AMBON, Siwalimanews – Faradiba Yusuf berulang kali memerintahkan untuk melakukan transaksi tidak sesuai SOP perbankan. Namun, para teller yang menerima perintah tersebut tetap melakukannya dengan alasan mengikuti perintah pimpinan.

Teller yang pernah bekerja pada BNI KCU Ambon Inggrid Caroline menyampaikan itu saat bersaksi dalam sidang lanjutan kasus dugaan tindak pidana korupsi di BNI 46 Ambon, di Pengadilan Negeri Ambon, Jumat (26/6).

“Saya diperintah Ibu Fara melakukan penyetoran uang tunai tanpa fisik, melakukan cash bon dengan berjanji menggantikan uang, dan penarikan nasabah tanpa mengambil uang,” kata Caroline.

Caroline mengaku, mengambil cash bon atau pinjam-meminjam uang di bank tidak diperbolehkan. Dia pernah diperintahkan melakukan penarikan tunai, namun nasabah tidak mengambil uang. Anehnya, nasabah yang hadir justru menyampaikan kepadanya memberikan uang itu kepada Faradiba.

“Tidak sesuai SOP ketiga hal itu. Tapi saya tetap lakukan karena itu perintah dari atasan,” kata Caroline.

Baca Juga: Dua Saksi Korupsi Lahan PLTG Namlea Dicecar Jaksa

Caroline merincikan, dia pernah melakukan setoran tunai tanpa fisik kepada tiga nasabah. Juga penarikan tunai untuk tiga nasabah. Transaksi itu dimulai dari Rp. 4,5 juta hingga Rp. 150 Juta.

Dia melakukan setoran tunai berturut-turut untuk nasabah Nurhaeda senilai Rp. 350 juta.

“Pada 9 Juli 2019 senilai Rp.100 juta, pada 15 Agustus 2019 sebesar Rp. 100 juta, pada 28 Agustus 2019 sebesar Rp. 50 juta, dan terakhir 16 September 209 senilai Rp. 100 Juta,” urainya.

Selain itu, ia juga melakukan penyetoran tunai tanpa fisik untuk nasabah Sumarwatara pada 3 Juli 2019 senilai Rp.150 juta. Serta setoran tunai tiga kali berturut-turut senilai Rp. 4,5 juta untuk nasabah Faisal Kotalima.

Caroline menceritakan, ketiganya melakukan penyetoran tanpa membawa uang. Namun mereka melakukan penarikan dengan jumlah yang sama saat penyetoran. Saat itu, Faradiba datang kepadanya memerintahkan melakukan penyetoran.

“Di sistemnya penyetoran saja. Beliau (Faradiba) berjanji menggantikan uang. Beliau lalu datang mengembalikan uang,” jelasnya.

Ketiga nasabah itu datang langsung ke kantor membawa tanda pengenal serta ATM. Namun, mereka tidak mengambil uang.

“Mereka meminta saya melakukan penarikan. Saya menghitung uang, ketika saya mau menyerahkan, mereka bilang nanti Ibu Fara yang ambil. Setelah itu Ibu datang mengambil uang,” jelasnya lagi.

Soal tanda tangan, Caroline mengatakan langsung ditandatangani oleh nasabah. Namun, ada juga ditandatangani olehnya atas perintah Faradiba. Bahkan, Faradiba pernah datang dan menandatanganinya sendiri.

“Saya pernah tanya, ini tidak apa-apa, Ibu? Ibu bilang tenang saja, nanti saya yang tanggung jawab,” katanya.

Mendengar jawaban Caroline ini, jaksa penuntut umum dalam persidangan serentak tertawa.

Faradiba bahkan pernah meminjam uang, dengan alasan untuk berbisnis.

“Ibu Fara datang ke saya minta bon Rp. 36,6 juta. Nanti diganti, katanya untuk bisnis BNI. Lalu saat itu beliau tidak datang, beliau telepon minta nomor rekening saya,” ucapnya.

Caroline mengaku menyesal. Dia tahu dari kelakuannya pihak bank dan nasabah yang paling dirugikan. “Saya tidak tahu (soal penggelapan dan tipikor). Saya tahu di berita,” katanya.

Hal yang sama juga disampaikan Tiwi Silawane. Perempuan yang juga teller di BNI KCU Utama itu juga menjalankan perintah Faradiba. Dia pernah melakukan penyetoran tunai tanpa fisik uang sebesar Rp. 300 juta atas nama nasabah Sumarwatara dan Nuraeni dalam waktu yang sama.

“Saya diperintahkan Ibu Farah. Nasabah langsung datang ke saya mengisi formulir tapi saya tidak terima tanda pengenalnya,” kata Tiwi.

Tiwi juga melakukan penyetoran tunai untuk nasabah Rukia Umarella. Dia diperintahkan melalui WhatsApp oleh Faradiba. Pesan itu ditunjukan oleh orang dibagian analisis kredit standar bank Marhana Kia.

