URBAN farming atau pertanian perkotaan perlu menjadi satu strategi kedaulatan pangan yang penting untuk diakomodasi negara kita saat ini. Pertanian perkotaan secara ringkas diartikan sebagai produksi pangan di dalam kota. Kalau kita bandingkan dengan food estate sebagai proyek strategis suplai pangan hari ini dengan urban farming, food estate menghadapi kendala besar, yakni mendapatkan lahan subur dengan hamparan luas. Kesulitan tersebut menyebabkan pemerintah terpaksa mengimplementasikan food estate pada lahan yang marginal seperti lahan rawa dan gambut. Akibat lanjutnya, potensi gagal panennya menjadi tinggi.

Urban farming punya keunggulan karena empat alasan berikut. Pertama, urban farming merupakan solusi potensial untuk tantangan ketahanan pangan di daerah urban (perkotaan), khususnya di kota-kota besar yang menghadapi keterbatasan sumber daya lahan.

Kedua, ia mengimplementasi teknologi tanpa tanah. Tanah subur untuk pertanian dalam satu hamparan luas hari ini merupakan sumber daya yang langka, apalagi di daerah perkotaan. Walaupun demikian, tidak berarti pertanian tidak bisa dihadirkan di perkotaan. Sebagian besar, bentuk teknologi urban farming menggunakan teknik minim lahan, seperti hidroponik (menanam dengan air bernutrisi sebagai media tanam), aeroponik (menanam dengan menyemprotkan nutrisi langsung ke akar), atau akuaponik (menggabungkan budi daya tanaman dengan budi daya ikan).

Ketiga, urban farming umumnya menggunakan air dan lahan sangat efisien jika dibandingkan dengan teknik-teknik pertanian konvensional serta mengurangi kebutuhan akan pestisida. Sistem daur ulang air sering digunakan untuk mengurangi limbah dan memaksimalkan efisiensi.

Keempat, lokasi di dekat konsumen. Dengan menempatkan fasilitas pertanian di dalam atau dekat kota, urban farming dapat mengurangi waktu dan biaya transportasi, memastikan produk segar sampai ke tangan konsumen lebih cepat dan dengan jejak karbon yang lebih kecil.

Baca Juga: Siap atau tidak, AI akan Hadir di Semua Lini Bisnis

Variasi penerapan urban farming tergantung pada situasi kota. Di kota-kota yang sangat padat penduduknya, tetap bisa dilakukan urban farming di atap-atap rumah, seperti di Kairo dan Dhaka, beberapa kota bisa menggunakan pertanian vertical (vertical farming). Vertical farming ialah metode pertanian yang memanfaatkan ruang vertikal untuk menanam tanaman dalam lapisan-lapisan yang ditumpuk secara vertikal, biasanya di dalam ruangan atau gedung yang dirancang khusus. Itu bisa diterapkan di gedung-gedung milik pemerintah dan nonpemerintah dengan melibatkan komunitas-komunitas urban farming setempat.

Ada tiga tipe urban farming menurut Nasution (2015) dan McClintok (2014). Yang pertama, dan yang terpenting, ialah pertanian perkotaan kolektif yang mengolah lahan kosong atau terbatas yang diorganisasi oleh komunitas dan setiap komunitas memiliki koordinatornya masing-masing.

Yang kedua ialah pertanian perkotaan yang mendukung program lembaga formal, dalam hal ini pemerintah kabupaten/kota. Program itu bisa menjadi alat untuk menyukseskan program pemerintah, misalkan dalam program gizi anak di beberapa kota besar di negeri jiran.

Salah satu contoh kota yang berhasil memanfaatkan produk urban farming untuk suplai bahan pangan dalam program makanan tambahan untuk anak-anak ialah Belo Horizonte di Brasil. Kota itu mengimplementasikan program ketahanan pangan yang inovatif dengan melibatkan urban farming sebagai salah satu sumber pangan. Program tersebut menyediakan makanan tambahan yang bergizi untuk anak-anak di sekolah-sekolah dan pusat layanan kesehatan. Belo Horizonte telah mengembangkan kebun-kebun kota dan pasar pangan murah yang memberikan akses lebih mudah bagi penduduk untuk mendapatkan makanan segar dan bergizi (Rocha, 2001).

Jenis pertanian perkotaan yang ketiga ialah berbasis tempat tinggal dari tiap-tiap anggota komunitas. Mirip dengan tipe kolektif, tetapi setiap anggota mempunyai lahan masing-masing untuk digarap. Selain untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga, mereka juga menjual hasil panen mereka kepada warga lain. Contoh urban farming tipe itu ialah yang dilakukan oleh ibu rumah tangga dengan memanfaatkan lahan kosong di halaman rumah untuk memenuhi kebutuhan pangan dan memperoleh penghasilan tambahan.

Fenomena itu dapat ditemukan di Kota Havana, Kuba, saat runtuhnya Uni Soviet. Kuba menghadapi krisis pangan yang serius saat itu. Menghadapi kondisi itu, banyak warga kota, terutama ibu rumah tangga, mulai menanam sayuran dan buah-buahan di lahan-lahan kosong di sekitar rumah mereka. Urban farming itu dikenal dengan istilah ‘organoponicos’ yang mana kebun-kebun tersebut memanfaatkan teknik pertanian organik dan intensif dalam area kecil. Hasil panen sering kali dijual di pasar lokal, memberikan tambahan pendapatan bagi keluarga-keluarga tersebut (Murphy, 1999).

Selama ini, urban farming di Indonesia lebih pada aktivitas personal atau komunitas. Menjadikannya sebagai program pembangunan ketahanan pangan nasional harus mendapat perhatian dari negara, baik dalam alokasi anggaran maupun dukungan penyebaran dan implementasi teknologinya ke masyarakat kota. Untuk mendorong partisipasi masyarakat dalam urban farming, pemerintah perlu memberikan bantuan permodalan, bibit, pupuk organik cair dan media tanam, serta bantuan penyuluhan dan pengembangan melalui universitas dan lembaga riset.

Keterlibatan pihak swasta dan BUMN bisa dalam bentuk corporate social responsibility (CSR). CSR penting untuk mempertahankan keberlanjutan program itu di masyarakat. Peran CSR pada pertanian perkotaan dapat melalui konsep pengembangan pertanian konservasi dan pertanian organik pada pertanian perkotaan. Selain itu, CSR dapat berupa dukungan finansial untuk pelatihan bagi petani, pengembangan produk pertanian unggul, plot percontohan, serta pembelian alat dan mesin untuk sarana produksi pertanian.  (Andi Irawan, Guru Besar Ekonomi Pertanian Universitas Bengkulu dan Ketua Bidang Kebijakan Publik Asasi Perhimpunan Akademisi dan Saintis Indonesia)