Wajib Dihukum Berat
Pimpinan Dewan tak Jadi Contoh yang Baik
AMBON, Siwalimanews – Perbuatan tak terpuji yang dilakukan oknum pimpinan DPRD Kota Ambon, menciderai kepercayaan publik, karenanya mereka harus dihukum berat.
Perbuatan memperkaya diri sendiri dan orang lain yang dilakukan oleh oknum pimpinan DPRD Kota Ambon, telah menciderai kepercayaan publik dan karenanya mereka harus dihukum berat.
Demikian rangkuman pernyataan akademisi Hukum Unpatti, Raymond Supusepa dan praktisi hukum Pistos Noija menanggapi dugaan penyalahgunaan anggaran DPRD Kota Ambon Tahun 2020, yang dijadikan temuan oleh Badan Pemeriksa Keuangan.
Menurut Raymond, para pelaku yang diduga sengaja melakukan tindak pidana korupsi tersebut, merupakan pejabat publik, yang diharapkan menjadi pola anutan, karena mewakili negara dalam proses politik. Namun, jika pejabat publik tersebut dengan sengaja melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri dan orang lain, maka seharusnya mereka dihukum berat jika dibandingkan dengan masyarakat biasa yang melakukan tindak pidana.
“Yah, karena jabatannya mereka memperkaya diri sendiri atau orang lain dan merugikan keuangan negara artinya level jabatan itu harus menjadi hal yang memberatkan untuk dihukum,” tegas Raymond.
Baca Juga: Jatah Preman untuk Pimpinan Dewan, Ely dapat BanyakDikatakannya, karena perbuatan dilakukan oleh pejabat publik, maka pasti penyidik Kejaksaan Negeri Ambon menggunakan Pasal 3 Undang Undang Nomor 31 tahun 2001, Tentang Tindak Pidana Korupsi, sebagai pasal yang dilanggar karena pelaku menggunakan jabatan yang dimiliki.
Terpisah, praktisi hukum Pistos Noija juga merasa kecewa dengan perbuatan yang sengaja dilakukan oleh oknum di lingkup DPRD Kota Ambon, sebab wakil rakyat yang mestinya menjadi panutan, malah secara sengaja melakukan perbuatan yang menciderai masyarakat.
“Mereka merupakan tolok ukur tetapi ketika ini terjadi maka ini sebuah contoh yang tidak baik yang ditunjukkan kepada masyarakat, apalagi menggunakan uang negara untuk memperkaya diri sendiri dan orang lain dan dilakukan secara sadar,” ungkap Noija.
Dalam kasus dugaan penyalahgunaan anggaran DPRD Kota Ambon Tahun 2020, diketahui Ketua DPRD Ely Toisuta, yang paling banyak kecipratan rejeki tak lazim itu.
Dari total temuan BPK senilai Rp5.293.744.800, Ely diketahui diberi jatah dalam beberapa kegiatan fiktif. Selain Ely, dua wakil pimpinan, Rustam Latupono dan Gerald Mailoa, juga ikut menikmatinya.
Sebagai Ketua, tentu saja Ely dapat jatah yang lebih besar, dibanding dua sohibnya yang hanya menjabat sebagai wakil ketua.
Oleh BPK, nama Ely ditulis secara terang benderang pada temuan tersebut, disertai nilai uang yang dinikmatinya selama ini.
Tak Hapus Pidana
Informasi yang dihimpun Siwalima di Baileo Rakyat Belakang Soya, diketahui sejumlah pimpinan dewan telah melakukan pengembalian kerugian negara. “Setelah jadi temuan, mereka sudah mulai mengembalikan,” kata sumber itu, Sabtu (20/11).
Tujuan pengembalian kerugian negara itu tambah dia, adalah agar kasus tersebut tidak sampai menyeret-nyeret mereka. “Mereka takut, makanya disetor balik agar kasusnya selesai,” ujarnya.
Namun langkah petinggi dewan kota itu dipastikan bakal sia-sia, lantaran Raymond Supusepa menegaskan, pengembalian kerugian negara dalam proses pemeriksaan kasus tindak pidana korupsi, tidak serta merta menghapus perbuatan pidana yang dilakukan pelaku.
“Perlu diingat dengan mengembalikan uang negara yang diperoleh dari tindak pidana korupsi, tidak serta merta menjadi dasar untuk menghentikan perkara tetapi menjadi salah satu dasar bagi pertimbangan hakim sebagai unsur yang meringankan terdakwa dalam persidangan nanti,” jelas Raymond.
Diakuinya, Mahkamah Agung telah mengeluarkan Peraturan Nomor 1 tahun 2020 Tentang Pedoman Pemidanaan Kasus Korupsi, dimana jika kerugian keuangan negara di kembalikan dan menimbulkan kerugian yang sangat kecil, maka pelaku akan dipidana dengan pidana ringan.
