AMBON, Siwalimanews – Pernyataan yang dibuat Kepala Kejaksaan Negeri Ambon Dian Frits Nalle, disebut asal-asalan dan tidak masuk logika hukum.

Kasus dugaan korupsi penyalah­gunaan anggaran Rp5,5 miliar di Sek­retariat DPRD Kota Ambon, semakin menarik perhatian publik.

Selain penanganan kasusnya yang membinggungkan publik, pernyataan Kepala Kejaksaan Negeri Ambon, Dian Firts Nalle, tidak masuk logika hukum. Karena pasal 4 UU Tipikor Nomor 31 Tahun 1999 pengembalian kerugian ne­gara atau perekonomian negara tidak menghapus perbuatan melawan hukum. Justru pengembalian tersebut adalah bukti korupsi.

“Pasal 4 itu sama penyelidikan dan pe­nyidikan sebelum, tetapi ketika prosesnya uang sudah diterima masing-masing dengan cara mela­wan hukum, maka sudah dikatakan korupsi. Dalil Kajari itu sangat tidak masuk logika hukum, karena pro­sesnya itu pengembalian uang tidak menghapus perbuatan pidana yang dilakukan,” jelas Koordinator Mas­yarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman kepada Siwalima, melalui voice WhatsApp, Sabtu (12/2).

Boyamin mengatakan hal itu menanggapi pernyataan Kajari Ambon, Dian Frits Nalle yang mene­gaskan bahwa pengembalian keru­gian negara telah dikembalikan oleh anggota DPRD Kota Ambon saat penyelidikan dan bukan penyidikan, pada dugaan korupsi di DPRD Kota Ambon yang ditemukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan, tahun 2020.

Baca Juga: Proyek Fiktif, Kasus Korupsi Rumdis Poltek Jalan Tempat

Menurut Saiman, rekomendasi BPK secara otomatis ditujukan ke Walikota untuk memulihkan keru­gian negara, dimana BPK tidak pernah memerintah aparat penegak hukum untuk usut, justru temuan BPK itu kejaksaan bisa mengusut jika ada temuan kerugian negara atau bukti-bukti yang cukup, maka diadakan penyelidikan.

“Ya otomatis BPK perintah wali­kota, karena itu untuk memulihkan kerugian negara. BPK tidak pernah perintah untuk menyidik atau tidak menyidik, justru aparat penegak hukum termasuk kejaksaan untuk menyidik, jika ada temuan, ada ke­rugian negara, ada bukti-bukti yang cukup maka diadakan penyelidikan. Ini adalah tugas kejaksaan,” tegasnya.

Saiman menilai, Kejari diduga sengaja melempar bola kembali ke BPK, padahal temuan ini dasarnya dari BPK dan harusnya dituntaskan sampai ke pengadilan.

Kajari, katanya, harus mengambil tanggung jawab penyelidikan dan penyidikan dugaan korupsi penya­lah­gunaan anggaran Rp5,5 miliar di DPRD Kota Ambon, sesuai temuan BPK sampai ke pengadilan.

“Ini namanya Kajari melempar bola yang seharusnya dia menendang, malah dikembalikan ke BPK. Temuan ini justru dasarnya BPK. Jadi harus dituntaskan dan harus sampai ke pe­ngadilan. Jadi Kajari jangan kemu­dian melakukan narasi melempar-lempar, ambillah tanggung jawab menanggani perkara ini secara hukum di pengadilan,” cetusnya.

Dia mengaku, sudah melaporkan kasus ini ke Jaksa Agung Muda Bidang Pe­ngawasan, sedangkan untuk prape­r­a­dilan kapapun itu bisa diajukan.

“Untuk praperadilan itu bisa di­ajukan kapapun bisa, jadi tetap opsi. Rencana pelaporan sudah dan su­dah sampaikan laporan secara elek­tronik kepada Jamwas untuk eva­luasi,” tegasnya.

