AMBON, Siwalimanews – Terdakwa Wellem Ferdinandus, seharusnya menolak perintah Fara­diba sebagai pimpinannya jika, tran­saksi keuangan yang dilakukan ti­dak sesuai dengan aturan standar operasional bank.

Hal ini diungkapkan saksi, Ellian S Pambo, salah satu teller di KCP Mar­dika dalam sidang lanjutan kasus pembobolan dana nabasah, yang duigelar di Pengadilan Negeri (PN) Tipikor Ambon, Jumat (28/8).

Saksi menyebut, Pengusaha Jon­ny De Quelju alias Siong bukan nasa­bah emerald. Dia juga menyebut pe­narikan uang milik Siong yang dila­kukan Welliam, tidak sesuai standar operasional bank.

“Tidak ada perjanjian dengan nasa­bah sebelumnya. Artinya, nasa­bah wajib datang sendiri,” kata Ellian

Dia tidak membantah soal uang yang ditransfer Jonny ke Welliam. Namun, dia mengaku hal itu tak mu­ngkin dilakukan Welliam tanpa sepengetahuan pimpinannya.

Baca Juga: Angka Kriminalitas di Maluku Meningkat

Namun, dia hanya menjawab tidak tahu ketika majelis hakim mena­nya­kan soal apakah Kepala KCP Mar­dika Andi Yahya memberikan password kepada Welliam melakukan transaksi.

“Saya tidak tahu. Hanya saja, itu bukan kewenangannya teller untuk transaksi itu,” tuturnya.

Menurutnya, selaku teller, Wel­liam ha­rusnya bisa menolak perintah ata­san yang tidak sesuai dengan pera­turan.

Hanya Kenal Faradiba

Sementara itu, pengusaha Jonny De Quelju alias Siong mengatakan, tidak mengenal terdakwa Welliam Ferdinandus. Padahal, namanya ter­catat dalam beberapa transaksi yang dilakukan Welliam.

Jonny tercatat melakukan penye­to­ran tunai dari rekeningnya seba­nyak Rp. 125 miliar ke Welliam. Uang itu disetorkan saat Welliam menja­bat sebagai teller di BNI KCP Mar­dika.

“Saya tidak kenal siapa Welliam,” kata Siong saat memberikan kesak­sian dalam sidang lanjutan kasus tipikor dan pencucian uang pada BNI Ambon, Jumat (28/8).

Selain itu, Siong juga mengaku tidak pernah melakukan penarikan uang. Penarikan uang sebanyak lima kali itu dilakukan tanpa sepenge­tahuan dirinya.

“Saya hanya membuat tiga surat kuasa untuk pencairan deposit. Surat kuasa yang lain atas nama saya itu palsu,” tegas Siong.

Siong berujar, tidak tahu-menahu soal transaksi penarikan dan penye­toran yang terjadi di rekeningnya.

“Saya tidak pernah memerintah­kan siapapun untuk menyetorkan uang atau melakukan penarikan uang,” katanya.

Siong tercatat menjadi salah satu nasabah emerald atau nasabah prio­ritas di Bank BNI Cabang Ambon. Dia juga ikut mendepositkan uang se­jumlah Rp. 125 miliar. Dari depo­sit­nya tersebut, ia mengaku menda­pat­kan cashback sebesar Rp. 3,1 miliar.

Dalam catatan yang ditemukan, rekening Siong mendapatkan transfer kurang lebih Rp. 30 miliar dari Bank BNI KCP Aru dan Tual. Uang tersebut termasuk dari kerugian ne­gara Rp. 58,950 miliar dalam kasus tipi­kor ini. Namun, Siong mengaku tidak tahu sama sekali soal pengge­lapan dana nasabah yang dilakukan Faradiba Yusuf.

Sidang itu dilakukan secara online melalui sarana video conference. Ma­jelis hakim, jaksa dan penasehat hu­kum terdakwa bersidang di ruang si­dang Pengadilan Tipikor pada Pe­nga­dilan Negeri Ambon. Sedangkan ter­dak­wa berada di Rutan Kelas II A Ambon.

