AMBON, Siwalimanews – Ketua DPD AMPI Maluku, Yusri AK Mahedar mendesak Pemprov Maluku untuk menerapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di Maluku.

“Keinganan kami mencegah Covid-19 tidak mengusik hidup kami di negeri para raja ini. Atas nama kemanusian dalam hidup berbangsa dan bernegara, maka PSBB sangat mendesak untuk dilakukan di Maluku,” tandas Mahedar dalam rilisnya yang diterima redaksi Siwalimanews, Rabu (8/4).

Menurutnya, respon pemerintah pusat dalam penanganan Covid-19 terwujud dalam pembentukan PP Nomor 21 Tahun 2020 tentang PSBB dalam rangka percepatan penanganan covid-19.

PP ini diharapkan dapat merespon secara efektif penanggulangan serta pencegahan penyebaran virus Covid-19. Namun pada kenyataannya PP ini pun bukan merupakan perwujudan dari suatu hukum yang sesuai dengan harapan.

“Aturan-aturan dalam PP tersebut masih menyandra kewenangan pemda dalam mengambil keputusan mengeluarkan kebijakan untuk memberlakukan pembatasan sosial, entah dalam bentuk pembatasan wilayah, rumah atau rumah sakit sesuai dengan kondisi yang dialami masing masing daerah terkait fakta penyebaran covid-19 yang mengancam masyarakat suatu daerah,” ujar Mahedar.

Baca Juga: Kondisi Nenek 74 Tahun Sudah Membaik

Hal ini, kata dia, telah mengakibatkan kelambatan yang terjadi ketika Keputusan Menteri Kesehatan untuk menetapkan status PSBB tidak kunjung dilakukan. Hal itu menjadikan pengaturan tentang PSBB dalam PP 21/2020 belum dapat dilaksanakan.

Padahal pemda sudah menunjukkan inisiatif untuk melindungi warganya di berbagai wilayah untuk melaksanakan PSBB terlebih dahulu.

“Namun akibat lambatnya Pempus mengambil tindakan, maka kebijakan yang diambil daerah tidak komprehensif dan menimbulkan ketidakpastian hukum di tengah cepatnya penyebaran covid-19 di Indonesia,” tuturnya.

Ia menegaskan, mengingat secara kewilayahan negara Indonesia bercorak kepulauan seperti contohnya Maluku, maka seharusnya pemda saat ini diberikan kewenangan otonomi yang sesungguhnya dalam menyikapi kondisi kedaerahan terkait penanganan penyebaran virus ini.

Apabila harus menunggu Persetujuan Menteri Kesehatan, maka akan terjadi keterlambatan pemberlakuan PSBB yang saat ini sudah harus dilakukan bagi daerah-daerah yang tingkat waspada terhadap penyebaran covid-19 sudah masuk kategori waspada tingkat tinggi, atau darurat.

“Apabila ini terlambat akan mengakibatkan semakin banyak jatuhnya korban jiwa,” tegasnya.

Selain itu tambah Mahedar, substansi PP 21/2020 sangat terbatas, sehingga tidak memadai untuk melaksanakan percepatan penanganan covid-19. PP ini hanya mengatur tentang PSBB. Padahal untuk memberlakukan karantina wilayah, rumah ataupun rumah sakit diperlukan peraturan pendelegasian untuk memberikan dasar agar inisiatif berbagai kepala daerah dalam menanggulangi covid bisa miliki koridor dan dasar pengaturan yang jelas.

Nilainya lagi, kalau Pengaturan PSBB dalam PP 21/2020 pun tidak dilakukan menyeluruh dan masih mengalami banyak kekurangan karena hanya mencakup kriteria PSBB dan tata cara penetapan status PSBB oleh Menteri Kesehatan .

“Itu semua sama sekali belum menjawab kebutuhan hukum tentang pelaksanaan PSBB, terutama terkait dengan pelaksanaan kewajiban negara dalam melindungi warga negaranya,” pungkas Mahedar.(S-31)