungan hidup polusi udara bukan lah terletak di dalam subsidi mobil listrik yang pemilik mobil listriknya yang mereka-mereka tidak membutuhkan subsidi. Betul?” tuturnya saat berpidato dalam acara.”
Kebijakan yang dikritik Anies adalah program subsidi pemerintah yang memberikan diskon sekitar Rp80 juta untuk setiap pembelian mobil listrik merek Hyundai Ioniq dan Wuling Air EV. Targetnya diberikan pada 35.900 unit, atau setara anggaran Rp2,8 triliun untuk tahun ini. Kritik ini cukup telak karena orang yang bisa membeli dua mobil itu pastinya orang kaya, dengan harga Iconiq termurah senilai Rp750 juta.
Dua kritik menohok ini adalah sinyal kuat Anies putar haluan strategi kampanye antitesa yang menawarkan program-program berbeda dengan Jokowi. Bandingkan dengan Ganjar dan Prabowo yang praktis memuji dan tidak pernah berani mengkritik Jokowi hingga saat ini. Tentu ini pilihan sangat berani dari Anies dan boleh dikata sebagai pertaruhan besar. Pertanyaannya, mengapa Anies nekat memilih jalan berbeda?
Ini tidak lepas dari upaya putus asa Anies karena upaya menjegalnya menjadi presiden RI semakin masif dan sistematis. Tiket pencapresan Anies memang sangat rentan hilang, ia hanya didukung partai dengan akumulasi threshold pas pasan, sebanyak 25% gabungan kemenangan suara Partai Nasdem, Partai Demokrat dan Partai Keadilan Sejahtera di Pilpres 2019. Anies kini dalam posisi berhadapan dengan kekuatan politik cukup besar yang diaransemen oleh Jokowi effect.
Bagi Anies sendiri pilihan menjadi antitesa tampak lebih tepat daripada memaksakan diri dicitrakan memiliki hubungan baik-baik saja dengan Jokowi. Dalam perspektif marketing, dia satu-satunya capres yang bisa memberikan tawaran alternatif bagi pemilih dibandingkan Ganjar dan Prabowo. Ia ingin menarik suara dari pemilih yang kecewa atas kinerja Jokowi dan sakit hati dengan Prabowo setelah ia malah mau menjadi pembantu bekas rivalnya.
Anies akan memiliki lebih banyak peluru kampanye bila memposisikan sebagai antitesa daripada sintesa. Selain utang jumbo, pada dasarnya sejumlah statistik ekonomi bisa dijadikan bahan untuk meraih simpati. Diantaranya pertumbuhan ekonomi yang melambat, hanya rata-rata mendekati 4% sejak 2014 dibandingkan mendekati 6% di jaman SBY. Akibatnya, PDB per kapita Indonesia selama delapan tahun pemerintahan Jokowi cuma sebesar Rp 71 juta, atau hanya naik 69% jauh dibandingkan era SBY yang naik 234% atau lebih dari tiga kali lipat.
Demikian juga fakta bagaimana pertumbuhan sektor pertanian yang berperan menyerap 30% tenaga kerja pada era Jokowi pertumbuhannya lambat. Demikian pula gejala deindustrialisasi dimana peran industri manufaktur terhadap PDB yang merupakan sektor paling banyak menyerap tenaga kerja formal turun terus dari sekitar 22% pada awal menjadi hanya 18% tahun lalu.
Ini belum termasuk indeks persepsi korupsi turun yang tergambar dari besarnya kebocoran anggaran. Komisi Pemberantasan Korupsi menyatakan ada kebocoran sekitar 35% pada proyek pembangunan infrastruktur. Ini terkonfirmasi oleh data Incremental Capital Output Ratio (ICOR) yang menurut Bappenas tahun lalu di angka 8. Artinya, berbisnis di Indonesia itu untuk menghasilkan tambahan 1 satu output atau hasil diperlukan 8 kali tambahan modal. Ini jauh di atas pada era SBY yang di kisaran 4 dan negara tetangga 3-4.
Upaya menjegal Anies diawali oleh lobi-lobi gencar yang dilakukan Jokowi terhadap Surya Paloh, Ketua Umum Partai Nasdem yang mencalonkan Anies. Sudah beberapa kali Jokowi bertemu empat mata. Bahkan, secara khusus ia sering mengutus orang kepercayaannya, Luhut Binsar Pandjaitan, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi untuk bertemu dengan Surya Paloh yang dibungkus dengan acara makan siang. Di medsos, Luhut sering mengunggah momen-momen itu. Pertemuan mereka sudah menjadi rahasia umum. Baik Luhut maupun Surya memiliki kedekatan karena sama sama mantan kader Partai Golkar. Upaya lobi tersebut sejauh ini gagal.
Serangan kedua adalah wacana koalisi besar yang mengemuka setelah pertemuan tiga jam enam ketua parpol (Gerindra, PPP, PAN, Golkar, PKB, PDI Perjuangan) dengan Jokowi di Istana Merdeka pada (2/5/2023). Dua skenario adalah mengawinkan Ganjar dengan Prabowo sebagai calon wakil presiden agar Pilpres 2024 hanya satu putaran dengan kemenangan telak. Tampaknya semuanya ingin Anies tersingkir di putaran pertama.
Bila ini gagal karena Prabowo tidak mau menjadi cawapres, maka skenario kedua adalah memecah belah capres menjadi empat ; Ganjar, Prabowo, Airlangga dan Anies, atau tiga (minus Airlangga). Harapannya akan ada dua putaran dimana bila dua atau tiga All Jokowi’s Men-termasuk Airlangga) gagal, maka suara mereka akan lari ke salah satu diantara tiga yang menang. Jadi koalisi besar bukan dalam bentuk menyatukan semua partai pendukung Jokowi menjadi satu, tapi siapapun calon yang bertanding yang menang tidak masalah bagi Jokowi, asal bukan Anies.
