Tantangan Sertifikasi Kompetensi Wartawan
PERKEMBANGAN industri media di era digital yang demikian pesat dewasa ini mesti diikuti dengan pengembangan kompetensi dan profesionalisme wartawan. Tingkat kompetensi dan profesionalisme wartawan akan memengaruhi kinerja jurnalis, yang menentukan baik kualitas produk berita dan informasi maupun kualitas media secara umum. Komunitas pers di Indonesia menyadari pentingnya kompetensi wartawan tersebut sehingga mereka sepakat untuk menetapkan standar kompetensi wartawan (SKW), sebagai salah satu butir dari Deklarasi Palembang 2010. Terdapat empat poin penting Deklarasi Palembang yang disepakati pada Hari Pers Nasional (HPN) 2010, yakni standar perusahaan pers, kode etik jurnalistik, standar kompetensi wartawan, dan standar perlindungan profesi wartawan. Deklarasi tersebut merupakan simpul dari komitmen seluruh perusahaan pers dan insan pers, dalam penegakan aturan perundang-undangan.
Dewan Pers telah menerbitkan Peraturan Dewan Pers Nomor 1/Peraturan-DP/II/2010 tentang Standar Kompetensi Wartawan, yang diperbarui dengan Peraturan Dewan Pers Nomor 1/Peraturan-DP/X/2018. Dewan Pers juga memberikan lisensi kepada 30 lembaga uji kompetensi wartawan (LUKW) yang berasal dari perusahaan pers (18), asosiasi wartawan (4), lembaga pendidikan dan pelatihan wartawan (1), serta perguruan tinggi (7). Standar kompetensi wartawan adalah rumusan kemampuan kerja yang mencakup aspek pengetahuan, keterampilan/keahlian, dan sikap kerja yang relevan dengan pelaksanaan tugas kewartawanan. Tujuan utama standar kompetensi wartawan adalah meningkatkan kualitas dan profesionalitas wartawan melalui kegiatan sertifikasi profesi yang diterapkan dalam praktik uji kompetensi wartawan (UKW). Tujuan lain standar kompetensi wartawan adalah menjadi acuan sistem evaluasi kinerja wartawan oleh perusahaan pers, menegakkan kemerdekaan pers berdasarkan kepentingan publik. Lalu, menjaga harkat dan martabat kewartawanan sebagai profesi khusus penghasil karya intelektual, menghindarkan penyalahgunaan profesi wartawan, dan menempatkan wartawan pada kedudukan strategis dalam industri pers. Landasan peraturan, standar kompetensi, dan lembaga uji kompetensi wartawan sudah ada dan berjalan selama 12 tahun. Namun, pelaksanaan uji kompetensi wartawan tidak selalu berjalan mulus. Terdapat sejumlah tantangan yang dihadapi dalam pengembangan kompetensi wartawan dan pelaksanaan uji kompetensi wartawan dewasa ini. Pertama, perusahaan pers tumbuh pesat sejak terbitnya Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers yang menjamin kebebasan berusaha di bidang pers. Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang Pers menyatakan setiap warga negara Indonesia dan negara berhak mendirikan perusahaan pers. Selain adanya kebebasan yang dijamin undang-undang, pertumbuhan perusahaan pers juga didukung kemajuan teknologi, yang memudahkan setiap orang untuk membuat media, khususnya media siber (online).
Media massa terbanyak di dunia Dengan iklim yang mendukung, menurut perkiraan Dewan Pers, jumlah media di Indonesia mencapai 47 ribu buah, lebih dari 43 ribu di antaranya media siber. Angka ini membuat Indonesia menjadi negara yang memiliki media massa terbanyak di dunia. Peningkatan jumlah media tersebut tentu memperbanyak jumlah wartawan di Indonesia. Bila rata-rata setiap media memiliki 5 wartawan, jumlah wartawan di Indonesia mencapai 235 ribu orang. Pengembangan kompetensi dan uji kompetensi wartawan untuk 235 ribu orang di berbagai daerah di Indonesia, tentu bukan pekerjaan yang mudah dan bisa dengan cepat dilaksanakan. Kedua, terdapat kemudahan untuk menjadi wartawan di era digital sekarang. Hampir tidak ada hambatan masuk (entry barrier), bagi siapa pun untuk menjadikan dirinya sebagai jurnalis. Kemajuan teknologi, serta ketersediaan infrastruktur dan perangkat pendukung, memungkinkan siapa pun untuk melakukan kegiatan jurnalistik. Tentu, kemudahan ini memiliki sisi positif dan negatif. Sisi positifnya ialah terbukanya peluang usaha, kesempatan kerja, dan kebebasan berekspresi bagi setiap warga negara, sedangkan sisi negatifnya ialah rendahnya kompetensi para wartawan yang memasuki dunia jurnalistik secara instan.