Menurutnya, dengan adanya pedoman pemidanaan ini, maka akan menjadi dasar bagi Mahkamah Agung dan hakim, tetapi disisi lain mengembalikan keuangan negara tidak menghapus proses pidana.
“Memang peraturan itu mensyaratkan kalau kerugian keuangan negara telah nyata dan dikembalikan oleh pelaku maka kerugian keuangan negara itu dianggap hilang tetapi tetapi tidak menghilangkan proses untuk menghukum pelaku sehingga tetap akan dipidana,” cetusnya.
Hal senada juga dikatakan Pistos Noja. Menurutnya, jika nantinya para pimpinan dewan yang diduga terlibat tindak pidana korupsi mengembalikan uang hasil korupsi, bukan secara otomatis menghapuskan tindak pidana yang mereka lakukan.
Apalagi pemulangan uang itu setelah proses hukum yakni penyelidikan dari Kejaksaan Negeri Ambon, artinya, seharusnya pengembalian uang hasil korupsi dilakukan sebelum persoalan ini dilidik dan disidik oleh aparat penegak hukum artinya pidana yang diberikan pun mungkin saja ringan.
Karena ini kesadaran timbul dari dalam diri maka kemungkinan tindak pidana itu kecil, tetapi ketika proses hukum sudah dilakukan maka ini fatal,” tegasnya.
Makan Uang
Oleh BPK, nama Ketua DPRD Ambon, Ely Toisuta ditulis ikut menikmati uang haram itu. Sebut saja dalam item pertanggungjawaban realisasi belanja rumah tangga, terdapat indikasi belanja fiktif sebesar Rp690.000.000.
Secara uji petik, tim memeriksa 4 SP2D nomor 874/BL/TU/BPKAD/2020 senilai Rp. 172.500.000 berikutnya SP2D nomor 874/BL/TU/BPKAD/2020 senilai Rp. 115.000.000, SP2D nomor 3621/BL/TU/BPKAD/2020 senilai Rp. 172.500.000 dan SP2D nomor 5193/BL/TU/BPKAD/2020 senilai Rp. 172.500.000.
Hasilnya diketahui bahwa realisasi belanja biaya rumah tangga dipertanggungjawabkan dengan melampirkan nota toko dari 2 penyedia, JL dan SJ, tim pemeriksa menemukan indikasi nota dan kwitansi melebihi nilai SP2D yang dicairkan, disamping banyak ketidaksesuaian nilai antara kwitansi dan nota yang dilampirkan.
Setalah dikonfirmasi kepada PPK kegiatan an Sdr FN, diketahui realisasi belanja tidak dilaksanakan seperti yang dibuktikan pada dokumen nota belanja.
Hal itu juga diamini Sdri JS selaku bendahara pengeluaraan, yang menyatakan bahwa belanja biaya rumah tangga direalisasi secara tunai kepada 3 orang pimpinan dewan dengan besaran bulanan berbeda. Pembayaran dilakukan secara tunai dengan dokumentasi yang ditandatangani oleh masing-masing pimpinan dewan dan sdri JS.
Adapun alokasi biaya yang diserahkan adalah sebesar Rp.22.500. 000/bulan untuk Ketua DPRD dan sebesar Rp.17.500.000/bulan untuk masing-masing wakil ketua 1 dan 2.
Jadi total dana dalam setahun yang disetor kepada ketiga pimpinan dewan adalah Rp. 690.000.000.
Padahal, hak keuangan dan administratif pimpinan dan anggota DPRD sebagaimana diatur dalam PP No 18 Tahun 2017 disebutkan bahwa biaya rumah tangga masuk dalam tunjangan kesejahtraan bagi Pimpinan DPRD yang menggunakan rumah dinas jabatan dan perlengkapannya. Berdasarkan konfirmasi kepada Sdri JS selaku Bendahara Pengeluaraan, diketahui bahwa pimpinan yang berhak hanya Ketua DRPD. Sedangkan Wakil Ketua 1 dan 2 tidak menggunakan Rumah Dinas Jabatan. Padahal keduanya selama ini menerima pembayaran atas belanja rumah tangga masing-masing Rp.17.500.000/bulan.
Selain itu, dalam item temuan realisasi belanja makanan dan minuman Sekretariat DPRD, diketahui bahwa proses realisasi terbagi menjadi dua mekanisme, yaitu Surat Perintah Kerja (SPK) dan menggunakan nota toko sebagai pertanggungjawaban.
