Tingginya Harga Cabe Picu Inflasi
CABE merupakan komoditas sayuran yang cukup strategis, baik cabai merah maupun cabai rawit.
Pada musim tertentu, kenaikan harga cabe cukup signifikan sehingga memengaruhi tingkat inflasi. Fluktuasi harga ini terjadi hampir setiap tahun dan meresahkan masyarakat, tetapi belum ada solusi konkret dari pemerintah untuk mengendalikan lonjakan harga tersebut.
Pada musim hujan produksi cabe biasanya selalu rendah karena sebagian besar sawah ditanami padi, dan di lahan kering banyak petani yang enggan menanam cabe karena resiko gagal panen tinggi, biaya produksi tinggi terutama untuk pestisida, dan produktivitasnya lebih rendah daripada di musim kemarau.
Berdasarkan hal tersebut direkomendasikan beberapa kebijakan untuk mengatasi gejolak harga cabai, yaitu peningkatan luas tanam cabai pada musim hujan, pengaturan luas tanam dan produksi cabai pada musim kemarau, stabilisasi harga cabai, dan pengembangan kelembagaan kemitraan yang andal dan berkelanjutan.
Harga cabai masih menjadi komoditas yang mengalami kenaikan. Harga cabai merah dan cabe rawit mengalami kenaikan dari beberapa minggu terakhir ini, apalagi saat menjelang Natal dan Tahun Baru.
Baca Juga: Kehati-hatian Kelola APBDHarga cabe di Provinsi Maluku mereket hingga mencapai harga Rp120 ribu per kilogram.
Kenaikan cabe yang demikian mencekik ini membuat Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Maluku tidak bisa memastikan kapan harga cabe bisa kembali normal.
Cabe merah merupakan salah satu komoditas yang memiliki fluktuasi harga yang cukup besar. Fluktuasi harga cabe merah dapat disebabkan oleh besarnya jumlah penawaran dan besarnya jumlah permintaan.
Kenaikan harga cabai juga dipengaruhi oleh faktor cuaca yang tidak menentu, dan memburuknya kondisi tanah karena penggunaan pupuk kimia selama bertahun- tahun. Kemudian, adanya serangan hama dan jamur juga menyebabkan penurunan produksi cabai di daerah sentra, seperti Jawa Timur (Jatim).
Dari aspek produksi (sisi hulu), pertanian masih dihadapkan kendala yang hingga saat ini masih menjadi yang belum juga mendapatkan solusi terbaiknya. Kendala itu mengemuka dan muncul pada saat 50 petani cabe yang berasal dari sentra produksi utama cabai se Jawa Timur yang tergabung dalam Asosiasi Agribisnis Cabai Indonesia (AACI) berembuk di Malang, pada pertengahan November 2023, untuk membicarakan tantangan yang dirasakan para petani cabe pada 2023—2024 serta dampaknya pada harga cabai. Kenaikan harga cabai menjelang akhir 2023 sudah diperkirakan oleh para petani akan terjadi. Karena hampir 90% petani cabai di Jatim, dalam masa tanam 2023, mengalami banyak kegagalan panen atau kerugian karena dampak El Nino. Sementara AACI yang menaungi mereka menyampaikan bahwa petani cabai dari Jatim telah men-supply sekitar 60% kebutuhan DKI Jakarta/nasional, dimana jumlah tersebut yaitu sebanyak 60% berasal dari para sentra petani dari Banyuwangi. Jadi kegagalan panen dari para petani cabai dimaksud sudah diperkirakan akan mendongkrak kenaikan harga cabai pada akhir 2023, karena supply atau produksi yang terganggu.
Berdasarkan hal tersebut direkomendasikan beberapa kebijakan untuk mengatasi gejolak harga cabai, yaitu peningkatan luas tanam cabai pada musim hujan, pengaturan luas tanam dan produksi cabai pada musim kemarau, stabilisasi harga cabai, dan pengembangan kelembagaan kemitraan yang andal dan berkelanjutan.
Penggunaan inovasi semacam smart farming dan greenhouse ini juga diharapkan dapat menurunkan risiko dan tantangan saat masa tanam cabai merah karena inovasi semacam ini maka produksi/panen cabai dapat dilakukan hampir sepanjang tahun, atau juga sebagai upaya pengganti usulan perlunya kalender masa tanam cabai secara giliran setiap daerah agar supply terjaga dan harga relative stabil, yang menurut para petani kalenderisasi ini sangat sulit untuk dilakukan karena ada unsur pemaksaan dan potensi tanggungan risiko. (*)
Tinggalkan Balasan