Tantangan Perguruan Tinggi Melalui Transformasi Standar Nasional dan Akreditasi
PADA Selasa (29/8) Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbud-Ristek) meluncurkan program Merdeka Belajar Episode ke-26: Tranformasi Standar Nasional dan Akreditasi Pendidikan Tinggi yang tertuang dalam Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Permendikbud-Ristek) No 53 Tahun 2023 tentang Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi. Tidak lama setelah peluncuran, di beberapa media muncul beberapa opini dari publik misalnya ada yang menyoroti bahwa transformasi ini meniadakan skripsi untuk mahasiswa S1, dan meniadakan kewajiban publikasi untuk mahasiswa S2 maupun S3. Apakah hanya sesempit itu cakupan transformasi standar nasional dan akreditasi pendidikan tinggi ini? Pada Standar Nasional Pendidikan Tinggi yang baru saja diluncurkan terdapat beberapa perubahan, misalnya; 1) penyederhanaan lingkup standar penelitian dan standar pengabdian kepada masyarakat, 2) penyederhanaan pada standar kompetensi lulusan, dan 3) penyederhanaan pada proses pembelajaran dan penilaian.
Pada poin 2 inilah banyak disorot mengenai skripsi dapat dihapus atau tidak lagi bersifat wajib jika program studi sarjana atau sarjana terapan sudah menerapkan kurikulum berbasis proyek atau bentuk lain yang sejenis. Jika kita menelaah secara seksama khususnya pada poin 2, ada hal lain yang tidak kalah pentingnya yaitu tentang kompetensi lulusan. Pada transformasi ini disebutkan salah satu kompetensi lulusan pendidikan tinggi adalah terkait dengan kemampuan intelektual untuk berpikir secara mandiri dan kritis sebagai pembelajar sepanjang hayat. Mengapa ini penting? Dunia sedang dihadapkan pada beberapa kondisi misalnya adanya disrupsi teknologi, isu energi, isu lingkungan, dan beberapa isu lainnya. Hal tersebut menyebabkan tantangan yang harus dihadapi khususnya oleh generasi muda pun juga semakin meningkat. Dengan adanya perkembangan teknologi, saat ini kita dengan mudah bisa menyebutkan beberapa jenis pekerjaan yang mungkin sudah tidak ditemukan lagi.
Generasi muda dihadapkan pada kondisi ketidakpastian terkait dengan profesi di masa yang akan datang. Lalu, apa yang bisa kita lakukan sebagai penyelenggara pendidikan tinggi? Akankah kita hanya diam saja, terpaku pada standar yang terlalu detil yang seringkali menggerus kebebasan kita sebagai insan akademia? Sebagai penyelenggara pendidikan tinggi, memberikan bekal yang cukup bagi lulusannya untuk mampu beradaptasi terhadap kebutuhan di masa yang akan datang, baik terkait kebutuhan mastery skill maupun human skill, merupakan suatu keharusan. Perguruan tinggi harus berinovasi, memberikan bentuk-bentuk pembelajaran sehingga menjadi lebih relevan dalam menjawab tantangan yang ada. Perguruan tinggi tidak hanya menghasilkan lulusan yang siap di masa lampau, tetapi menyiapkan generasi muda untuk siap menyambut masa depan dan memberikan kontribusi untuk penyelesaian masalah yang ada.
Kita harus menyadari bahwa dengan perubahan yang begitu cepat, perguruan tinggi harus menyiapkan lulusannya untuk mampu berdaptasi terhadap perubahan, sehingga kemampuan menjadi pembelajar sepanjang hayat (long-life learning) merupakan suatu kompetensi yang relevan pada tantangan dunia saat ini. Kemampuan ini tidak terasah, jika selama menempuh pendidikan tinggi, semua mahasiswa diberikan ‘menu’ yang sama, padahal mahasiswa bisa saja mempunyai minat masing-masing. Misalnya mahasiswa teknik industri ada yang berminat untuk meneruskan usaha orang tuanya untuk mengekspor hasil pertaniannya, atau ada yang mempunyai minat untuk bekerja pada suatu industri otomotif. Pertanyaannya apakah kedua mahasiswa tersebut harus mendapatkan pengalaman yang sama? Menurut saya tidak. Perguruan tinggi hendaknya memberikan ruang kepada mahasiswa untuk bisa mendalami minatnya, sehingga mahasiswa mampu memutuskan untuk mencapai cita-citanya hal-hal apa saja yang harus dia pelajari. Pembekalan Kita harus menyadari bahwa ilmu yang dipelajari di bangku kuliah mungkin akan relevan 3-5 tahun setelah mahasiswa lulus dari pendidikan tinggi. Setelah itu mereka harus mengarungi lautan lepas, harus bertahan dari segala tantangan untuk meraih kesempatan yang ada.