Tim kemudian melakukan konfirmasi kepada penyedia dalam hal ini CV DG, terdapat beberapa permasalahaan antara lain. 1. Indikasi belanja fiktif pada realiasi belanja makanan dan minuman sebesar Rp912.931.000 pada 6 SPK atas nama CV DG.
Dari hasil pemeriksaan, Sdr JL selaku direktur CV DG menyatakan bahwa keenam SPK tersebut tidak dilaksanakan sesuai perjanjian, karena CV DG hanya dipinjam. Proses pengadaan barang dan jasa dilakukan oleh sdr JL namun setelah pencairan SP2D di BPDM kantor Balai Kota Sdr. JL langsung menyetor seluruh hasil pencairan kepada Bendahara Pengeluaran Sekretariat DPRD.
JS, bendahara pengeluaran yang dikonfiirmasi membenarkan kondisi seperti yang dijelaskan oleh Sdr JL. Bendahara Pengeluaraan menambahkan, pencairan atas 2 SPK melalui SP2D No 3118/BL/LS/BPKAD/2020 dan No 3571/BL/LS/BPKAD/2020 pada hari-hari besar keagamaan, tidak dilaksanakan. Uang hasil pencairan atas kedua SPK tersebut, diserahkan kepada Pimpinan DPRD, dibuktikan dengan daftar pembayaran ditandatangi oleh masing-masing pimpinan.
Penyerahan Termin pertama dialokasikan kepada Ketua DPRD atas nama Ely Toisuta sebesar Rp83.920.594 dan untuk Wakil Ketua Rustam Latupono sebesar Rp56.764.344.
Pada termin kedua, Ely Toisuta menerima Rp51.923.156 dan untuk Latupono menerima Rp51.923.156. Dalam kasus ini, BPK tidak menemukan nama Gerald Mailoa sebagai orang yang ikut kebagian uang haram tersebut.
Alokasi itu sebelum dipotong fee serta pajak terkait. sedangkan 4 SP2D lainnya dicairkan oleh CV DG kemudian uang hasil pencairan diserahkan kepada Sdri JS untuk disimpan, namun wewenang untuk realisasi uang tersebut ada pada masing-masing PPK.
Terdapat indikasi belanja fiktif atas realiasi makan minum Rp.1.270. 250.000. berdasarkan pemerikasan atas bukti lima SP2D tersebut, diketahui bahwa hampir seluruh nota yang dipakai berasal dari CV DG. Hasil pemerikasaan terhadap sdr JL selaku Direktur CV DG, diketahui bahwa Sdr JL menyerahkan nota kosong kepada Sekretariat DPRD. Bendahara Pengeluaraan DPRD yang dikonfirmasi membenarkan bahwa nota-nota tersebut secara real tidak pernah dilaksanakan.
Tujuh Item
Dari hasil pemeriksaan BPK, diketahui ada tujuh item temuan yang terindikasi fiktif. Adapun nilai keseluruhan temuan itu kalau ditotal berjumlah Rp5.293.744.800, dengan rincian sebagai berikut, belanja alat listrik dan elektronik (Lampu Pijar, Batrei kering) terindikasi fiktif sebesar Rp425.000.0001, belanja pemeliharaan peralatan dan mesin terindikasi fiktif sebesar Rp168.860.000 dan belanja peralatan kebersihan dan bahan pembersih yang terindikasi fiktif sebesar Rp648.047.000.
Selain itu BPK juga menemukan belanja rumah tangga yang terindikasi fiktif sebesar Rp690.000.000 dan belanja alat tulis kantor terindikasi fiktif sebesar Rp324.353.800.
Ada juga belanja cetak dan pengadaan yang terindikasi fiktif senilai Rp358.875.000, serta belanja makanan dan minuman Sekretariat DPRD yang terindikasi fiktif senilai Rp2. 678.609.000.
Sementara itu, Kajari Ambon, Dian Fris Nalle yang dikonfirmasi Siwalima melalui telepon selulernya, sejak Sabtu (20/11) hingga Minggu (21/11), terkait pimpinan dewan yang terindikasi terima uang telah melakukan pengembalian ke negara, tidak menjawab telepon. Pesan singkat yang dikirim melalui Whats App juga tidak direspons.
Hal senada juga dilakukan Kasi Intel Kejari Ambon, Djino Talakua, yang tidak merespons panggilan. (S-50/S-51)
Enak ya… rakyat kerja banting tulang kok bisa seenaknya gunakan uang rakyat dgn alasan kedinasan…. yg wajar2 aja pake nya. … Perlu dicabut mandatnya di thn 2024
Enak ya… rakyat kerja banting tulang kok bisa seenaknya gunakan uang rakyat dgn alasan kedinasan…. yg wajar2 aja pake nya. … Perlu dicabut mandatnya di thn 2024