Coronavirus Diseases (COVID-19) atau lebih dikenal dengan sebutan virus corona merupakan jenis virus yang ditemukan pertama kali di Kota Wuhan, Cina pada Desember 2019 dan menyebar begitu cepat ke seluruh pelosok dunia. Pandemi COVID-19 telah memberikan dampak yang masif terhadap segala aspek, mulai dari kesehatan, ekonomi, sosial, dan politik. Tak terkecuali di Indonesia, dampak yang dirasakan begitu besar sehingga Pemerintah menerapkan sebuah tatanan sosial yang baru dan dipercaya dapat menekan penyebaran COVID-19, yang disebut Era Normal Baru. Era Normal Baru sendiri merupakan penyesuaian pola hidup normal dengan tetap menerapkan protokol kesehatan dalam pencegahan dan penanggulangan penyebaran COVID-19.

Salah satu yang terkena dampak pandemi COVID-19 adalah Sistem Pemasyarakatan. Pemerintah melalui Kementerian Hukum dan HAM mengeluarkan Peraturan Menteri Hukum dan HAM RI no. 32 Tahun 2020 tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian Remisi, Asimilasi, Cuti Mengunjungi Keluarga, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, dan Cuti Bersyarat bagi Narapidana dan Anak dalam Rangka Pencegahan dan Penanggulangan Penyebaran COVID-19. Melalui Permenkumham tersebut, Pemerintah mengupayakan pengeluaran Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) dengan ketentuan-ketentuan tertentu untuk memutus rantai penyebaran COVID-19 di lingkungan Lapas/Rutan di seluruh Indonesia. Mengingat masalah overcrowded yang menimpa Lapas/Rutan, tentu saja lembaga tersebut menjadi salah satu sasaran empuk penyebaran COVID-19.

Masalah yang terjadi adalah, pengeluaran WBP yang jumlahnya cukup banyak menghadirkan kekhawatiran tersendiri di masyarakat. Menurut Beniharmoni Harefa (2020), sebagian menilai pembebasan napi ini tidak akan menyelesaikan masalah di masa pandemi COVID-19, justru malah pembebasan ini akan menambah masalah baru. Tidak jarang juga napi yang sudah dibebaskan, malah berulah kembali dengan melakukan tindak pidana. Hal ini tentu membangun sebuah stigma di masyarakat terhadap mantan narapidana.

Dalam kacamata sosiologis, stigma masyarakat terhadap mantan narapidana yang terlanjur terbangun menyebabkan adanya atribut sosial yang diberikan dengan tujuan mendiskreditkan individu atau kelompok mantan narapidana. Atribut sosial semacam ini ternyata terbangun di dalam masyarakat melalui proses internalisasi norma-norma sosial yang telah ada mengenai penentuan nilai baik dan buruknya suatu perilaku sosial. Masyarakat diduga terlanjur meyakini bahwa mantan narapidana memiliki deviant behavior (perilaku menyimpang) yang akan merujuk pada stigma. Dampak yang terlihat adalah mantan narapidana teralienasi dalam proses integrasi sosialnya di dalam masyarakat. Sebagai contoh Pecandu Narkoba misalnya. Ketika mantan Pecandu Narkoba sulit untuk beradaptasi dengan masyarakat, maka sosialisasi nilai dan norma sulit untuk terinternalisasi oleh mereka yang menyebabkan mantan Pecandu Narkoba teralienasi dari masyarakat. Mereka yang teralienasi ini akan mencari jalan lain untuk tetap diakui keberadaannya. Sayangnya, kelompok sosial yang sangat mudah menerima mereka adalah kelompok sosial yang menoleransi nilai dan norma sama, yaitu kelompok sosial dengan riwayat atau bahkan masih terlibat dengan penyalahgunaan narkotika. Pergaulan atau interaksi intens dengan kelompok sosial semacam ini akan memperparah kondisi mantan Pecandu sehingga sulit sekali keluar dari lingkaran tersebut.

Selain itu, masalah baru yang timbul adalah sulitnya perekonomian pada masa pandemi COVID-19. Menteri Ketenagakerjaan, Ida Fauziyah mencatat 17,8 persen perusahaan melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) selama pandemi covid-19 terdapat. Selain itu, 25,6 persen perusahaan merumahkan pekerjanya, dan 10 persen perusahaan melakukan keduanya (dalam Merdeka.com, 18 Februari 2021). Kemiskinan dapat menjadi salah satu faktor penyebab terjadinya tindak kriminal sehingga WBP yang sulit beradaptasi terhadap situasi perekonomian dunia selama pandemi ditakutkan akan kembali melakukan pengulangan tindak pidana.

Baca Juga: Rekrutmen Calon ASN Milenial

Jadi, bagaimana tanggung jawab Pemasyarakatan dalam menghadapi situasi seperti ini? Pemasyarakatan memiliki tanggung jawab yang besar dalam meminimalisir potensi terjadinya pengulangan tindak pidana oleh WBP. Pemulihan menjadi kunci utama dalam paradigma hukum pidana modern. Fungsi pengawasan, pembimbingan, dan pembinaan merupakan kunci dalam menekan potensi pengulangan tindak pidana. Namun harus dipahami bahwa tantangan sesungguhnya bagi Pemasyarakatan adalah mempersiapkan WBP untuk berada di lingkungan masyarakat. Dukungan berbagai pihak seperti keluarga dan edukasi yang tepat kepada masyarakat dan WBP dapat memaksimalkan tercapainya tujuan pemulihan tersebut. Stigma yang terbangun tentang mantan narapidana di masyarakat patut untuk diminimalisir sehingga kondisi mantan narapidana dapat diterima di tengah masyarakat dan tidak mengalami diskriminasi. Mengembalikan fungsi sosial seorang mantan narapidana tidak serta merta menjadi tanggung jawabnya sendiri, sebab manusia adalah homo socius (makhluk sosial) yang berarti tidak dapat hidup sendiri dan senantiasa membutuhkan orang lain dalam aktivitasnya karena ia merupakan anggota masyarakat dan bagian dari masyarakat.

Program-program pembinaan di Lapas/Rutan diharapkan lebih mengarah kepada kesiapan WBP menghadapi Era Normal Baru di tengah masyarakat sehingga nantinya WBP memiliki bekal yang cukup. Selain itu, kualitas pembimbingan dan pengawasan oleh Balai Pemasyarakatan perlu dimaksimalkan. Balai Pemasyarakatan melalui jalinan kerjasama dengan stakeholders di lingkungan masyarakat mejadi sangat penting dalam melakukan pengawasan yang tepat. Bantuan pengawasan dan bimbingan dari stakeholders tentu akan mengarahkan mantan narapidana pada pola hidup sosial yang sehat dan mampu menyesuaikan diri dengan nilai dan norma yang diterapkan di dalam masyarakat.( Dawan Pribadi, Pembimbing Kemasyarakatan)