Tak Rasional

Pernyataan Kajari Ambon soal dugaan korupsi DPRD Kota, sangat tidak rasional dimana proses pe­ng­embalian kerugian negara juga cacat prosedur. Berdasarkan pasal 4 UU Tipikor No 31 Tahun 1999 pengem­balian keuangan negara atau pereko­nomian negara oleh oknum-oknum anggota DPRD Kota Ambon, tidak menghapus tindakan pidana yang dilakukan, apakah proses pengem­balian tersebut pada saat penyelidi­kan ataupun penyidikan, tetapi pe­ngembalian keuangan itu sudah membuktikan adanya tindak pidana perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh oknum-oknum DPRD Maluku.

Demikian diungkapkan, akademisi Hukum Unpatti, George Leasa dan Sherlock Lekitipiouw kepada Siwa­lima, secara terpisah, Kamis (10/2) sore, menanggapi pernyataan Kajari Ambon, Dian First Nalle saat didemo ratusan mahasiswa OKP Cipayung yaitu, Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Gerakan Maha­siswa Kristen Indonesia (GMKI), Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) dan Gerekan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) menen­tang kebijakan Kejari menghentikan kasus dugaan penyalahgunaan anggaran di Sekretariat DPRD Kota Ambon, Rp 5,5 miliar.

Menurut mantan Dekan Fakultas Hukum Unpatti, George Leasa, pernyataan Kajari tidak rasional menurut hukum, karena pengem­balian keuangan negara telah membuktikan adanya tindak pidana korupsi yang dilakukan oknum-oknum DPRD Kota Ambon.

“Kasus temuan BPK ini kan 2020 sudah 2 tahun anggaran. Kasus disidik tahun 2021 dimana peng­embalian kerugian negara tahun 2021. Tahun 2020 anggaran yang diduga itu cair digunakan untuk apa, mekanisme pengeluaran seperti apa, apakah sesuai dengan prosedur hukum penggunaan anggaran, ini pertanyaannya harus dijawab oleh Kajari,” ujarnya.

Dikatakan, Kejari melakukan penyelidikan untuk mencari dan menemukan bukti  tentang sesuatu yang diduga terjadi tindak pidana, itu berarti bahwa ada dugaan kuat terhadap suatu terhadap mekanisme penggunaan anggaran yang tidak benar.

“Penggunaan anggaran tahun 2020, pengembalian tahun 2021 ini berarti untuk semua intansi, ini berarti pakai uang dolo biar salah nanti dikembalikan tahun berikut­nya, padahal ini sudah perbuatan pidana,” tegasnya.

Dalam kasus ini, lanjut Leasa, Kejari seharusnya tidak saja fokus pada pengembalian kerugian negara, tetapi sesuai pasal 2 dan pasal 3 UU Tipikor, maka perbuatan pidana penggunaan anggaran itu yang dititik beratkan.

“Ini bukan soal kerugian negara di­mana ada 7 item proyek sesuai te­muan BPK yang diduga fiktif ini juga harus dikejar. Apakah ini sudah prioritas dari pada hukum. Ini kan salah, dengan demikian siapa saja bisa pakai uang negara. Nanti usut kembalikan. Ini kan salah,” te­gasnya.

Prinsipnya, tegas Leasa, mengem­balikan keuangan negara tidak menghapus pidana yang telah dila­ku­kan oleh oknum-oknum di DPRD Kota Ambon, sehingga sebagai Kajari harus memberikan penjelasan tentang perbuatan pidana terhadap penggunaan anggaran apakah su­dah sesuai dengan prosedur hukum ataukah tidak.

“Kajari harus jelaskan semuanya, karena dengan memberikan penje­lasan bahwa uang negara sudah dikembalikan dan pengembaliannya saat penyelidikan bukan penyidikan, ini tidak rasional menurut hukum,” tegasnya lagi.

Leasa meminta Kajari harus memberikan penjelasan secara detail terkait dengan penggunaan angga­ran pada setiap item proyek yang terjadi dan tidak saja terfokus pada pengembalian keuangan negara, karena pengembalian keuangan itu tidak menghapus perbuatan pidana yang dilakukan.

“Saya ada baca penjelasan pak Ka­jari bahwa pengembalian keua­ngan negara sudah memenuhi asas manfaat, asas keadilan dan asas ke­pastian hukum. Ini asas-asas yang bagaimana manfaat adanya dimana kepada negara atau ada pada orang yang menggunakan dana itu. De­mikian juga asas keadilan dan ke­pastian hukum, apakah betul oknum DPRD menggunakan uang negara tahun 2020 dan kemudian dikem­balikan tahun 2021 itu suatu pro­sedur hukum yang diinginkan dalam rangka penggunaan anggaran daerah termasuk anggaran negara?,” tanya dia.

