Visi tanpa Tanah dan Air?
TIGA pasang calon presiden dan wakil presiden telah resmi mendaftarkan diri untuk mengikuti kontestasi Pilpres 2024. Anies Rasyid Baswedan dan Abdul Muhaimin Iskandar (Amin) menjadi pasangan pertama yang mendaftar ke Komisi Pemilihan Umum (KPU), persis pada hari pertama pendaftaran dibuka.
Antusiasme pendukung Amin meluber dari seluruh penjuru negeri, memadati jalan dan lorong-lorong menuju Kantor KPU. Optimisme terlihat membuncah di setiap rongga dada dan pikiran para pendukung Amin yang meyakini bahwa jalan yang tidak mulus hingga sampai ke KPU merupakan penanda bahwa Amin layak untuk memenangi kontestasi Pilpres 2024.
Untuk mendukung proses pemenangan, setiap capres memiliki tim yang bertugas merumuskan visi dan misi pasangan calon agar bisa diterima secara baik oleh masyarakat pemilih. Setelah proses pendaftaran selesai dan akan diikuti kampanye pada November, tampaknya mulai sekarang masyarakat sangat layak untuk mengetahui isi hati dan pikiran para capres-cawapres melalui sosialisasi visi dan misi. Hemat saya, penyederhanaan kata/diksi dalam merumuskan visi dan misi sangat penting untuk dikritisi, sekaligus menjadi pertimbangan dalam menentukan pilihan.
Tanah dan air
Jika membaca sekilas tentang visi dan misi Amin, Ganjar-Mahfud, dan Prabowo-Gibran, titik tekan ketiganya ada pada kata perubahan, percepatan, dan keberlanjutan. Sebagai sebuah dokumen yang imajinatif, ketiganya memiliki frasa dan diksi yang menjadikan beragam masalah kebutuhan publik sebagai prioritas.
Baca Juga: Pemilu dan Pengerdilan IntelektualitasKetiganya juga meyakini bahwa bentangan rencana program, baik perubahan, percepatan, maupun keberlanjutan, semuanya, dipersembahkan untuk memperbaiki kehidupan masyarakat ke arah yang lebih adil dan sejahtera. Ujian terberat seseungguhnya akan terlihat dari bagaimana kemampuan tim teknokratik ketiga paslon merumuskan skema anggaran yang tidak jauh dari janji.
Sebenarnya agak aneh memang, ketika ketiga paslon masih harus merumuskan visi dan misi. Padahal, visi tentang Indonesia saat ini dan masa depan tampaknya belum berubah seperti yang sudah dirumuskan dalam UUD 45, yaitu bagaimana setiap pemimpin Indonesia mampu mencerdaskan kehidupan bangsa dan terus memelihara fakir miskin secara benar dan bertanggung jawab.
Amanah itu sama sekali belum bergerak ke arah yang lebih baik karena lingkup dan bingkai visi dan misi selalu dikaburkan kepentingan politik sesaat, yang sesuai dengan selera pemenang pemilu. Jangan-jangan ada yang salah ketika visi dan misi dibuat, tetapi pedoman untuk menentukan skala prioritas program tidak memiliki basis dan orientasi yang sejalan dengan kondisi sosial dan budaya masyarakat Indonesia.
Secara subjektif, saya sepakat dengan apa yang pernah ditulis Al- Mawardi dalam kitab Al-Ahkamu Sulthaniyyah pada abad ke-11, bahwa sumber utama masalah kenegaraan sebenarnya bermula dari penyediaan tanah untuk tempat tinggal dan pertanian, serta distribusi air untuk masyarakat luas.
Urusan tanah dan air sangat jarang diakomodasi secara tuntas dalam bentang rencana program setiap presiden karena kedua urusan itu dianggap sepele dan tidak penting. Jauh sebelum Jean-Jaques Roeusseau dan John Lock merumuskan ciri negara modern di abad ke-16 dan ke-17, Al-Mawardi sudah dengan tajam merumuskan pentingnya seorang pemimpin adil yang bisa mengelola urusan pertanahan dan air untuk seluas-luasnya dibagi dan digunakan masyarakat.