Sangat sulit percaya bantahan Jokowi bahwa pertemuan enam ketum parpol itu hanya membahas masalah ekonomi, salah satunya peluang Indonesia menjadi negara maju dan tidak cawe-cawe (terlibat) dengan masalah capres. Kalau demikian mengapa Partai Nasdem yang statusnya masih sebagai partai pendukung pemerintah tidak diundang. Mengapa pula Partai Demokrat dan PKS diabaikan?
Lebih dapat dipercaya adalah pernyataan mantan Wapres Jokowi periode pertama Jusuf Kalla yang mengingatkan agar tak ikut cawe-cawe dalam urusan calon presiden atau Capres 2024. Jokowi seharusnya mencontoh kepemimpinan Megawati dan SBY yang tidak terlalu terlibat dalam urusan pemilihan presiden di akhir pemerintahan.
“Karena ini di Istana membicarakan tentang urusan pembangunan atau apa itu wajar saja. Tapi kalau bicara pembangunan saja mestinya Nasdem diundang. Berarti ada pembicaraan politik,” ujarnya dalam konferensi pers, Sabtu (6/5) malam, seperti dilaporkan CNN Indonesia. Sebagai catatan JK adalah sosok paling berjasa yang menjadikan Anies sebagai gubernur dan tampaknya diulangi lagi pada pilpres kali ini.
Serangan ketiga menjegal Anies adalah upaya lobi yang dilakukan Airlangga dan Muhaimin Iskandar yang tiba-tiba saja berkunjung ke menemui SBY setelah pertemuan di istana. Pertemuan ini tentu lebih dapat ditafsirkan sebagai ajakan agar Demokrat bergabung dengan Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya (KKIR) yang digagas Gerindra dan PKB. Apalagi Golkar dikabarkan ikut merapat ke KKIR setelah Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) yang digagas bersama Partai Amanat Nasional bubar pasca PPP merapat ke PDIP dan tampaknya akan disusul PAN.
Dari semua serangan itu apakah akan berhasil? Tampaknya sulit untuk menebak hasilnya, hanya saja Anies bukan tanpa cela. Salah satu senjata ampuh yang bisa membuyarkan ambisinya menjadi presiden adalah dugaan keterlibatannya pada perhelatan balapan Formula E yang telah diselidiki KPK sejak Juni 2022. Adapun Anies dipanggil KPK untuk dimintai keterangan terkait Formula E pada Rabu (7/9/2022). Anies pernah diperiksa penyidik KPK selama 11 jam September tahun lalu. Bola panas masih bergulir untuk Anies. Bila dia ditersangkakan, usai sudah nasib pencapresannya.
Mengapa demikian besar upaya Jokowi menjegal Anies menjadi presiden adalah analisis yang menarik. Pertama tentu saja Jokowi ingin agar program-program masif infrastruktur dan hilirisasi dapat dipastikan untuk dilanjutkan. Ketidakcocokan Jokowi dan Anies tentu saja bukan personal, tapi lebih pada fakta keinginannya agar capres yang menang meneruskan pekerjaan rumahnya yang belum selesai. Sebab dari 210 proyek strategis nasional (PSN) yang digagas Jokowi pada 2016 sebanyak 58 diantaranya belum selesai. Begitu pula nasib UU Cipta Kerja yang kontroversial agar bisa dilanjutkan pemerintah selanjutnya. Jokowi tampaknya menilai Anies tidak akan bisa dipegang, ini terbukti dari kebijakan-kebijakannya saat menjadi Gubernur DKI yang mengubah banyak kebijakannya dan Ahok.
Kedua, Jokowi ingin agar karir politik anaknya Gibran Rakabuming Raka dan menantunya Bobby Nasution tidak layu sebelum berkembang. Anies tentu saja tidak bisa menjamin hal itu terlaksana dibandingkan bila Ganjar atau Prabowo yang menjadi Presiden. Di media sosial kedekatan antara anak-anak Jokowi dengan kedua capres itu begitu mencolok. Skemanya mungkin adalah, bila Ganjar menang, maka besar kemungkinan Gibran akan naik menggantikan Ganjar sebagai gubernur Jawa tengah.
Ketiga Jokowi mungkin menilai bila Anies tidak punya kapasitas yang cukup, tidak bisa kerja dari hasil pengamatannya saat diberi mandat sebagai menteri pendidikan.
Apakah upaya-upaya Jokowi menjegal Anies sebagai niat jahat atau buruk? Tidak, dan bahkan dalam tatanan politik hal ini sangat wajar sebab petahana memang sudah selayaknya memastikan program-program kerjanya di lanjutkan. Terlepas dari itu, Jokowi sendiri adalah petugas partai yang tentu saja memiliki kewajiban untuk memenangkan kader sesama partai.
Bahkan di negara yang lebih demokratis seperti Amerika saja, Barack Obama yang masih menjabat kala itu juga mengendorse Joe Biden saat Pilpres melawan Donald Trump dengan mengatakannya Trump adalah sosok yang tidak cocok menjadi presiden AS. Jadi tidak ada salah dan benar dengan serangan serangan Jokowi dan serangan balik Anies, semua adalah permainan politik, karena ingat tidak ada musuh yang abadi dalam politik. Oleh: Muhammad Maruf Kepala Riset CNBC Indonesia. (*)
Tinggalkan Balasan