AMBON, Siwalimanews – Ketua DPRD Provinsi Maluku, Benhur George Watubun meng­ungkapkan, hingga tahun 2024 ini kemiskinan di Maluku masih menjadi masalah serius.

Karena itu, lanjut Benhur, butuh program-program yang dapat menekan kemiskinan khususnya pada daerah pedesaan.

“Salah satu masalah serius yang terus-menerus diwariskan kepada kita adalah problem kemiskinan yang masih saja menghantui kita,” ungkap Watubun kepada wartawan di Baileo Rakyat Karang Panjang, Selasa (29/10).

Dijelaska,n angka kemiskinan di Provinsi Maluku tahun 2022 memang mengalami penurunan menjadi 15,97 persen, namun kembali naik di tahun 2023 menja­di 16,42 persen.

Sedangkan untuk tahun 2024 berdasarkan data Badan Pusat Statistik, tingkat kemiskinan Maluku mengalami penurunan tetapi tidak melebihi tahun 2022 lalu.

Baca Juga: Tuntaskan Kasus BBM, Polda Surati Ahli Migas

“Sesuai data BPS di Tahun 2024 ini memang turun menjadi 16.05 persen dan tidak melebihi presentasi tahun 2022 lalu yakni 15.97 persen,” jelasnya.

Menurutnya, presentasi berdasarkan wilayah kota dan wilayah desa ternyata jumlah penduduk miskin wilayah pedesaan masih lebih tinggi jika dibandingkan dengan penduduk miskin di wilayah perkotaan.

“Jumlah penduduk miskin di wilayah kota sebesar 5,14 persen, namun penduduk di desa masih tinggi yaitu 24,43 persen,” terangnya.

Data kemiskinan di pedesaan tersebut lanjut Watubun, harus dijadikan perhatian serius pemerintah daerah baik provinsi dan kabupaten dengan mengarahkan kebijakan yang menyentuh langsung persoalan.

“Kita berharap kedepan ada intervensi program ke wilayah pedesaan agar dapat menekan angka kemiskinan di Maluku,” ujarnya.

Watubun pun mengajak semua pihak baik pemerintah daerah, DPRD dan seluruh pemangku kepentingan untuk terus bekerja sama bergotong-royong memperbaiki setiap kekurangan untuk kebaikan bersama ke depan.

Pemda Harus Inovatif

Sementara itu, Ketua Komisi IV DPRD Maluku, Saodah Tethool meminta pemda untuk

lebih inovatif dalam menekan tingkat pengangguran terbuka di Maluku.

Kata dia, pengganguran terbuka masih menjadi masalah utama di Maluku karena setiap tahun pasti ada pengangguran terbuka.

Dijelaskan, pengangguran terbuka tidak dapat dilepaskan pisahkan dari tingkat anak muda yang putus sekolah baik SD, SMP, SMA hingga perguruan tinggi yang terjadi setiap tahun karena faktor kemampuan keluarga.

“Harus kita akui juga bahwa pengangguran terbuka ini disumbang dari tingkat putus sekolah di Maluku karena tingkat ekonomi masyarakat tidak mampu menyekolahkan anak hingga perguruan tinggi,” jelas Saodah kepada Siwalima melalui telepon selulernya, Selasa (29/10).

Tingkat pendidikan kata Saodah sangat menentukan seseorang mendapatkan pekerjaan khususnya pada perusahaan-perusahaan artinya, ketika tingkat pendidikan rendah otomatis berpotensi menjadi pengangguran.

Disisi lain ketika anak muda menjadi sarjana juga ada ketakutan hantaran tidak ada pekerjaan yang tersedia.

“Mahasiswa di Maluku ini tidak terlatih untuk menjadi seorang yang kreatif. Sarjana di Maluku merupakan pencari kerja bukan pencipta kerja,” ucapnya.

Menurutnya pemerintah memiliki kewajiban untuk melatih anak-anak Maluku sejak dari SMK hingga sarjana untuk menjadi anak muda yang kreatif.

Pemerintah daerah harus cerdas untuk mengelola sumber daya alam dengan mendatangkan investor yang akhirnya akan membuka lapangan pekerjaan bagi anak-anak Maluku.

Selain itu intervensi pemerintah daerah melalui APBD harus ada melalui program pemberdayaan guna mendorong tumbuhnya UKMK baru.

“Program pemberdayaan terhadap UMKM termasuk permodalan dan pelatihan perlu di lakukan,” tegasnya.

Saodah menambahkan, kepala daerah kedepan harus memiliki pola pikir yang cerdas sehingga melahirkan kebijakan yang berorientasi pada penanganan pengangguran melalui program pemberdayaan. (S-20)