AMBON, Siwalimanews – Ketua DPRD Maluku, Benhur George Watu­bun mengungkapkan, pihaknya telah mene­rima surat dari Saniri Negeri Urimessing, Ke­camatan Sirimau, Kota Ambon yang meminta agar penundaan pembayaran sisa lahan RSUD dr M Hau­lussy kepada keluarga Yohannes Tisera.

Watubun menjelas­kan, pasca aksi penu­tupan RS Haulussy yang dilakukan pemilik lahan Yohannes Ti­sera, DPRD telah mendapat­kan surat yang pada pokok­nya meminta Pemda dan DP­RD Maluku menghentikan pembayaran lahan.

“Soal lahan RS Haulussy, DPRD telah menerima surat dari Saniri Negeri Urimesing yang pada pokoknya meminta sisa pembayaran lahan tidak boleh dibayarkan,” tutur Watubun kepada wartawan di Baileo Rakyat Karang Panjang Ambon, Selasa (9/1)

Terhadap surat tersebut, pihaknya telah meminta Komisi I agar segera menindaklanjuti dengan pihak terkait agar ada masukan kepada Pemprov Maluku sebelum dilakukan pembayaran.

Apalagi terhadap lahan tersebut terdapat tumpang tindih putusan dan juga terdapat beberapa sertifikat diatas lahan tersebut.

Baca Juga: Angka Kemiskinan Ekstrim di Ambon 0 Persen

“Kita juga harus berhati-hati karena ada resiko hukum disana, jadi itu tidak gampang. Kan ada juga persoalan tentang surat yang dike­luarkan dulu yang diduga palsu dan sudah dilaporkan, ini harus diusut dengan baik,” tegasnya.

Diakui Watubun putusan Mahka­mah Agung tersebut telah berke­kuatan hukum tetap tetapi jika dibaca maka akan ditemukan fakta bahwa putusan tersebut bersifat deklaratoir dan bukan bersifat eksekutorial.

“Putusan itu bersifat pengakuan tapi tidak ada perintah membayar dan supaya jangan sampai ada dampak hukum dikemudian hari, maka harus mengkaji secara baik, karena keputusan membayar itu pasti diketahui oleh DPRD,” ucar Watubun.

Politisi PDIP Maluku ini me­nambahkan dengan adanya surat Saniri Negeri Urimesing tersebut maka pembayaran harus pending sampai semua proses selesai dilakukan.

Segel RS Haulussy

Seperti diberitakan sebelumnya, tercatat sudah tiga kali ahli waris Johanes Tisera melalui kuasa hukumnya menyegel RS Haulussy Ambon yakni dari tanggal 22 dan 28 Desember 2023 dan 8 Januari 2024

Aksi ini sebagai bentuk kekece­waan terhadap Pemprov Maluku yang belum membayar lahan RS Haulussy seluas 31.880 meter persegi kepada pemilik lahan.

Dari total nilai lahan sebesar Rp65 miliar, Pemprov Maluku baru membayar Rp18 miliar lebih. Sudah lebih tiga tahun, sisa uang senilai Rp31,9 belum dibayarkan Pemprov Maluku kepada keluarga ahli waris.

“Jadi ini tidak ada keseriusan Pemprov untuk membayar Lahan ini, mereka menganggap kita seperti sampah sehingga kegiatan penu­tupan ini kami lakukan lagi supaya mereka bisa membuka mata untuk melihat persoalan ini,” ungkap kuasa hukum Johannes Tisera, Adolof Gerits Suryaman kepada Siwalima melalui Telepon selulernya, Senin (8/1).

Pemprov Hanya Janji

Lebih lanjut ungkapnya, Pemerin­tah Provinsi Maluku hanya janji kosong tanpa bukti nyata dalam me­nyelesaikan persoalan RS Haulussy Ambon, hal itu tergambar ketika hasil rapat menetapkan pembayaran lahan RS, namun hingga kini hanya janji tak ada realisasi.

“Setelah rapat di kediaman sekda, Pemerintah Provinsi Maluku telah bersepakat untuk membayar pada tanggal 29 Desember malam, dan diinformasikan kepada kami bahwa mau di proses untuk membayar namun sampai saat ini tidak ada realisasi,” tegasnya.

Dia menilai, Pemprov tidak mem­punyai etiket baik untuk membayar, masih ada alasan pembenaran diri soal klaim, padahal jika kita ikuti aturan itu bukan urusan soal klaim mengklaim tersebut.

Dia menegaskan, jika Pemprov Maluku masih cuek dan belum juga membayar lahan RS Haulussy, maka pihaknya mengancam akan menutup RS milik daerah Maluku sampai pembayaran dilakukan.

Dijelaskan, berdasarkan putusan pengadilan, luas lahan yang dimiliki Yohannes Tisera yaitu 43.880 meter persegi dan 12.000 meter persegi tenah dihibahkan kepada peme­rintah provinsi, maka yang menjadi kewajiban pemerintah untuk mem­bayar hanya lahan seluas 31.880  meter persegi yang diatasnya berdiri RS Haulussy, bangsal mayat, bang­sal gila, asrama putri, asrama putra, rumah genarator dan rumah dinas.

Total yang harus dibayarkan pe­merintah provinsi atas lahan seluas 31.880 meter persegi tersebut sebe­sar Rp65 miliar, namun saat mela­kukan pertemuan dengan klien Yohannes Tisera, Pemerintah Pro­vinsi menyampaikan kesanggupan membayar dibawah Rp50 miliar, sehingga disepakati dengan harga Rp49.987.000.000.

Nilai tersebut wajar sesuai dengan hasil perhitungan harga tanah yang dilakukan tim appraisal dari Ke­menterian Keuangan, dimana satu meter persegi dikenai dengan harga Rp.1.568.000. “Yang sudah dibayar itu sebesar Rp18.329.000.000 artinya masih tersisa 31.658.000.000,” je­lasnya. (S-20)