Leasa berharap semua pihak khususnya akademisi hukum, memberikan perhatian terhadap kasus ini, karena ini sesuatu yang baru diciptakan oleh Kajari Ambon dimana pengembalian keuangan negara itu bukti terjadinya korupsi.

Cacat Prosedur

Sementara itu, Sherlock Leki­piouw berpendapat prosedur dan mekanisme pengembalian kerugian negara oleh oknum-oknum DPRD adalah cacat prosedural.

“Sesuai dengan waktu 60 hari temuan BPK untuk pengembalian keuangan negara, jika tidak maka ditingkatkan ke penyelidikan,. Kan ini tabulabale yang dilakukan kejak­saan, maka patut diduga Kejaksaan ini Humasnya Pemkot Ambon,” ujarnya.

Sherlock menegaskan, yang Kajari perdebatkan beda penyelidikan dan penyidikan maka semua orang juga tahu proses tersebut. “Ini anak kecil juga tahu penyelidikan dan penyi­dikan, tinggal dilihat di google saja. Kajari sampaikan kalau ada bukti baru kasus ini bisa dibuka lagi, ini kan dia main api dalam sekam. Sudah sepatutnya Kajari diperiksa secara etik, karena ini bukan kita menguji orang per orangnya, tetapi jangan dihentikan dengan cara tidak sesuai dengan hukum,” katanya.

Dikatakan, sesuai ketentuan pasal 109 KUHP tentang syarat peng­hentian penyelidikan tidak ada satu pasal pun yang menyatakan bahwa pengembalian kerugian negara sebagai salah satu syarat penyeli­dikan. “Ini jaksa baca ini bae-bae pasal 109,” pintanya.

Selain itu, lanjut Sherlock, pasal 4 UU Tipikor perdebat deliknya ada dalam ranah pembuktan di penga­dilan. Karena pengembalian keru­gian negara itu dalam rangka keri­nganan hukuman bagi terdakwa.

“Kalau dari asas kemanfaatan, jelas uang sudah dikembalikan, te­tapi kemanfaatan yang dimaksudkan tidak boleh melanggar hukum, harus sesuai procedural,” ungkapnya.

Dia menilai, Kajari bermain api dalam sekam, karena tindakan perbuatan hukum yang dilakukan oleh oknum-oknum DPRD ini yang harus terus dilakukan.

Kata Sherlock, dari hasil pe­meriksaan dokumen pertanggung jawaban keuangan ternyata, BPK menemukan 7 item penggunaan ang­garan yang tidak bisa diperta­nggung jawabkan dimana salah satunya belanja fiktif.

“Ini artinya ada tindakan korupsi yang dilakukan secara sadar. Dan ini sudah terang benderang. Dan bagai­mana jaksa menjelaskan soal belanja fiktif yang ditemukan BPK ini. Bagaimana jaksa konstruksi belanja fiktif, apalagi ada pihak ketiga seba­gai pihak yang mengelola penga­daan barang dan jasa,” tuturnya.

Dengan demikian, lanjut Sherlock, Kejari juga perlu sertakan pasal 55 KUHP turut serta karena didalam hukum asas konstitusi tidak bole seseorang mendapatkan keuntu­ngan dari suatu perbuatan melawan hukum, dan sebaliknya seorang tidak boleh dirugikan dalam konteks perbuatan melawan hukum.

“Sehingga dalam konteks ini anggota dewan diuntungkan secara melawan hukum, karena perbuatannya sudah selesai. Karena ini fiktif, kalau ada kesalahan membayar maka ini administrasi ini bisa human error. Tetapi ini belanja fiktif maka ini bukan human error,” tegasnya.

Selanjutnya, penyalahgunaan anggaran dalam penata kelolaan penggunaan rumah dinas ini kan harus dijelaskan oleh kejaksaan.