Tanah, dan apalagi air, secara fiqhiyah tak bisa dimonopoli sebuah perusahaan karena sumber air tak bisa dikaveling, apalagi disertifikasi secara administratif, karena itu merupakan pemberian Tuhan yang paling dasar. Air harus sepenuhnya dikembalikan dan dikelola negara untuk kebutuhan masyarakat. Dalam pandangan Al-Mawardi, jika persoalan tanah dan air terdistribusi secara benar dan merata, separuh urusan negara sudah dianggap selesai.
Pertanyaannya ialah apakah kita bisa membaca dari visi dan misi para paslon tentang pentingnya penyediaan tanah untuk kepentingan tempat tinggal dan lahan tanam (pertanian) serta kebutuhan penyediaan air sudah menjadi bagian dari rencana kerja para paslon?
Tanpa ada kejelasan tentang keberpihakan negara terhadap kebutuhan fundamental rakyat itu, sebagian program pembangunan lainnya pasti akan menemui masalah dan sulit untuk menciptakan kesetaraan dan keadilan secara sosial dan ekonomi. Itu artinya, visi mencerdaskan kehidupan bangsa dan meningkatnya taraf hidup fakir miskin tak akan pernah bisa kita capai. Pentingnya komitmen negara dalam menyediakan ketercukupan tanah dan air seharusnya menjadi isu utama para paslon dalam merencanakan program kerja turunannya.
Kesetaraan kondisi
Sejalan dengan pentingnya penyediaan lahan dan air untuk setiap rumah tangga di baik desa maupun kota, presiden terpilih selanjutnya hemat saya perlu membuat peta jalan kesetaraan di semua sektor kebijakan publik. Salah satu makna penting pengintegrasian program yang berorientasi pada kebutuhan lahan dan air ke dalam satu paket kebijakan ialah tujuan menumbuhkan semangat kebersamaan antara sesama anak bangsa.
Meskipun beragam program sejauh ini sudah dilakukan untuk dan atas nama keadilan dan kesetaraan, penyediaan ketercukupan lahan dan air diharapkan dapat meredam semangat borjuasi kaum pemilik modal, yang selama ini cenderung melegalkan dan menganggap segala sesuatunya sebagai milik segelintir orang dan kelompok. Ketercukupan lahan dan air bagi rakyat berpotensi untuk meningkatkan partisipasi masyrakat sebagai warga negara yang baik (good citizenship).
Prinsip-prinsip good citizenship, yang diambil dari proses penyediaan lahan dan air, juga akan membuat masyarakat lebih aktif terlibat dalam proses politik secara sehat karena basis pengetahuan dan kesejahteraan mereka menjadi sehat. Pengintergasian beragam program dengan tujuan menyediakan ketercukupan lahan dan air juga diharapkan akan mampu mendorong sikap-sikap masyarakat yang lebih toleran dalam rangka membantu penguatan sistem demokrasi, yang saat ini sedang dikembangkan di Indonesia (Elizabeth Theiss-Morse and John R Hibbing: Citizenship and Civic Engagement, 2005).
Dalam rangka menjaga kemajemukan Indonesia, para founding father bangsa ini mengemasnya dengan balutan Pancasila sebagai dasar bernegara. Di dalam Pancasila, banyak terkandung makna spiritual yang dapat dijadikan suluh dalam kehidupan masyarakat. Pancasila juga merupakan bentuk kompromi politik yang berangkat dari kesadaran untuk memelihara perbedaan agar tetap selaras dan harmonis. Namun, melihat bagaimana interaksi masyarakat di tingkat bawah akhir-akhir ini, yang mulai gemar dengan kekerasan dan main hakim sendiri karena tak senang dengan adanya perbedaan, mengindikasikan bahwa nilai-nilai kemajemukan mulai rusak. Lagi, secara subjektif saya meyakini sumber kecemburuan bermula dari tiadanya keadilan dan kesetaraan dalam penguasaan lahan dan air.
