HAMPIR sepanjang tahun ini, pemerintah disibukkan proses rekrutmen dan seleksi calon aparatur sipil negara (CASN). Itu sebuah pekerjaan besar dalam rangka pengadaan pegawai negeri sipil (PNS) dan pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK) untuk mengisi jabatan yang lowong.Pemerintah berharap bakal memperoleh figur terbaik. Keinginan ini optimistis terwujud karena minat masyarakat menjadi pegawai negeri sangat tinggi. Mengacu pada 2020, jumlah pendaftar mencapai 4 juta orang. Semakin banyak jumlah peminat diharapkan kesempatan pemerintah mendapatkan figur terbaik kian terbuka lebar.Membeludaknya peminat diantisipasi dengan teknologi berupa portal Sistem Seleksi Calon ASN (SSCASN), untuk kemudahan akses pendaftaran.

Ujian seleksi menggunakan metode berbasis computer aided test (CAT) yang menjamin akuntabilitas. Penggunaan teknologi itu merupakan salah satu upaya memperbaiki prosedur rekrutmen CASN, berdasarkan sistem merit.Sesuai dengan asas sistem merit, pemerintah menginformasikan secara terbuka formasi kebutuhan pegawai baru kepada publik. Tahun ini, tersedia lebih dari 1 juta formasi. Sistem penilaian dan penentuan kelulusan juga transparan sehingga dapat dipantau peserta secara jelas. Penentuan kelulusan berdasarkan kompetensi dan kualifikasi yang menjamin objektivitas.Peran pegawai baru berkompeten dan berkualifi kasi sangat penting dalam mewujudkan pelayanan terbaik. Tantangan terbesar rekrutmen dan seleksi ialah mempertemukan kesesuaian karakter pekerjaan dengan karakter individu calon pemegang jabatan.

Karakter pekerjaan pegawai negeri ialah sebagai pelayan masyarakat. Oleh karena itu, pengadaan pegawai saat ini harus mampu menemukan calon berkarakter melayani. Tidak mudah menemukan calon berkarakter melayani.Selama ini, ada anggapan pegawai negeri, termasuk para pejabat, cenderung suka dilayani daripada melayani. Akibatnya, muncul stigma masyarakat terhadap perilaku aparat. Stigma semakin menguat akibat berbagai kasus penyimpangan dalam bentuk korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) yang mencoreng wajah birokrasi.Pemerintah berupaya menghapus stigma tersebut melalui berbagai cara, di antaranya dengan memilih dan menempatkan pegawai secara profesional. Di samping itu, tata kelola yang baik (good governance) secara konsisten diterapkan untuk memperbaiki wajah birokrasi menjadi lebih bersih dan melayani.

Reformasi birokrasi Perbaikan serius terhadap wajah birokrasi dilakukan melalui reformasi sejak 2010 guna mewujudkan visi pelayanan publik berkelas dunia. Keseriusan tersebut dapat dilihat dari sembilan program percepatan mencakup dua opsi kelembagaan, yakni penataan struktur organisasi dan pengembangan e-government. Selain itu, reformasi menyentuh program perbaikan pelayanan publik.Menariknya, dari sembilan program percepatan, terdapat enam opsi terkait langsung dengan penataan sumber daya manusia (SDM). Penataan SDM dilakukan melalui pengaturan jumlah dan distribusi PNS, profe­sionalisasi, integritas dan akuntabilitas, kesejahteraan, efisiensi belanja aparatur, serta pengembangan sistem seleksi dan promosi terbuka seperti dilakukan saat ini.Masyarakat menunggu bukti kinerja birokrasi memberi pelayanan berstandar kelas dunia. Perbaikan tata kelola pemerintahan dan penerapan prinsip e-government berbasis teknologi menyiratkan pesan peningkatan pelayanan publik.

Wajah birokrasi diyakini lebih adaptif terhadap semua perubahan dengan didukung aparat berasal dari generasi milenial.Karakter generasi milenial Rekrutmen dan seleksi CASN tahun ini diprediksi menghasilkan pegawai dari generasi milenial. Karakter generasi istimewa ini identik dengan ekspresi terbuka. Keberanian sejumlah pegawai negeri mengajukan petisi tunjangan hari raya (THR) 2021 yang ditetapkan pemerintah merupakan contoh nyata keterbukaan itu. Namun, kreativitas dan inovasi kaum milenial relatif tinggi sehingga bisa menjadi ‘darah segar’ bagi birokrasi dalam peningkatan mutu pelayanan.

Pelayanan publik berkualitas optimistis terwujud, didukung cara pandang distinctive kaum muda dalam memecahkan masalah pekerjaan. Metode berpikir sangat berbeda dengan generasi terdahulu. Namun, karakter milenial ternyata rawan konfl ik. Preferensi berorientasi hasil dan serbacepat menyebabkan tata krama interaksi bekerja cenderung diabaikan akibat rasa percaya diri berlebihan.Kemampuan menguasai teknologi memberikan ruang bagi peningkatan kepercayaan diri, tetapi abai terhadap etika. Sering para senior mengeluhkan pegawai baru tidak menjunjung etika dan norma pergaulan. Karakter ASN milenial dinilai tidak selaras dengan budaya birokrasi yang mengakar secara formal dalam mengatur kebiasaan berperilaku. Namun, karakter dan perilaku milenial sebenarnya tidak perlu dirisaukan.

Dengan mengacu simpulan hasil riset George Washington University, dan Departemen Pertahanan Amerika Serikat (AS), yang dipublikasi­kan Harvard Business Review (HBR) pada 2016 lalu, tidak ditemukan perbedaan signifi kan antargenerasi di tempat kerja. Sebaliknya, diungkap juga bahwa anak muda memang cenderung narsisistik, yang mengganggu harmonisasi bekerja. Deskripsi hasil riset antargenerasi di HBR itu ditulis Bruce N Pfau, konsultan manajemen SDM.Pfau mengakhiri tulisannya, berupa cara bagaimana organisasi memenangi perburuan SDM bertalenta. Pertama, ciptakan lingkungan membanggakan sehingga dapat meningkatkan passion berkarya. Kedua, manajemen harus memaksimalkan kinerja melalui utilisasi skills, serta trust dan otonomi. Birokrasi perlu mengakomodasi cara itu dalam mengelola generasi milenial.Menepis kekhawatiran karakter milenial dapat pula dilakukan melalui kebijakan fair, alias adil dan wajar. Generasi istimewa itu menginginkan lingkungan inklusif yang apresiasif terhadap prestasi.

Pimpinan harus akomodatif terhadap heterogenitas ide serta mengayomi (ngemong) dan memberikan penghargaan baik fi nansial maupun psikologis tanpa diskriminasi.Oleh karena itu, reformasi birokrasi di Indonesia yang menyentuh setiap jengkal institusi publik baik pada struktur, proses, teknologi, maupun perilaku SDM harus mengarah ke terciptanya mindset dan cultural-set baru, sejalan dengan dinamika perubahan aktual.Rekrutmen dan seleksi CASN yang dilaksanakan saat ini akan meng­hasilkan pegawai baru yang berasal dari generasi milenial. Saatnya birokrasi merespons karakter milenial dengan transformasi kultural. Strategi baru pun perlu dikembangkan guna memadukan karakter melayani dengan karakter milenial sebagai output yang ideal. Bukankah itu yang memang diharapkan dari rekrutmen dan seleksi untuk pegawai baru?( Jusuf Irianto, Guru Besar Manajemen SDM Departemen Administrasi Publik FISIP Unair)