Para wartawan dadakan itu tidak melewati seleksi secara ketat. Umumnya juga tidak mendapatkan bekal baik pengetahuan maupun keterampilan yang memadai. Masukan (input) yang kurang berkualitas ini bisa menghambat peningkatan kompetensi wartawan. Ketiga, lembaga uji kompetensi wartawan (LUKW), yang telah mendapat lisensi dari Dewan Pers sangat sedikit jika dibandingkan dengan jumlah wartawan di Tanah Air. Saat ini hanya ada 30 LUKW yang mendapat lisensi Dewan Pers, itu pun tidak semuanya aktif melaksanakan uji kompetensi wartawan. Bandingkan dengan jumlah wartawan yang mencapai 235 ribu orang. Karena itu, program sertifikasi kompetensi wartawan berjalan lambat. Data sertifikasi wartawan yang tercantum di situs Dewan Pers memuat 19.972 entry, atau jurnalis yang sudah tesertifikasi kompetensi (data diakses 18 Agustus 2022 pukul 16.50). Keempat, kemudahan mendirikan perusahaan pers dan menerbitkan media telah menarik berbagai kalangan untuk memasuki industri pers. Mulai pebisnis besar, politisi, pejabat pemerintahan, militer, polisi, pengacara, konsultan pajak, aktivis, hingga kalangan wartawan sendiri. Berbagai latar belakang pengusaha media tersebut membawa beragam visi dan misi. Tidak sedikit perusahaan pers yang didirikan dengan misi partisan, sektarian, hingga personal. Hal ini bisa melemahkan independensi media dan independensi wartawan, yang juga menjadi tantangan pengembangan kompetensi jurnalis.
Dalam sejumlah uji kompetensi wartawan di berbagai daerah, terdapat kasus-kasus yang muncul di lapangan, terkait dengan baik status peserta maupun perusahaan penerbit media. Misalnya, ada politisi atau aktivis partai politik yang mengikuti uji kompetensi wartawan, walaupun peserta sudah diminta membuat pakta integritas bahwa mereka bukan bagian dari partai politik, humas pemerintah, BUMN, TNI, dan Polri. Ada seorang peserta yang hasil ujiannya dinyatakan kompeten, harus dibatalkan karena terbukti merupakan aktivis politik. Kasus yang lebih banyak terjadi ialah wartawan yang bekerja pada media yang diterbitkan perusahaan nonpers. Perusahaan-perusahaan nonpers tersebut menerbitkan media siber untuk mendukung bisnis inti mereka.
Baca Juga: Paus Fransiskus, Ahmed Al-Tayyeb dan Harmoni KeberagamaanKewenangan sertifikasi Tantangan lain yang muncul belakangan ini berkaitan dengan kewenangan sertifikasi profesi wartawan. Ada yang mempertanyakan kewenangan Dewan Pers dalam sertifikasi wartawan, setelah terbentuknya Badan Nasional Standardisasi Profesi (BNSP). Alasannya, Pasal 18 ayat (4) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan sudah mengatur bahwa untuk melaksanakan sertifikasi kompetensi kerja dibentuk badan nasional sertifikasi profesi yang independen. Bahkan, muncul lembaga sertifikasi wartawan di luar ketentuan Dewan Pers, yang sempat menyelenggarakan sertifikasi kompetensi jurnalis. Karena itu, Dewan Pers menerbitkan Keputusan Ketua Dewan Pers Nomor 20/SK-DP/IV/2022 tentang Penegasan Fungsi Dewan Pers dalam Standar Kompetensi Wartawan.
