AMBON, Siwalimanews – Kabid Humas Polda Ma­luku, Kombes Roem Ohoirat menegaskan, pihaknya mak­simal mengusut kasus du­gaan pelecehan seksual Bu­pati Maluku Tenggara, M Taher Hanubun.

Menurut Kabid, dalam pe­nuntasan kasus tersebut, pi­haknya masih membutuhkan keterangan pelapor.

Hal ini diungkapkan Kabid, saat diwawancarai Siwalima di Ambon, Senin (25/9) me­nyikapi permintaan dari sua elemen masyarakat Maluku Tenggara, yaitu,

Forum Masyarakat Maluku Tenggara (Formama-Tengga­ra) dan Pemuda Katolik ca­bang Maluku Tenggara, men­desak Polda Maluku mem­per­cepat proses hukum TH, sapaan akrab bupati.

Bupati Malra dilaporkan oleh pelapor TA, eks karya­wan Café Agnia, milik Hanu­bun, pada 1 September 2023 atas dugaan pelecehan sek­sual, dengan nomor laporan TBL/230/IX/2023/MALUKU/SPKT.

Baca Juga: Elemen Masyarakat Soal Dugaan Pelecehan Seksual, Bupati Langgar Adat

Menurut Kabid, sejumlah upaya telah dilakukan penyidik Polda Ma­luku hanya saja, masih membu­tuhkan keterangan pelapor untuk memboboti berita acara peme­riksaan.

Kabid menegaskan, sejak awal pi­haknya ingin membuka secara terang benderang kasus ini de­ngan membawa siapa yang diduga ber­tanggung jawab ke pengadilan, na­mun pihaknya mengalami kendala.

“Sekali lagi mau saya sampai­kan sejak awal kita ingin buka secara terang benderang kasus ini dengan membawa siapa yang bertanggung jawab ke pengadilan, namun kendalanya ada di pelapor sendiri,”jelas.

Menurutnya sesuai dengan Undang-Undang TPKS, pencabu­tan perkara untuk kasus kekerasan seksual tidak menghentikan kasus tersebut sebelum diputuskan pe­ngadilan, namun undang undang juga mengatur bahwa pelapor tidak bisa dijemput paksa jika diperlukan keterangannya sebagaimana saksi maupun pelaku dalam sebuah tidak pidana.

Hal tersebut lantas membuat penyidik kesulitan menuntaskan kasus tersebut.

“Saat ini kita cuma berharap dari korban, semua tergantung korban. Kalau korban tidak ada bagaimana kita mau lanjut kasusnya, semen­tara korban harus memberikan kesaksiannya,” ungkapnya.

Bupati Langgar Adat

Seperti diberitakan sebelumnya, dua elemen masyarakat Malra mendesak Polda Maluku memper­cepat proses hukum Bupati Malra, M Thaher Hanubun.

Selain itu, Forum Masyarakat Maluku Tenggara (Formama-Teng­gara) dan Pemuda Katolik cabang Maluku Tenggara, menganggap orang nomor satu di Kabupaten Maluku Tenggara itu tak lagi me­nghormati adat istiadat orang Kei.

Menurut keduanya, mestinya Bupati Hanubun menjadi pelin­dung bagi kaum perempuan, namun dirinya mematahkan hal itu dengan tindakan yang dilakukan­nya.

Bupati Malra dilaporkan oleh pe­lapor TA, eks karyawan Café Agnia, milik Hanubun, pada 1 September 2023 atas dugaan pelece­han sek­sual, dengan nomor lapo­ran TBL/230/IX/2023/MALUKU/SPKT.

Kedua lembaga tersebut menu­ding orang nomor satu di  Kabu­paten Maluku Tenggara itu tak lagi menghormati adat istiadat orang Kei, dimana mestinya menjadi pe­lindung bagi kaum perempuan namun dirinya mematahkan hal itu dengan tindakan yang dilaku­kannya.

Koordinator Formama-Teng­gara, Hironimus Ulukyanan mewa­kili Formama menyampaikan, dukungan dan desakan kepada Polda Maluku untuk tetap proses hingga tuntas kasus dugaan seksual yang dilakukan Bupati Hanubun.

“Formama Tenggara menyata­kan bahwa kasus dugaan pelece­han seksual yang dilakukan oleh M Thaher Hanubun, adalah sebuah kejahatan, yang telah menjadi aib bagi seluruh masyarakat Maluku Tenggara, terutama masyarakat adat Kei dimanapun,” ujarnya kepada Siwalima melalui pesan whatsappnya, Minggu (24/9).

Sikap Pemuda Katolik

Terpisah, Pemuda Katolik ca­bang Maluku Tenggara juga ikut bicara. Melalui rilis yang diterima Siwalima, Minggu (24/9) mereka menyatakan jika Hanubun dinilai melanggar hukum Adat Larvul Ngabal Pasal 6 tentang Moryain fo Mahiling dan Sasa.

Ketua Pemuda Katolik, Isak Ignatius setitit dalam rilisnya me­nyatakan, Kekerasan dan pelece­han seksual merupakan pelang­garan hak asasi manusia, keja­hatan terhadap martabat kemanu­siaan, serta bentuk diskriminasi yang harus dilawan bersama. Dam­pak kekerasan dan pelece­han seksual meliputi penderitaan fisik, mental, kesehatan, ekonomi dan sosial hingga politik.

Dampak kekerasan dan pele­cehan seksual semakin menguat ketika Korban merupakan bagian dari Masyarakat yang marginal secara ekonomi, sosial dan politik.

Pemuda Katolik sebagai ormas juga telah turut serta dalam meng­awal proses hukum agar tidak ada pihak-pihak yang dirugikan, baik pihak pelapor maupun pihak ter­lapor.

Preseden Buruk

Upaya menghindar dari jeratan hukum dan melakukan penyelesai­an di luar proses peradilan, meru­pa­kan preseden buruk dalam pe­ne­rapan Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual.

Kondisi ini sungguh sangat menyayat hati dan batin Pemuda Katolik dan seluruh masyarakat Malra, karena proses yang dilaku­kan tidak pantas dan benar di mata hukum.

Pemuda Katolik berpendapat bahwa penyelesaian perkara diluar proses peradilan yang dilakukan dalam kasus dugaan kekerasan seksual ini, telah mencederai sema­ngat lahirnya Undang-undang Tin­dak Pidana Kekerasan Seksual. Da­lam penerapan Undang-undang ini kedepan akan menjadi contoh ka­sus dan praktek jahat yang bisa digunakan oleh setiap individu mau­pun kelompok untuk menghindar dari jeratan hukum, terutama bagi mereka yang mempunyai kedudu­kan tinggi dan kekuasaan. (S-10)