Bekal apa yang bisa kita berikan? Ijazah, tentu saja tidak. Kemampuan menjadi pembelajar sepanjang hayatlah yang dibutuhkan. Oleh karena itu, transformasi Standar Nasional Pendidikan Tinggi yang memuat kompetensi lulusan terkait dengan kemampuan intelektual untuk berpikir secara mandiri dan kritis sebagai pembelajar sepanjang hayat (long-life learning), merupakan suatu cita-cita yang harus didukung bersama. Untuk mencapainya, tranformasi khususnya poin 3 terkait dengan penyederhanaan pada standar proses pembelajaran dan penilaian yang mana 1 SKS didefinisikan 45 jam, dan pembagian waktu bentuk pembelajaran disesuaikan dengan masing-masing perguruan tinggi, akan memerdekakan perguruan tinggi dalam menentukan cara yang tepat agar lulusannya dapat mencapai kompetensi yang sudah ditetapkan. Salah satu kunci keberhasilan tranformasi pada poin 3 ini adalah pelaksanaan pembelajaran berbasis outcome (OBE).
Baca Juga: Polusi dan PneumoniaPada OBE, bentuk pembelajaran akan dirancang sedemikian rupa sehingga mendukung capaian pembelajaran lulusan yang sudah ditetapkan masing-masing program studi. Pembagian waktu bentuk pembelajaran terlalu kaku seperti misalnya 50 menit tatap muka di kelas bisa mengukur berapa lama seorang mahasiswa tinggal di dalam kelas, namun tidak mengukur kompetensi apa yang dia dapatkan. Paradigma ini menurut Michele R Weise (2021) dalam bukunya Long Life Learning: Preparing the Job that Do Not Even Exist Yet, disebut dengan paradigma time is fixed, learning is variable. Transformasi Standar Nasional Pendidikan Tinggi yang meniadakan pembagian waktu ini akan menimbulkan paradigma baru yaitu learning is fixed, time is variable.
Perguruan tinggi berorientasi pada kemampuan yang bisa didapatkan oleh mahasiswa, walaupun waktu yang diperlukan ataupun bentuk pembelajarannya bisa berbeda-beda. Pertanggungjawaban mutu Dengan adanya transformasi yang memerdekakan, bagaimana perguruan tinggi harus bersikap dan menyambut kemerdekaan ini? Akankah menunggu petunjuk yang lebih detil bagaimana tranformasi tersebut bisa diimplementasikan? Setiap organisasi, termasuk perguruan tinggi mempunyai budaya organisasi, visi-misi sendiri-sendiri, yang berbeda antar satu perguruan tinggi dengan perguruan tinggi lainnya. Mengutip dari Michele R Weise (2014) dalam bukunya Hire Education: Mastery, Modularization and The Workforce Revolution dikatakan bahwa sama seperti organisasi lainnya, perguruan tinggi memiliki 4 elemen yaitu sumber daya, proses, pengelolaan keuangan dan value proposition.
Supaya berhasil, organisasi hendaknya mendefinisikan terlebih dahulu value propositionnya dan selanjutnya sumber daya dan proses diarahkan untuk mencapai value proposition tersebut. Pengaturan Standar Pendidikan Tinggi yang terlalu detail menyebabkan proses tadi menjadi terbalik, sehingga fokus perguruan tinggi tidak lagi diawali dengan mendefinisikan value propositionnya tetapi lebih kepada bagaimana memenuhi standar detail yang sudah ditetapkan tersebut. Dengan kemerdekaan yang sudah diberikan, tentu saja masing-masing perguruan tinggi memiliki kewajiban untuk mempertanggungjawabkan mutunya kepada pemangku kepentingan. Pada Merdeka Belajar Episode Ke-26, dijelaskan pula mengenai transformasi akreditasi perguruan tinggi. Dari paparan di atas, transformasi Standar Nasional dan Akreditasi Pendidikan Tinggi seyogyanya disambut dengan suka cita, karena mampu menjawab tantangan yang sedang dihadapi perguruan tinggi saat ini. Kampus Merdeka: Indonesia Jaya. Oleh: Ririn Diar Astanti Ketua Departemen Teknik Industri Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Ketua Tim Task Force Hibah Center Of Excellence MBKM 2020, Hibah Program Kompetisi Kampus Merdeka 2021 dan 2022 Universitas Atma Jaya Yogyakarta. (*)
Tinggalkan Balasan