Akademisi Fisip UKIM, Amelia Taihitu mengatakan, Ketua DPD PDIP Maluku, Murad Ismail harus mengubah cara komunikasi politik guna mempertahankan kekua­saan partai di Maluku.

Dijelaskan, apa yang menjadi de­­sakan para senior partai ber­lambang moncong putih kekar yang meminta Ketua DPD PDIP Ma­luku untuk mundur dari jaba­tannya merupakan sesuatu yang wajar-wajar saja.

“Ketika senior partai menyam­paikan desakan itu, maka sebe­tulnya mereka memiliki catatan atas kinerja Ketua DPD PDIP selama ini sehingga sah-sah saja ketika senior partai mendorong hal itu,” ujar Taihitu.

Dua kekeliruan yang dilakukan Ketua DPD PDIP Maluku sebagai­mana yang sampai para senior memang merupakan sebuah ke­gagalan dari komunikasi politik, sebab sebagai partai besar mesti­nya Ketua DPD harus memiliki gaya kepemimpinan dan komu­nikasi politik yang harus merangkul dan melindungi partai dan kader.

Menurutnya, Ketua DPD PDIP harus dibedakan antara pola komunikasi seorang gubernur dan seorang ketua partai. Artinya, ketika ada petugas partai di parlemen yang menyampaikan kritiik maka tidak bisa ditegur didepan umum melainkan harus ditegur secara internal partai.

Baca Juga: Dana SMI tak Jelas, DPRD Harus Minta Penjelasan Gubernur

“Pak ketua DPD memang sedikit keliru, sebab seharusnya teguran itu disampaikan secara internal, apalagi kritik yang diberikan petugas partai merupakan suatu hal yang wajar dalam kapasitas sebagai wakil rakyat,” tegasnya.

Selain itu, pernyataan Ketua DPD pada musyawarah wilayah PPP yang secara terang-terangan mendukung kader PPP menjadi calon bupati juga merupakan suatu kekeliruan.

“Selaku Ketua DPD tidak beoleh menyatakan dukungan kepada siapapun apalagi kepada kader dari partai lain, artinya Ketua DPD harus tetap mengusung kader PDIP sebagai calon yang nantinya bertarung menjadi kepala daerah,” katanya.

PDIP, kata Taihutu seharusnya menempatkan bergaining posisi dalam setiap agenda politik bukan sebaliknya menyatakan dukungan kepada kader lain, lagi pula kader PDIP cukup banyak yang disiap dijual kepada masyarakat.

Karena itu, pola-pola komunikasi seperti ini harus diubah, sebab secara tidak langsung akan mempengaruhi masa depan partai kedepannya.Jjika tidak maka menganggu posisi PDIP sebagai partai besar di Maluku.

Komunikasi Gagal

Seperti diberitakan sebelumnya, akademisi Fisip UKIM Marthen Maspaitella menilai persoalan yang terjadi di DPRD Maluku, terkait per­nyataan anggota DPRD Provinsi Maluku dari Fraksi PDIP, menun­jukkan adanya komunikasi yang tidak berjalan dengan baik dalam lembaga itu.

Dijelaskan, ruang komunikasi di parlemen sudah diatur dalam mekanisme aturan formal karena itu, proses percakapan yang inten­sif harus memperhatikan aturan yang ditentukan agar terhindar kekeliruan dalam pembahasan.

“Jika hari ini  kita mendapatkan bahwa terjadi masalah antara anggota dewan dalam satu pintu, maka menjadi persoalan yang problematik,” ungkap Maspaitella.

Menurutnya, harusnya sesuatu yang perlu diklarifikasi agar diletakkan oleh parlemen dalam keputusan mutlak dan mewarisi kaidah normatif agar mendapatkan kepastian atas sebuah kesepakatan mutlak yang berhubungan dengan penetapan APBD.

“Tetapi kemudian jika terdapat persoalan dan pihak internal sendiri yang melakukan perlawanan, maka ada sesuatu yang belum jelas dibalik pembahasan itu,” tuturnya.

“Maspaitella lantas mempertanyakan letak maksimalisasi pengambilan keputusan yang tidak dikomunikasi dengan aturan yang benar, sehingga terjadi kesalahan penafsiran

Terkait dengan teguran gubernur selaku ketua PDIP, Maspaitella menegasakan bila sesungguhnya menunjukkan tidak adanya aksesibilitas yang terbuka untuk menyimpulkan secara dominasi dan itu masalah komunikasi.

“Ini karena ruang               komunikasi secara internal telah tersumbat sehingga berakibat komunikasi politik yang tidak transparan.

Terpisah, pengamat Kebijakan Publik, Nataniel Elake mengatakan kritikan yang dilontarkannya Edwin Huwae dalam kapasitas selaku anggota DPRD Provinsi Maluku merupakan suatu hal yang sah dan normatif.

“Kritik Edwin dalam kapasitas selaku anggota dewan ada sah dan normatif,” tegas Elake.

Namun justru respon Gubernur Maluku terdapat kritikan tersebut dianggap sebagai sesuatu yang tidak etis, sebab dalam kapasitas selalu ketua DPD PDIP Maluku dan Edwin sebagai sekretaris DPD PDIP Maluku mestinya Gubernur tidak boleh responsif dalam paripurna.

Menurutnya, Gubernur seharusnya lebih bijak artinya setelah selesai paripurna baru gubernur menyampaikan teguran kepada Edwin dan diselesaikan secara internal partai.

”Saya sangat menyesal jika mempertontonkan budaya kepemimpinan yang kurang baik untuk di contohi,” cetusnya.

Sebelumnya, akademisi Fisip Unpatti, Said Lestaluhu meminta Murad Ismail sebagai kepala daerah harus melihat persoalan secara jernih dan membangun komunikasi sesuai dengan konteks yang terjadi. Hal ini diungkapkan Said menanggapi pernyataan gubernur, yang mempersoalkan kritik Edwin Huwae.

Menurutnya, setiap komunikasi politik itu ada konteksnya, bahwa setiap pejabat publik yang dipilih oleh rakyat apakah itu dia eksekutif atau legislatif harus menggunakan bentuk komunikasi yang digunakan sesuai dengan konteks yang terjadi,” jelas Lestaluhu kepada Siwalima melalui telepon selulernya, Rabu (28/9).

Menurutnya, apa yang disampaikan oleh anggota DPRD Maluku, Edwin Huwae dalam kapasitasnya sebagai bagian dari penyalur aspirasi rakyat yang menyuarakan kepentingan rakyat dengan menilai tidak logis jika pembahasan KUA-PPAS hanya dibahas 1×24 jam itu adalah hal yang wajar.

Artinya, Huwae melaksanakan kapasitasnya sebagai anggota DPRD yang melakukan tugas pengawasan, bajeting dan juga kontrol, sehingga bagian yang disampaikan itu adalah hal yang wajar, dengan pengalamannya juga sebagai mantan Ketua DPRD.

“Saya nilai ini wajar yang disampaikan pak Edwin sebagai anggota DPRD yang melakukan fungsi kontrol, saya kira ini wajar-wajar saja. Dan jika ada komentar dari pak Murad sebagai eksekutif saya kira tidak bisa menempatkan posisi eksekutif untuk memberikan penilaian secara langsung dalam konteks rapat paripurna itu kepada yang bersangkutan,” katanya. (S-50)