“Kejaksaan harus jelaskan item per item temuan BPK itu, bukan soal hentikan karena keuangan negara itu. Karena ini sepakat uang negara dikembalikan. Tetapi hati-hati ada putusan Mahkamah Konstitusi merubah delik pasal 2 dan pasal 3 UU Tipikor, yang tadi-tadinya syarat formil, menjadi syarat materil. Jadi bukan soal dampaknya kerugian secara nyata maka itu harus diperhatikan,” ujarnya.

Demo OKP

OKP Cipayung melakukan aksi demo di Kejaksaan Negeri Ambon, lantaran tidak setuju Kejari Ambon menghentikan penyalahgunaan anggaran di Sekretariat DPRD Kota Ambon. Mereka menuding Kejari Ambon dibawah pimpinan Dian Frits Nalle melindungi oknum-oknum di DPRD Kota Ambon.

dalam kasus dugaan korupsi tersebut.““Ketua Umun GMKI Ambon, Jo­sias Tiven dalan orasinya mengata­kan, dengan penghentian kasus dugaan korupsi DPRD ini maka seakan-akan membuka ruang siapa saja bisa melakukan korupsi dengan jaminan ketika diketahui aparat penegak hukum, barulah uang negara dikembalikan.

“Wakil rakyat atas nama rakyat pencuri uang rakyat dan dilindungi Kejari. Kami rasa tidak ada keadilan, tujuan hukum juga tidak tercapai. Yang kita bicara apa, keadilan yang kita dapat, apakah keadilan cuma didapat orang-orang yang punya kuasa saja,” teriak Ketua Umun GMKI Ambon, Josias Tiven dalan orasinya saat itu.

Ketua IMM Hamja Loilatu menegaskan, yang namanya pencuri harus dipidana apapun status dan derajatnya.

Dia lalu membandingkan kasus ini dengan perkara Odie Orno. Dimana Orno tetap dipidana sekalipun sudah mengembalikan keuangan negara. Pengembalian kerugian negara, lanjut dia, sebenarnya sudah membuktikan bahwa oknum-oknum anggota DPRD itu terlibat dalam dugaan korupsi itu, tetapi mengapa malah dihentikan.

Menanggapi aksi tersebut, Kajari, Nalle yang langsung menemui ratusan mahasiswa ini menjelaskan, alasan dihentikanya pengusutan kasus lantaran perkara dimaksud merupakan hasil temuan BPK, yang kemudian merekomendasi Walikota Ambon untuk menarik kerugian yang ditentukan.

“Audit BPK masih berupa indikasi atau tanda-tanda yang bersifat perkiraan. Dalam rekomendasi BPK memerintahkan walikota untuk menarik kerugian negara bukan memerintahkan penegak hukum untuk pidana. Untuk itu kami ambil langkah penyelidikan agar keuangan negara itu dikembalikan,” jelas Kajari.

Kata Kajari, pihaknya tidak memaksakan kasus ini dilanjutkan lantaran belum memenuhi unsur untuk dinaikan ke tahap penyidikan,  Dimana dalam penanganan kasus korupsi untuk sebuah kasus dinaikan ke tahap penyidikan diperlukan bukti keuangan negara.

“Dari sisi hukum ini masih penyelidikan bukan penyidikan, dalam penyelidikan sudah ada pengembalian kerugian, kalau unsur kerugian negara tidak ada bagaimana kita pidanakan orang. ketika saya paksakan naik di pengadilan pasti gugur biaya perkara kasus Rp150 juta, kalau tetap ngotot naik justru saya yang rugikan karena paksakan kasus yang tidak memenuhi unsur,” tuturnya.

Jaksa Keliru

Menanggapi alasan yang dikemukakan Nalle, akademisi Hukum Pidana Unpatti, Diba Wadjo menegaskan langkah Kajari Nalle sangat keliru, lantaran menghentikan penyelidikan dan penyidikan kasus dugaan korupsi di Sekretariat DPRD Kota Ambon.

Kata dia, sesuai dengan pasal 4 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 menyebutkan pengem­balian kerugian negara atau perekonomian negara itu tidak menghapus dipidananya pelaku tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 dan pasal 3 UU tersebut.

