DI era perkembangan kapitalis meinformasional, transformasi digital adalah sebuah keniscayaan. Kehadiran berbagai platform digital dan perekono­mian online, telah mengubah dengan cepat perilaku konsumen dan strategi pemasaran yang makin masif. Transformasi digital disebut-sebut sebagai masa depan ekonomi dan bisnis. Tidak ada pilihan lain, para pelaku bisnis, termasuk pula UMKM, mau tidak mau mereka harus beradaptasi dengan kehadiran digitalisasi perdagangan yang kian menglobal.

Di Indonesia, dilaporkan nilai industri digital di Tanah Air telah tumbuh secara signifikan dari 41 miliar dolar pada tahun 2019 menjadi 77 miliar dolar pada tahun 2022, dan diperkirakan akan meningkat menjadi 130 miliar dolar pada tahun 2025, terutama didorong oleh perkembangan e-commerce, trans­portasi daring dan pengiriman makanan, perjalanan online dan media online. Fasilitas pembelian produk melalui layanan digital mempercepat akselerasi perkembangan ekonomi digital.

Saat ini, yang namanya konsumen tidak lagi harus datang ke mal atau toko untuk memperoleh barang yang dibutuhkan. Interaksi antara konsumen dan penjual makin intens melalui saluran digital. Di tingkat global, rata-rata, 58% interaksi konsumen dengan penjual bersifat digital dibandingkan dengan 36% pada periode sebelumnya, bahkan sekarang menjadi 80%. Bagi pelaku usaha, termasuk pelaku UMKM, bila tidak segera beradaptasi dengan transformasi digital, kemungkinan mereka akan tergerus dan tertinggal dari perubahan yang berlangsung sangat cepat.

Berkah atau ancaman?

Menurut data, Indonesia saat ini memiliki sekitar 64 juta UMKM. Keberadaan UMKM menyumbang 97% dari angkatan kerja negara dan berkontribusi lebih dari 60% dari PDB. Meski perkembangan ekonomi digital membuka peluang bagi pelaku UMKM untuk menembus pasar yang lebih luas, tetapi di saat yang sama pasar UMKM sesungguhnya juga tengah terancam tergerus akibat masuknya produk impor yang membanjiri Tanah Air melalui penawaran daring. Bagi pelaku UMKM, transformasi digital tampaknya bisa menjadi berkah, tetapi juga sekaligus ancaman.

Baca Juga: Menciptakan Kota Komunikatif dan Informatif, Tak Cuma Gimmick

Financial Times, tanggal 21 Juni 2023 melaporkan ByteDance, perusahaan induk TikTok, telah menjual produk mereka langsung ke konsumen. Penjualan produk yang bakal menyaingi penjual ritel daring raksasa, seperti Shein dan Amazon ini jelas akan mengancam perkembangan UMKM di Indonesia. Meski TikTok telah membantah akan menerapkan proyek penjualan produk langsung ke konsumen ke Indonesia, tetapi bukan berarti ke depan situasi akan aman-aman saja.

Kita tahu bahwa shoppertainment menjadi peluang baru bagi pelaku UMKM dalam menawarkan produk dan menjangkau pembeli lebih luas melalui konten interaktif dan menghibur. Potensi shoppertain­ment di Asia Pasific pada tahun 2025 sebesar US$1 triliun. Indonesia, Jepang, dan Korea Selatan diperkirakan berkon­tribusi 67% atas gross merchandise value (GMV) shoppertainment pada tahun 2025.

Masalahnya sekarang ialah seberapa banyak pelaku UMKM di Indonesia yang siap bersaing da­lam berbagai platform e-dagang yang makin menglobal? Di tahun 2024 pemerintah telah menarget­kan 30 juta UMKM masuk ke eko­sistem digital, naik dari 22 juta UMKM saat ini. Para pelaku UMK akan dibimbing menembus pasar ekspor.

