AMBON, Siwalimanews – Aksi baku bantah, soal status lahan TPA dan IPST antara Walikota Ambon dan Kadis Kehutanan Provinsi Ma­luku, tak terelakan.

Awalnya, dalam keterangan kepada pers, Kamis (8/10) lalu, Richard Louhenapessy me­mastikan kalau areal milik Enne Kailuhu yang ditutup karena wan­pres­tasi, adalah kawasan hutan lindung.

Awalnya, ujar orang nomor satu di Pemkot Ambon itu, pihaknya ber­niat membayar lahan Kailuhu sekitar 10 Ha. Bukti keseriusannya, mantan Ketua DPRD Maluku itu lalu mem­beberkan kalau pihaknya sudah membayar down payment sebesar Rp. 660 juta.

Namun dalam perjalanan, menurut Louhenapessy, pada tahun 2014, Ke­menterian Kehutanan  melakukan perubahan pada status lahan terse­but, menjadi hutan lindung. Karena­nya lanjut dia, maka Pemkot Ambon menunda pembayaran berikutnya, yang sudah disepakati bersama sejak awal.

“Kemungkinan pertama bisa da­patkan ijin pakai dari kementerian, namun tidak bisa beri kompensasi kepada pemiliknya. Alternatif kedua, merubah status dari hutan lindung menjadi hutan lindung pemanfaatan lain,” ujarnya kepada pers, Kamis (8/10) siang, usai bertemu keluarga pemilik lahan Enne Kailuhu dan Lesiasol serta Raja Hutumuri guna membahas penutup­an lokasi TPA dan IPST.

Baca Juga: Kadishut: Kawasan TPA dan IPST Bukan Hutan Lindung

Di tempat yang sama, pihak Kai­luhu bersikukuh tetap akan menutup tempat pembuangan akhir dan ins­talasi pembuangan sampah terpadu yang ada di Toisapu itu, bila walikota tetap tak mau membayar sisa uang kepada keluarga Enne Kailihu.

Sekedar mengingatkan, pada Kamis (8/10) pagi, supir truk peng­angkut sampah kaget bukan kepa­lang, lantaran  jalan masuk ke ka­wasan itu ditutup total.

Pemkot dan Kailuhu atas nama ke­pentingan orang banyak, kemudian berunding di ruang kerja Walikota Ambon, siang harinya. Kesepakatan dicapai. Kailuhu memberikan batas waktu ke Pemkot untuk menyele­saikan sisa pembayaran paling lambat satu minggu.

“Deadline kami berikan selama satu minggu, Pemkot harus punya itikad baik untuk menyelesaikan pasal-pasal sesuai Akta Perdamaian 269,” tandas Daniel Manuhutu, Kuasa Hukum  Enne Kailuhu, kepada Siwalima. Namun, hingga tenggat waktu yang diberikan, Pemkot lagi-lagi inkar janji.

Bantahan Kadishut

Pernyataan Walikota  bahwa lahan TPA dan IPST adalah kawasan hu­tan lindung, dibantah Kepala Dinas Kehutanan Maluku, Sadli Ie.

Menurut Sadli, kawasan itu me­rupakan Areal Penggunaan Lain (APL), sehingga tidak ada urusan­nya dengan Kementerian Kehuta­nan.

“Lahan yang dibeli Pemkot Ambon seluas 10 hektar untuk per­luasan areal TPA dan IPST Toisapu itu APL bukan kawasan hutan lindung, dari status kawasan tidak ada masalah,” kata Sadli Ie kepada Siwalima di Kantor Gubernur Ma­luku, Selasa (13/10).

Menurutnya, perluasan lahan TPA yang dibeli Pemkot Ambon jaraknya tidak jauh dari kawasan hutan lindung. “Tapi dalam peta 854 tentang kawasan perairan Provinsi Maluku lokasi yang dibeli pemkot bukan merupakan kawasan hutan lindung,” jelas Sadli.