Karena itu, lanjut Wadjo, Kajari Ambon keliru jika kasus dugaan korupsi di DPRD Kota Ambon dihentikan. Semestinya lanjut Wadjo, proses hukum tetap dilanjutkan karena itu akan menjadi bukti di pengadilan bagi hakim dalam meringankan pidana yang dijatuhkan kepada pelaku tindak pidana.

“Sangat keliru kalau jaksa hentikan kasus ini, karena pasal 4 UU Tipikor sudah sangat jelas, pengembalian uang negara tidak menghapus tindak pidana yang sudah dilakukan,” katanya.

Catut Nama Kajari

Seperti diberitakan sebelumnya, pasca BPK menemukan dugaan penyalahgunaan anggaran di DPRD Kota Ambon, pimpinan dewan menggagas pertemuan rahasia, dengan melibatkan sebagian besar Anggota DPRD Kota.

Anehnya, pertemuan itu bukannya digelar di ruang sidang Baileo Rakyat, Belakang Soya, malah dibikin di Hotel The Natsepa.

Pertemuan rahasia yang digelar Rabu (3/11) malam, dimaksudkan untuk mengkonsolidasikan presepsi anggota dewan, terhadap kasus yang bakal disidik jaksa itu.

Sumber Siwalima di DPRD Kota Ambon menyebutkan, dalam pertemuan itu pimpinan dewan lebih banyak mengeluarkan isi hatinya mengenai temuan BPK.

Menurut sumber yang minta namanya tidak ditulis itu, pertemuan rahasia tersebut dipimpin Ely Toisuta, didampingi Gerald Mailoa dan Rustam Latupono. Hadir pula Sekretaris DPRD Steven Dominggus.

Sesuai rencana, pertemuan itu mestinya digelar pukul 19.00, tapi molor hingga pukul 21.30, karena menunggu kedatangan 35 anggota dewan.

Sayangnya, hanya 29 orang yang menghadiri pertemuan rahasia itu, sementara enam lainnya tidak hadir.

“Yang tidak hadir itu Lucky Upulatu Nikijuluw Fraksi PDIP, Saidna Azhar Bin Tahir Fraksi Gabungan, Astrid Soplantila Fraksi Gerindra, Obed Souisa dari Fraksi Demokrat dan Tan Indra Tanaya Fraksi Nasdem, jelas sumber itu Rabu (17/11).

Diceriterakan sumber tadi, dalam pertemuan, Ely Toisuta berkali-kali meminta agar anggota dewan solid dan satu hati agar masalah yang melilit lembaga wakil rakyat itu dapat diselesaikan.

Menurut ibu ketua, dari hasil konsultasi dengan Kajari Ambon, beliau menitip pesan kalau masalah ini mau selesai, seluruh anggota dewan harus satu hati. Beberapa kali ibu ketua menyebutkan nama pak kajari dalam pertemuan itu,” ujar sumber tersebut.

Dalam pertemuan itu, anggota dewan rame-rame mengeluarkan uneg-uneg mereka, termasuk keterbukaan oleh pimpinan yang selama ini dinilai tertutup. Selain itu, performance ketua dewan yang sangat standar dan biasa-biasa saja, karena sejak dilantik hingga kini, belum pernah memimpin rapat paripurna.

Mengetahui namanya viral di Hotel The Natsepa, Kajari Ambon Dian Fris Nalle sesumbar akan bekerja serius dan optimal untuk mengusut temuan BPK itu.

“Kita akan bekerja sesuai SOP dan tidak akan pernah terpengaruh dengan isu maupun intervensi dari siapapun. Kita akan tetap berkomitmen untuk mengusut temuan BPK ini,” tandas Nalle, kepada Siwalima, melalui telepon selulernya, Rabu (17/11).

Kajari juga menepis adanya informasi atau isu yang beredar di tengah masyarakat bahwa dalam rapat internal DPRD Kota Ambon di Hotel The Natsepa, beberapa waktu lalu, ada pernyataan Ketua DPRD Kota Ambon, Elly Toisuta bahwa temuan BPK sudah aman di jaksa. “Kalau ada informasi yang beredar di tengah masyarakat seperti itu, tidak benar. Jaksa yang mana yang dimaksudkan itu? Kami akan tetap bekerja sesuai SOP,” janji Nalle.  (S-05)