Jika kesetaraan ialah fitrah yang secara normatif merupakan kebutuhan manusia Indonesia secara keseluruhan, benar adanya jika konstitusi kita (UUD 1945) telah menyebutnya secara kasatmata. Kesalahan fundamental para pemimpin bangsa dalam memahami dan memaknai gagasan tentang kesetaraan hanya berorientasi kepada gagasan dan akses semata, tanpa diimbangi partisipasi publik (Lynch, 2000). Padahal, sejatinya kesetaraan (equality) bukan saja harus dilihat dari visi dan misi semata, tetapi juga harus mempertimbangkan kondisi sosial, politik, ekonomi, budaya dan agama. Hanya dengan cara pandang seperti inilah, kemudian kita dapat merumuskan gagasan tentang kesetaraan kondisi (equality of condition), sebagai pendekatan dalam merumuskan kebijakan publik yang pro pada kebutuhan publik dan nondiskriminatif, terutama pada ketersediaan lahan dan air.
Baker (2004) dalam Equality: From Theory to Action memberi banyak inspirasi dalam menafsirkan makna kesetaraan. Baginya, kesetaraan kondisi (equality of condition) jauh lebih penting daripada kesetaraan dalam konteks gagasan dan akses. Dalam equality of condition fokus kita berikan bukan hanya terhadap tujuan dan proses (purposes and process) pembangunan itu sendiri, melainkan juga berkaitan dengan kesetaraan terhadap sumber daya (equality of resources), kesetaraan dalam pengakuan dan penghargaan (respect and recognition), kesetaraan dalam kekuasaan (equality of power), dan kesetaraan dalam kepedulian, solidaritas dan cinta (love, care, and solidarity). Semua jenis kesetaraan itu jelas membutuhkan kecerdasan birokrasi dan para teknokrat kita dalam merumuskan dan merencanakan program pembangunan yang berorientasi pada keadilan dan kesetaraan.
Kesetaraan sumber daya harus dibuktikan dengan penciptaan sistem meritokrasi yang lebih terbuka dan nondiskriminatif dalam menentukan pejabat publik, sedangkan kesetaraan dalam pengakuan dan respek harus diciptakan tidak hanya dengan membangun budaya kerja yang menghargai perbedaan, tetapi juga harus diekspresikan secara tertulis dalam skema perencanaan tahunan negara yang memadai. Sementara itu, kesetaraan kekuasaan harus dilihat dalam relasi pemimpin dan rakyatnya, yang semakin peduli dengan akses terhadap lahan dan air, sehingga implikasi dari pandangan itu akan membawa keterbukaan untuk saling menghargai posisi dan peran masing-masing dalam proses berdemokrasi.
Saatnya para tim pemenangan ketiga calon presiden dan wakil presiden mulai merumuskan aspek teknokratik dari setiap program yang berorientasi pada pemenuhan hak dasar rakyat, yaitu tanah dan air yang setara sesuai dengan kondisi dan situasi. Beragam program yang sudah berlangsung selama kurang lebih 75 tahun harus diubah fokusnya untuk dalam rangka memenuhi sebanyak mungkin lahan pertanian dan hunian yang cukup akses terhadap sumber air yang melimpah dari gunung dan sungai-sungai yang mengalir deras di tanah Indonesia. Selamat berkompetisi kepada ketiga paslon dan jangan lupa, kita berasal dari tanah dan air, dan ketika kita kembali kepada Tuhan, juga melalui tanah dan air sebagai saksi tentang perilaku kita di kehidupan sesudah mati. Wallahu a’lam bi al-shawab. Oleh: Ahmad Baidhowi AR Direktur Eksekutif Yayasan Sukma, Jakarta. (*)
Tinggalkan Balasan