Dewan Pers menyatakan tidak bertanggung jawab atas kegiatan dan hasil lembaga sertifikasi profesi wartawan di luar yang telah diatur dalam Peraturan Dewan Pers tentang standar kompetensi wartawan. Keputusan Ketua Dewan Pers tersebut menyebutkan sesungguhnya standar kompetensi wartawan dan kegiatan uji kompetensi wartawan, sebagaimana halnya kode etik jurnalistik, dan pelbagai pedoman turunannya, ialah sepenuhnya merupakan bagian dari kegiatan jurnalistik, yang penanganannya, menurut Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, sepenuhnya berada di bawah wilayah kerja dan ruang lingkup Dewan Pers. Selain menegaskan wilayah kerja dan ruang lingkup Dewan Pers, pernyataan tersebut juga menempatkan Undang-Undang Pers sebagai peraturan hukum yang bersifat khusus (lex specialis). Dalam hal ini, berlaku ketentuan bahwa hukum yang bersifat khusus mengesampingkan hukum yang bersifat umum (lex specialis derogat legi generali) sehingga ketentuan yang ada di Undang-Undang Pers harus diutamakan, daripada ketentuan di undang-undang lain. Dengan demikian, penegasan kewenangan Dewan Pers, atas standar kompetensi wartawan dan uji kompetensi wartawan memiliki landasan yang kuat. Selain itu, keputusan Ketua Dewan Pers tentang Penegasan Fungsi Dewan Pers dalam Standar Kompetensi Wartawan dibuat tidak secara sepihak. Keputusan tersebut dibuat dengan mempertimbangkan hasil rapat Dewan Pers dengan Menteri Ketenagakerjaan dan Badan Nasional Standardisasi Profesi (6 April 2022), rapat Dewan Pers dengan konstituen Dewan Pers (8 April 2022 dan 13 April 2022), rapat Komisi Pendidikan, Pelatihan, dan Pengembangan Profesi Pers Dewan Pers (13 April 2022), dan rapat pleno Dewan Pers (13 April 2022). Di samping tantangan, tentu ada peluang yang bisa dimanfaatkan dalam pengembangan dan pelaksanaan uji kompetensi wartawan. Pengakuan terhadap Dewan Pers sebagai lembaga yang berwenang menangani SKW dan UKW, menjadi modal penting dalam pelaksanaan SKW dan UKW. Pengakuan tersebut diberikan oleh berbagai kalangan, baik pemerintah, badan usaha milik negara, sektor swasta, komunitas pers, maupun masyarakat luas. Kementerian Komunikasi dan Informatika belum lama ini menyatakan hanya Dewan Pers yang berhak melakukan sertifikasi kompetensi wartawan. Kesadaran yang makin tinggi di kalangan komunitas pers menjadi faktor penting dalam melaksanakan SKW dan UKW.
Dengan kesadaran itu, perusahaan pers mau mendorong dan mengirimkan wartawannya untuk mengikuti UKW, dan para jurnalis bersedia mengikuti UKW. Sejumlah asosiasi wartawan telah menjalin kerja sama dengan lembaga uji untuk menggelar uji kompetensi wartawan bagi anggota mereka. Asosiasi perusahaan pers pun bekerja sama dengan lembaga uji untuk mengadakan sertifikasi kompetensi bagi jurnalis yang bekerja di perusahaan mereka. Dewan Pers bersama komunitas pers dan lembaga uji kompetensi wartawan terus menggalakkan uji kompetensi wartawan. Fasilitasi Dewan Pers untuk UKW di semua provinsi di Indonesia sangat bermanfaat dalam memperluas sertifikasi kompetensi wartawan sehingga perlu diteruskan dan ditingkatkan.
Fasilitasi Dewan Pers untuk melaksanakan UKW secara cuma-cuma ini sangat membantu para peserta. Peningkatan cakupan dan jangkauan Untuk meningkatkan cakupan dan jangkauan UKW, Dewan Pers perlu mendorong lembaga uji kompetensi wartawan agar lebih aktif menyelenggarakan UKW. Dewan Pers juga dapat memberikan lisensi pendirian lembaga uji kompetensi wartawan kepada perusahaan pers, asosiasi wartawan, lembaga pendidikan dan pelatihan wartawan, serta perguruan tinggi yang memenuhi syarat. Semakin banyak lembaga uji kompetensi wartawan yang eksis dan aktif, sertifikasi kompetensi jurnalis akan lebih luas dan cepat.
Peningkatan cakupan dan jangkauan UKW juga bisa dilakukan lewat kolaborasi antara para pemangku kepentingan. Kolaborasi bisa dikembangkan dengan pihak di luar komunitas pers, seperti pemerintah pusat dan daerah, badan usaha milik negara, sektor swasta, organisasi kemasyarakatan, dan lainnya. Kolaborasi Dewan Pers dengan komunitas pers yang sudah berjalan baik perlu ditingkatkan.
Program UKW dengan fasilitasi Dewan Pers membuat lembaga uji kompetensi wartawan lebih aktif, dan para jurnalis lebih bergairah untuk mengikutinya. Fasilitasi Dewan Pers juga meningkatkan kolaborasi antarlembaga uji lewat kerja sama penyelenggaraan UKW dan pertukaran penguji. Munculnya pemikiran untuk membatasi lembaga uji kompetensi wartawan merupakan pandangan yang tidak tepat. Demikian juga, dengan pemikiran yang ingin membatasi penguji kompetensi wartawan hanya untuk lembaga masing-masing.
Yang kita butuhkan ialah perluasan partisipasi dan kolaborasi, bukan pembatasan dan eksklusivitas. Oleh: Wahyudi Marhaen Pratopo Dosen Universitas Pertamina, pengurus Majelis Pustaka dan Informasi (MPI) Pimpinan Pusat Muhammadiyah
Tinggalkan Balasan