Salah satu kuasa hukum Enne Kailuhu, Edward Diaz mendukung pernyataan Sadli Ie, dengan megas­kan pernyataan Walikota Ambon merupakan bentuk pembohongan publik.

“Kadis Kehutanan provinsi pu­nya domain disini, lalu kenapa sam­pai walikota saya katakan bohongi publik, karena yang bersangkutan tidak berkoordinasi langsung de­ngan provinsi terkait hal ini,” ucap Diaz kepada Siwalimanews, melalui telepon selulernya, Rabu (14/10).

Walikota Keukeuh

Pernyataan Kadishut Sadli Ie, disanggah lagi oleh Walikota. Dia balik menyarankan Sadli agar ber­tanya ke Kemenhut agar tidak menjadi polemik berkepanjangan.

Menurutnya, status lahat tersebut merupakan lahan hutan lindung, yang sampai dengan hari ini masih diproses pengembalian status lahan tersebut di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan .

“Coba di cek Dolo. Bilang beliau cek ulang untuk itu. Cek itu, cek di kementerian kehutanan, karena itu petnjuk dari kementrian kehutanan. Ada SK Menteri Kehutanan yang menetapkan itu. Oleh karena itu bilang kadis kehutanan, coba kon­firmasi dulu jangan sampai ngo­mong salah. Seperti itu,” tutur Louhe­napessy kepada Siwalima di Ambon, Kamis (15/10).

Disinggung soal ada unsur ke­sengajaan dengan penetapan status lahan tersebut, agar tidak melakukan proses pembayaran lanjut terhadap Enne Kaliluhu, Walikota dengan tegas membantahnya.

“Tidak, tidak itu. Berdosa itu. Saya bilang buat you, you bilang buat itu tolong bilang ke kepala dinas untuk dikonfirmasi ke kementerian kehutanan, itu dulu,” tegas Louhe­napessy.

Dia justru menduga bisa saja nomor peta yang disampaikan Sadli itu adalah peta lama, sehingga dirinya takut hal tersebut dapat memprovokasi pemilik lahan. “Iya itu dia, bilang itu hati-hatilah jangan sampai itu provokatif kan bisa repot itu dia,” tambahnya.

Sementara itu, Praktisi Kehutanan Hendrik Koedeoboen mengatakan, Dinas Kehutanan Provinsi Maluku mempunyai kewenangan untuk mengatakan atau memastikan suatu areal termasuk hutan lindung atau bukan.

Karena tambahnya, setiap peng­gunaan kawasan hutan untuk pem­bangunan di luar kehutanan, Dinas Kehutanan Provinsi adalah pemberi pertimbangan teknis kepada guber­nur untuk memberikan izin atau memberikan rekomendasi kepada menteri.

“Berarti kalau Dishut Provinsi katakan areal TPA dan IPST itu bukan hutan lindung ada benarnya. Dia punya kewenangan hanya akan lebih baik lagi kalau pemilik lahan meminta petimbangan teknis dari balai pemantapan kawasan hutan,” saran Koedeoboen.

Tetap Ditutup

Dihubungi terpisah, Enne Kailuhu menilai hingga batas waktu yang ditentukan, Pemkot belum juga melakukan koordinasi dengan dia sebagai pemilik lahan.

“Kami kan sudah berikan satu minggu kepada Pemerintah Kota, namun sampaikan sekarang belum ada koordinasi oleh Walikota Ambon.  Jika deadline waktu yang diten­tukan tidak ada koordonas dengan kami,  otomatis kami akan lakukan tindakan penutupan kembali,” kata Kailuhu kepada Siwalima Kamis (14/10), melalui telepon seluler.

Semenatara itu, salah satu kuasa hukum Kailuhu Daniel Manuhuttu mengaku telah menghadap peme­rintah Provinsi Maluku, untuk me­minta surat keterangan  yang me­nya­takan bahwa lahan tersebut bukan hutan lindung. (Mg-6/Mg-5/S-39)