“Transaksi ketiga ini tanpa tandatangan nasabah. Formulirnya ditandatangani Ibu Marhama,” katanya.

Dia mengaku, mereka biasa memalsukan tanda tangan. Tiwi terdiam ketika mendengar hakim mengatai pihak bank bekerja dengan tidak becus dan tidak menjaga amanah masyarakat yang menyimpan uang di sana.

Diceritakan, setiap kali penyetoran atau penarikan tanpa fisik uang itu selalu langsung diganti Faradiba. Uangnya dibawa sopir terdakwa Andi Rizal selaku Kepala KCP Mardika.

“Supaya uangnya balance, uangnya langsung diganti. Uangnya dibawa langsung sopir Andi Rizal,” katanya.

Soal program cashback yang digunakan Faradiba menggaet korban nasabah, Tiwi mengaku program cashback itu ada.  “Ada program cashback, seperti blokir dana. Tapi hadiahnya juga diundi. Kalau investasi cengkeh tidak ada,” kata Tiwi.

Kasir BNI KCU Ambon juga dihadirkan jaksa sebagai saksi. Rivaldo bertugas mengurus kas besar. Dia yang melakukan supply (transfer uang) dari bank utama ke cabang.

Rivaldo mengatakan, untuk transaksi tersebut harus sudah memberitahu sehari sebelumnya. Pada saat penyerahan uang dilakukan harus melalui berita acara. Uang yang diantar juga harus melalui perhitungan teller.

Rivaldo sering membawa uang selama ia menjabat sebagai kasir ke KCP Mardika yang saat itu dipimpin Andi Rizal. Transaksi itu berturut-turut dilakukan pada 17 September 2019, 19 September 2019, 2-4 Oktober 2019. Masing-masing senilai Rp. 5,3 miliar, 1,5 miliar dan Rp. 6,3 miliar. Uang tersebut diperuntukkan untuk pengisian ATM.

Selama pengisian itu, tidak ada kelebihan di kas Mardika. Rivaldo mengatakan kelibuhan hanya terjadi pada sehari di bulan Oktober. Kas Mardika mengalami kelebihan Rp. 109 juta

Dalam transaksi itu, ada tiga pihak yang libatkan. Mereka adalah teller, pimpinan bagian kasir, dan kepala pimpinan pelayanan nasabah. “Transaksi ini yang tahu itu teller, Ibu Yoga dan Pak Prajoko,” tuturnya.

Kata Rivaldo, sistem supply itu tercatat dalam buku sebelum ke sistem. Setelah masuk di sistem, uang itu ikut diantarkan teller. Setibanya di kantor cabang, uangnya mesti dihitung kembali.

“Voucher sudah di validasi di KCU Utama dulu. Teller yang lakukan validasi. Sampai di kantor cabang, mereka validasi juga. Voucher tiga, satu untuk kantor utama, satu untuk cabang. Satunya lagi untuk file,” katanya.

“Di KCP Mardika sekali itu saja dan langsung diganti. Kalau di Cabang Aru, Masohi dan Tual ada selisih kas,” lanjutnya.

“Jumlahnya melebihi. Biasanya, saya laporkan ke ibu Olga melalui lisan. Lalu, Ibu akan telepon ke kantor cabang tertentu. Selebihnya saya tidak tahu,” tuturnya.

Setelah mendengar kesaksian itu, majelis hakim mempertanyakan bagaimana kerja pegawai di BNI.

“Kecuali memang pihak bank benar-benar brengsek. Ini begini semua kelakuan pegawainya. Setiap uang masuk dan keluar itu harus dicatat. Tidak ada satupun teller yang melaporkan hal ini. Semuanya hanya ikut perintah saja ini dari awal. Kalau tidak ada pemeriksaan internal pihak bank juga barangkali tidak ketahuan ini masalahnya,” kata hakim Pasti Tarigan, dengan suara yang agak meninggi.

“Di pusat saja sudah begini kelakuannya, apalagi kami di cabang,” kata hakim menirukan apa yang diucapkan Kepala KCP Tual Kres Rumahlewang pada persidangan sebelumnya.

Sidang Faradiba Cs yang terdaftar dengan Nomor perkara 5/Pid.Sus-TPK/2020/PN Ambon itu digelar di ruang sidang Candra. Para hakim, jaksa, pengacara dan saksi hadir langsung dalam persidangan. Sedangkan, terdakwa Faradiba Yusuf dan  terdakwa Soraya Pelu alias Aya berada di Lapas Perempuan.

Terdakwa lainnya, Marce Muskita alias Ace selaku pemimpin BNI Cabang Pembantu Masohi, terdakwa Krestiantus Rumahlewang alias Kres selaku pengganti sementara pemimpin Kantor Cabang Pembantu Tual, terdakwa Joseph Resley Maitimu alias Ocep selaku pemimpin Kantor Cabang Pembantu Kepulauan Aru, terdakwa Andi Yahrizal Yahya alias Callu selaku Pemimpin BNI Kantor Kas Mardika berada di Rutan Kelas II A Ambon. (Mg-2)