Majelis hakim diketuai Pasti Tari­gan, didampingi Berhard Panjaitan dan Jefry S Sinaga selaku hakim anggota. Sedangkan penasehat hu­kum adalah Markus Manuhutu.

Dalam dakwaannya, Jaksa Penun­tut Umum M. Rudy membeberkan pe­ran Welliam. Dia menyebut, Wel­liam turut membantu Faradiba Yusuf melakukan tindak pidana korupsi. Dia telah melakukan penarikan tunai tanpa sepengetahuan nasabah, tran­saksi setor tunai tanpa uang fisik, dan transfer RTGS tanpa uang fisik atas permintaan Faradiba.

Pada 13 September 2019, Welliam menerima transaksi setor tunai tanpa uang dari nasabah Jonny de Quelju sebesar Rp. 125 miliar. Saat itu, dia men­jabat menjadi Asisten Pelaya­nan Uang Tunai Kantor Kas Mar­dika. Dia juga memberikan password kepada Faradiba untuk otorisasi transaksi perbankan melalui kewe­nangan Andi.

Pada 17 September 2019, Welliam melakukan penarikan uang nasabah sebanyak 5 kali, masing-masing se­besar Rp. 5 miliar dari rekening BNI atas nama nasabah Jonny de Quelju. Atas transaksi tersebut, ia menerima uang Rp. 10 juta dari terdakwa Fara­diba Yusuf melalui terdakwa Andi Yahrizal selaku KCP Mardika.

Pada 19 September 2019, Welliam melakukan penarikan tunai sejumlah Rp. 5 miliar tanpa sepengetahuan na­sabah Jonny de Queljuw. Penari­kan uang tersebut kemudian diguna­kan untuk ditransfer ke Tata Ibrahim Rp. 2,1 miliar tanpa disertai uang fi­sik, RTGS ke rekening Jonny senilai Rp. 500 juta sebagai cashback, pena­rikan tunai Rp. 2,3 miliar dan dise­rahkan ke Soraya Pelu, serta uang Rp. 100 juta yang diserahkan ke Faradiba. Faradiba lalu memberikan Rp. 15 juta kepada Andi, dan Rp. 10 juta ke Welliam.

Saat menjabat sebagai teller di Tual, Welliam juga melakukan RTGS tunai tanpa disertai fisik ke rekening atas nama Soraya Pelu senilai Rp. 3 miliar dengan keterangan membayar bahan baku mebel.

Selain itu, dalam rentang waktu 27 September 2019 hingga 1 Oktober 2019, dia juga yang melakukan pe­nye­toran uang senilai Rp. 19,8 miliar BNI KCP Tual. Uang itu ditransfer ke rekening terdakwa Soraya Pelu dan Jonny De Quelju sebanyak em­pat kali, dengan keterangan tran­sak­si RTGS ke BCA.

Perbuatan terdakwa diancam Pidana dalam Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 18 ayat (1) ayat (2) dan ayat (3) UU No. 31 Tahun 1999 Tentang Pembe­ran­tasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas UU No. 31 Tahun 1999 Tentang Pem­berantasan Tindak Pidana Ko­rupsi jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUH Pidana jo Pasal 64 ayat (1) KUH Pidana. Juga pasal 3 UU No 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pem­berantasan Tindak Pidana Pencucian Uang jo Pasal 55 ayat (1). KUH Pida­na jo Pasal 64 ayat (1) KUH­Pidana.

Terdakwa juga dikenakan subsi­der sebagaimana diatur dan diancam Pidana dalam pasal 3 jo pasal 18 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UU Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pembe­ran­tasan Tindak Pidana Korupsi seba­gaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan atas UU No 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Ko­rupsi jo Pasal 55 ayat (1) KUHPidana jo Pasal 64 ayat (1) KUH Pidana. Juga pasal 5 ayat (1) UU Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan tindak Pidana Pencucian Uang jo Pasal 55 ayat (1) ke (1) KUHP Pidana jo Pasal 64 ayat (1) KUHPidana.

Perbuatan terdakwa juga diancam Pidana dalam Pasal 9 jo Pasal 18 ayat (1), ayat (2), ayat (3) UU Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan atas UU No 31 Tahun 1999 Tentang Pemberan­tasan Tindak Pidana Korupsi. (Cr-1)