AMBON, Siwalimanews – Hukuman maksimal 20 tahun penjara menanti pengusaha Ferry Tanaya dalam kasus korupsi lahan pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Gas (PLTG) di Namlea, Kabupaten Buru.

Ferry ditetapkan sebagai tersangka oleh Kejati Maluku dalam kasus yang merugikan negara lebih dari Rp 6 miliar itu.

Perbuatan Ferry diancam pidana sebagaimana diatur dalam pasal  2 ayat (1) atau Pasal 3 jo Pasal 18 UU Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana dirubah dengan UU Nomor  20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU Nomor 31 Tahun 1999 Tentang  Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Pasal 2 ayat (1) menyebutkan, setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya  diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara dipidana dengan pidana penjara  minimal 4 tahun dan maksimal 20 tahun dan denda paling sedikit 200 juta rupiah  dan paling banyak 1 miliar rupiah.

Sedangkan, Pasal 3 ayat (1) menyatakan, setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan  diri sendiri atau  orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau karena kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara dipidana seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 20 tahun dan atau denda paling sedikit  50 juta rupiah dan maksimal 1 miliar.

Baca Juga: Golkar Polisikan Ridwan Marasabessy

Penetapan Ferry sebagai tersangka, berdasarkan Surat Penetapan Tersangka Nomor: B-749/Q.1/Fd.1/05/ 2020, tanggal 08 Mei 2020.

Selain Ferry, mantan Kepala Seksi Pengadaan Tanah BPN Kabupaten Buru, Abdul Gafur Laitupa juga ditetapkan sebagai tersangka, berdasarkan Surat Penetapan Tersangka Nomor: B-750/Q.1/Fd.1/05/2020, tanggal 08 Mei 2020.

“Berdasarkan rangkaian hasil penyidikan yang dilakukan oleh penyidik ditemukan bukti permulaan yang mengarah dua orang yang telah ditetapkan sebagai tersangka tersebut yaitu F.T dan A.G.L,” kata Kasi Penkum Kejati Maluku, Samy Sapulette, kepada Siwalima, melalui WhatsApp, Jumat (5/6).

Sapulette menambahkan, penyidik segera mengagendakan pemeriksaan saksi-saksi. Sedangkan, kedua tersangka belum diagendakan. “Untuk pemeriksaan terhadap tersangka belum dijadwalkan,” jelasnya.

Lahan seluas 48.645, 50 hektar di Desa Sawa, Kecamatan Namlea yang dibeli oleh PLN Wilayah Maluku dan Maluku Utara untuk pembangunan PLTG 10 megawatt tahun 2016 adalah milik Ferry Tanaya.

Sesuai Nilai Jual Objek Pajak (NJOP), harga lahan itu hanya Rp 36.000 per meter2, namun diduga ada kongkalikong  antara Ferry, PLN Wilayah Maluku dan Maluku Utara yang saat itu dipimpin Didik Sumardi dan pihak BPN Kabupaten Buru untuk melakukan mark up.

Jika transaksi antara Ferry Tanaya dan PT PLN didasarkan pada NJOP, harga lahan yang harus dibayar PLN hanya sebesar Rp.1.751.238.000. Namun NJOP diabaikan. PLN menggelontorkan Rp.6.401. 813.600 sesuai kesepakatan dengan Ferry Tanaya.

Ferry Tanaya tergolong pengusaha beken di Maluku. Ia sebelumnya menjadi pengusaha kayu jati, dengan hasil dari pulau Leti Moa Lakor.

Saat di era Pulau Buru masih di genggaman Kabupaten Malteng, 300 buah ketel minyak kayu putih yang tadinya dikelola langsung oleh anak perusahaan Praja Karya di Namlea, yang dipimpin Ibrahim Tan, dipindahtangankan ke Ferry Tanaya dan dikelola puluhan tahun hingga Buru mekar pada Oktober 1999 lalu.

Kemudian setelah Husnie Hentihu menjadi bupati tahun 2002, ketel milik daerah itu diambil dari tangan Ferry Tanaya, karena tidak ada kontribusi ke daerah.

Ferry selain dikenal sebagai pengusaha kayu jati di Pulau terluar, ia juga mengolah kayu jati setengah jadi di Kayeli dan Pulau Seram. Ia juga melanjutkan usaha puluhan ketel dusun kayu putih warisan keluarga yang dibeli orang tuanya dari warga pribumi di pulau Buru.

Kiprahnya terus meluas setelah mendapat IPK dari pemerintah dengan mengolah kayu log dan dipasarkan ke luar Maluku. Sejak beberapa tahun lalu, Ferry juga sudah membeli perusahan plywood PT WWI.

Ia juga mengelola kayu di areal IPK dari satu perusahan milik Amir Gaos Latuconsina. Areal HPH milik PT Wahana Potensi di Kabupaten Buru dan Kabupaten Buru Selatan dikhabarkan kini juga sudah dikuasai Ferry Tanaya.

Ribuan kayu log yang dihasilkan dari areal HPH dan IPK tersebut lrebih banyak dipasok keluar dari pada memenuhi stok di PT WWI.

Negara Dirugikan 6 Miliar

Seperti diberitakan, hasil audit BPKP Maluku menemukan kerugian negara Rp 6 miliar lebih dalam pembelian lahan seluas 48.645, 50 hektar di Desa Sawa, Kecamatan Namlea, Kabupaten Buru.

Kasi Penkum Kejati Maluku, Samy Sapulette mengaku, hasil audit dari BPKP diterima pada Selasa 17 Maret.

“Benar laporan hasil audit penghitungan kerugian keuangan negara terkait perkara dugaan Tipikor dalam pelaksanaan penga-daan tanah untuk pembangunan PLTG Namlea sudah diterima oleh penyidik,” kata Sapulette, kepada wartawan, di Kantor Kejati Maluku, Selasa (17/3).

Untuk diketahui,  status hukum kasus ini dinaikan ke tahap penyidikan sejak akhir Juni 2019, setelah dalam penyelidikan, penyidik Kejati Maluku menemukan bukti­bukti kuat adanya perbuatan melawan hukum yang merugikan negara.  (Mg-2)