Sejumlah persoalan yang akan muncul dan dihadapi dalam upaya pembinaan UMKM masuk ke ekosistem digital adalah: Pertama, kurangnya kemampuan literasi digital para pelaku UMKM. Tidak banyak pelaku UMKM di tanah air yang benar-benar siap beradaptasi dengan platform perekonomian digital karena tidak didukung literasi digital yang memadai. Bagaimana mengoperasikan gadget untuk meningkatkan pangsa pasar masih belum memasyarakat di kalangan pelaku UMKM.

Kedua, ketimpangan atau digital divide yang masih menjadi problema serius di kalangan pelaku ekonomi di Indonesia. Bagi pelaku ekonomi kelas menengah dan atas, memang persoalan digitalisasi ekonomi relatif tidak menjadi masalah. Namun, lain soal bagi pelaku UMKM yang jangankan berbicara soal literasi digital. Bahkan untuk perangkat digital yang dimilikinya pun seringkali tidak sesuai dengan tuntutan kebutuhan pasar digital. Dalam kondisi kepemilikan gadget dan akses pada informasi yang terbatas, sulit diharapkan pelaku UMKM dapat bertahan di tengah iklim persaingan yang makin ketat.

Ketiga, ketersediaan infrastruktur digital. Di Indonesia, pada tahun 2025 nanti diproyeksikan perkembangan ekonomi digital akan mencapai Rp. 1.950 triliun. Namun demikian, basis ekonomi digital di tanah air yang tersedia ternyata masih belum memadai. Cakupan konektivitas infrastruktur digital saat ini hanya sekitar 30% dari 514 kabupaten/kota yang ada di Indonesia. Pembangunan akses internet di berbagai desa belum tuntas. Masih ada 1.200 desa yang belum mendapatkan akses internet sehingga bisa dipastikan akan mengganggu akselerasi perkembangan UMKM di perdesaan. Proyek BTS yang kini tengah bemasalah, menambah ruwet upaya penyediaan infrastruktur digital yang memadai bagi pelaku UMKM di Tanah Air.

Makin kompetitif

Menurut data Bank Indonesia, pelaku UMKM yang kini telah memanfaatkan QRIS tercatat sudah 96%. Data ini tentu menggembirakan, karena sebagian besar pelaku UMKM berarti telah masuk ke ekosistem digital yang memungkinkan ruang gerak dan fleksibilitas mereka melayani transaksi daring makin terbuka. Namun demikian, harus diakui bahwa proses transisi menyikapi ekonomi digital belum berjalan seperti yang diharapkan. Kita masih gagap dalam berbagai hal ketika tiba-tiba harus masuk ke sistem perekonomian yang telah berubah secara drastis.

Di Indonesia, berbagai persoalan seperti ketersediaan infrastruktur, regulasi, keamanan siber data konsumen yang rawan dibobol, akses internet, ancaman kehadiran kecerdasan buatan atau AI, dan kemampuan sumber daya manusia yang ada masih menjadi pekerjaan rumah yang berat dan kompleks. Perlindungan data pribadi, misalnya adalah fondasi bagi konsumen dalam perkembangan platform digital yang makin massif. Namun, berkali-kali praktik pembobolan data pribadi masih terus terjadi, seolah tidak ada sama sekali perlindungan data konsumen yang memadai.

Di tahun 2024 nanti, nilai transaksi e-commerce diprediksi akan tumbuh hingga Rp600 triliun. Sejauhmana pelaku UMKM dapat ikut merasakan perkembangan ekonomi digital, sudah barang tentu sangat tergantung pada kesiapan mereka beradaptasi pada perkembangan ekosistem digital. Jangan sampai terjadi, di tengah optimism bahwa transformasi digital akan menjadi berkah bagi perkembangan pelaku usaha di Tanah Air, termasuk UMKM, dalam kenyataan yang terjadi justru sebaliknya.

Tidak hanya para pelaku start-up dan perusahaan besar belakangan ini yang mulai terkena imbas resesi global. Bukan tidak mungkin, pelaku UMKM juga akan berguguran karena tak mampu memanfaatkan me­luasnya pasar yang dibarengi de­ngan mening­katnya iklim per­sai­ngan usa­ha yang ma­kin kompetitif. Oleh: Rahma Sugihartati Guru Besar Sains Informasi FISIP Universitas Airlangga.(*)