AMBON, Siwalimanews – Klaim Walikota Ambon, Richard Louhenapessy bahwa lahan Ins­talasi Pengolahan Sampah Ter­padu (IPST) dan Tempat Pembua­ngan Akhir (TPA) Toisapu, Keca­matan Leitimur Selatan adalah kawasan hutan lindung dibantah oleh Kepala Dinas Kehutanan Maluku, Sadli Ie.

Menurut Sadli, kawasan itu meru­pakan Areal Penggunaan Lain (APL), sehingga tidak ada urusan­nya dengan Kementerian Kehuta­nan.

“Lahan yang dibeli Pemkot Ambon seluas 10 hektar un­­tuk per­lu­a­san areal TPA dan IP­ST Toisapu itu APL bu­kan kawa­san hutan lindung, dari status ka­wasan tidak ada masalah,” kata Ke­pala Sadli Ie ketika dikonfirmasi Siwa­lima di Kantor Gubernur Maluku, Selasa (13/10).

Menurutnya, perluasan lahan TPA yang dibeli Pemkot Ambon jaraknya tidak jauh dari  kawasan hutan lindung.

“Tapi dalam peta 854 tentang kawasan perairan Provinsi Maluku lokasi yang dibeli pemkot bukan me­rupakan kawasan hutan lin­dung,” jelasnya.

Baca Juga: Pemilik Lahan IPST Beri Waktu Seminggu untuk Pemkot

Karena itu, Pemkot Ambon tidak perlu melakukan pengusulan ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk menda­patkan izin pakai kawasan.

“Kan tidak perlu, kecuali itu me­rupakan kawasan hutan lindung, itu APL, saya pikir jelas tidak ada ma­salah,” tandasnya singkat.

Jadi Hutan Lindung

Seperti diberitakan, Walikota Ambon Richard Louhenapessy mengungkapkan, pada tahun 2006 pemkot sudah membebaskan lahan seluas 5 hektar. 3,1 hektar dibayar kepada keluarga Lesiasel dan 1,9 hektar kepada keluarga Sarimanella.

“Untuk lokasi itu sudah ada sertifikat hak milik Pemerintah Kota Ambon,” kata walikota kepada wartawan, Kamis (9/10).

Lanjut walikota, karena adanya kebutuhan lahan direncanakan akan membebaskan 10 hektar.

“Kita sudah memberikan 1 hektar tanda komitmen. Itu sebagai panjar dari pemerintah untuk mereka dan 9 hektar akan diselesaikan, mereka mau kalau boleh langsung diselesaikan,” jelasnya.

Namun kata walikota, sejak 2014 kawasan itu sudah ditetapkan Kementerian Kehutanan sebagai hutan lindung. “Hutan lindung tidak boleh ada transaksi jual beli, namun ada kepentingan untuk bisa dimanfaatkan untuk kepentingan umum,” ujarnya.

Pemkot Ambon mengupayakan untuk dua kemungkinan. Pertama, bisa mendapatkan izin pakai dari Kementerian Kehutanan. Kedua, merubah status hutan lindung menjadi hutan pemanfaatan lain.

“Jadi harus merubah perda tentang tata ruang,  ini yang  diproses oleh pemerintah kota, sehingga dapat diselesaikan oleh ahli waris. Jika kita ambil langkah tanpa ada dasar bisa masuk penjara,” tandasnya.

Beri Waktu

Pemkot Ambon diberikan deadline satu minggu oleh pemilik lahan TPA dan IPST, Enne Yosephine Kailuhu untuk menyelesaikan isi perjanjian perdamaian.

Jika tidak ada itikad baik dari Pemkot Ambon, maka IPST dan TPA akan ditutup kembali.

“Deadline kami berikan selama satu minggu, Pemkot harus punya itikad baik untuk menyelesaikan pasal-pasal perdamaian sesuai Akta Perdamaian 269,” tandas Daniel Manuhutu, Kuasa Hukum Enne Yosephine Kailuhu, kepada Siwalima, Kamis (8/10), usai melakukan pertemuan dengan Pemkot Ambon.

Jika dalam waktu satu minggu, Pemkot Ambon tidak menunjukkan itikad baik, maka TPA dan IPST akan kembali ditutup. “Kalau memang dalam waktu satu minggu, kami berikan kepada walikota untuk tidak melaksanakan itu maka kami akan menutup kembali,” tandasnya.

Manuhutu menjelaskan, berdasarkan Akta Putusan Perdamaian Nomor 269/Pdt.G/2019/PN.Amb, dalam pasal 17 disebutkan, kewajiban Pemkot Ambon adalah melakukan appraisal  lahan seluas 10 hektar, setelah appraisal harus dilakukan pembayaran kepada ahli waris selaku pemilik tanah.

“Jadi pasal-pasal dalam Akta Putusan Perdamaian Nomor 269 itu harus dilakukan karena itu sudah berkekuatan hukum,” ujarnya.

Ia mengaku, kecewa dengan pernyataan walikota yang menyebutkan bahwa kawasan TPA masuk kawasan hutan lindung.

“Jadi kami tidak pernah tahu bahwa kawasan tersebut sudah dialihfungsikan menjadi kawasan hutan lindung, karena sampai saat ini belum ada pemberitahuan kepada pemilik lahan bahkan dari raja maupun camat setempat juga tidak mengetahui tentang hal tersebut,” ujarnya.

Kata Manuhutu, kalau benar pemerintah akan menetapkan lahan itu menjadi kawasan hutan lindung, maka pemilih lahan harus mendapatkan kompensasi.

“Yang pertama ketika pemerintah sudah memploting masuk hutan lindung dan begitu kawasan hutan lindungnya dipakai maka tuan tanah juga harus mendapatkan kompensasi,” katanya.

Manuhutu mengaku, akses TPA sudah dibuka lagi, agar aktivitas pembuangan sampah dapat dilakukan. Tetapi pemkot diingatkan untuk memiliki itikad baik menjalankan perjanjian perdamaian.

“Sudah dibuka gembok tadi pukul 18.00 WIT, karena sebagai warga kita juga mendukung upaya pemerintah kota, namun lagi-lagi kami minta pemkot harus punya itikad baik. Kita tetap akan berikan deadline hingga satu minggu kedepan, jika tidak ada itikad dari pemkot lagi maka kita akan kembali menggembok palang di pintu masuk TPA dan IPST,” tegasnya.

Pasca penutupan TPA IPST di Toisapu, Negeri Hutumuri, Kecamatan Leitimur Selatan, Rabu (7/10), mengakibatkan belasan mobil truk sampah parkir berjejer di depan pintu masuk TPA dan IPST.

Pantauan Siwalima, Kamis (8/10), sejak pukul 07.40 WIT, satu per satu mobil truk sampah mulai berdatangan untuk membuang sampah di TPA, namun mobil-mobil tersebut hanya bisa parkir di depan pintu masuk, karena jalan masuk TPA dipalang oleh pemilik lahan, Enne Yosephine Kailuhu.

Hingga pukul 10.00 WIT, nampak belasan truk sampah hanya bisa berjejer dengan tumpukan sampahnya.  (S-39)