Sudah Tiga Kali Pjs Bupati Didemo
Hadi Diingatkan tak Picu Benturan di Masyarakat
AMBON, Siwalimanewws – Pejabat sementara Bupati SBT, Hadi Sulaiman sudah tiga kali didemo oleh warga. Kebijakannya mencabut SK Bupati Abdul Mukti Keliobas dinilai sarat kepentingan politik.
Sebelum menjalani cuti kampanye sebagai calon bupati, Mukti mengeluarkan SK pengangkatan caretaker Kepala Desa Salas, Bula Air, Waematakabo, Selohan, serta Kampung Baru.
SK itu tertanggal 2 September 2020. Namun setelah Hadi Sulaiman bertugas sebagai Pjs bupati, Hadi mencabut SK itu, dan menerbitkan SK baru. Kebijakan Hadi inilah, yang memicu gelombang demonstrasi warga.
Tak hanya itu, Hadi juga mengancam untuk mencopot Camat Bula Hadi Rumbalifar, Camat Bula Barat Ridwan Rumonin, dan Camat Teluk Waru Tutiek Juliniar Firdaus Menyulu, Rumadan yang mengukuhkan kelima caretaker kepala desa tersebut.
Puluhan massa kembali yang tergabung dalam From Pembela Peduli Demokrasi (FPPD) SBT kembali mendatangi kantor bupati, Senin (9/11).
Baca Juga: 920 Paket Sembako Disalurkan bagi Warga Masika JayaIni untuk ketiga kalinya, Hadi didemo. Puluhan massa mendatangi kantor bupati sekitar pukul 12.00 WIT. Tuntut mereka masih sama, yaitu meminta Hadi mencabut SKnya tentang pengangkatan caretaker Kepala Desa Salas, Bula Air, Waematakabo, Selohan, serta Kampung Baru.
Massa yang dipimpin Sahaka Rolas itu, tak diizinkan masuk. Pintu gerbang kantor bupati dikunci, dan dijaga ketat oleh aparat keamanan. Kendati begitu, tak mematahkan semangat puluhan massa itu untuk melakukan orasi.
Alwi Rumadan dalam orasinya menegaskan, penjabat bupati jangan mengambil kebijakan yang menciptakan mosi tidak percaya atas pemerintahan saat ini. SK pengangkatan caretaker kepala desa yang diterbitkan oleh Hadi Sulaiman selaku Pjs bupati harus dicabut.
Hadi membatalkan SK Bupati Abdul Mukti Keliobas, dan menerbitkan SK baru. Massa menilai, Hadi Sulaiman terlalu jauh melangkah.
“Tujuan adanya penjabat hanya untuk laksanakan roda pemerintahan saat Bupati SBT Abdul Mukti Keliobas melakukan cuti dalam rangka calonkan diri sebagai bupati pada pilkada tahun ini, kenapa harus SK beliau dibatalkan dan diganti dengan SK baru,” teriak Rumadan.
Orator lainnya, Ayub Rumbaru menegaskan, Hadi Sulaiman dan Sekda Syarif Makmur telah melakukan pelanggaran karena telah membatalkan SK Bupati Abdul Mukti Keliobas. “Kenapa demikian, dalam ketentuan UU Nomor 30 tahun 2014 telah jelas yakni penjabat bupati tidak boleh membatalkan SK Bupati tanpa ada persetujuan dari Mendagri,” tandasnya.
Setelah melakukan orasi hampir satu jam, Kabag Hukum Pemkab SBT Mochtar Rumadan keluar menemui para demontsran, dan memastikan akan menindaklanjuti tuntutan mereka.
“Kita telah sampaikan telaah hukum dan rekomendasi ke Sekda dan Biro Hukum Pemprov Maluku. Untuk itu saya pastikan, tuntutan adik-adik aktivis ini akan terkabul meski saat ini belum ada keputusan dari pemprov mengenai pembatalan SK karateker kades yang diterbitkan oleh penjabat bupati,” tandas Rumadan.
Ia meyakini tuntutan para demonstran akan terkabul, karena telaah hukum yang dilakukan pihaknya mengacu pada UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.
Soal rencana pencopotan tiga camat, yaitu Camat Bula Hadi Rumbalifar, Camat Bula Barat Ridwan Rumonin, dan Camat Teluk Waru Tutiek Juliniar Firdaus Menyulu, Rumadan memastikan hal itu tidak akan terjadi.
“Ketiga camat ini tetap melaksanakan tugas seperti biasa, karena penjabat tidak akan melakukan pergantian dan ini sesuai dengan penjelasan beliau kepada saya,” ungkap Rumadan.
Setelah mendengar penjelasan dari Kabag Hukum, puluhan itu kemudian membubarkan diri sekitar pukul 14.30 WIT.
Sementara penjabat bupati Hadi Sulaiman dan Sekda Syarif Makmur tak kelihatan batang hidung.
Mobil dinas Hadi Fortuner DE 1 HM yang biasanya parkir di depan kantor bupati, tidak terlibat. “Bapak tidak ada di tempat,” kata salah satu staf bagian umum, kepada Siwalima.
Begitupun dengan sekda. Mobil dinasnya, Innova DE 7 HM juga tak terlihat di halaman parkir. “Pak sekda lagi kegiatan di luar,” ujar salah satu stafnya.
Sebelumnya, massa FPPD mendemo Pjs Bupati SBT, Hadi Sulaiman dan Sekda SBT Syarif Makmur, pada Kamis (5/11), dan berlanjut Sabtu (7/11). Dalam aksi demo pada Kamis, mereka menuntut Hadi Sulaiman dan Syarif Makmur menjelaskan soal pencabutan SK Bupati Mukti Keliobas tentang pengangkatan lima carateker kepala desa.
Selain itu, puluhan massa meminta penjelasan soal rencana pencopotan Camat Bula Hadi Rumbalifar, Camat Bula Barat Ridwan Rumonin, dan Camat Teluk Waru Tutiek Juliniar Firdaus Menyulu.
“Kami miminta penjelasan konkrit mengenai pembatalan SK Bupati Abdul Mukti Keliobas,” tandas Ayub Rumbaru dalam orasinya.
Aksi nyaris ricuh, karena massa memaksa masuk ke kantor bupati, dan dihadang oleh personil Satpol PP dan kepolisian.
Mereka menyampaikan mosi tidak percaya kepada Pemerintah SBT yang saat dipimpin Pjs Hadi Sulaiman.
Setelah berorasi tak lama, Sekda SBT Syarif Makmur, Kabag Hukum Mohtar Rumadan dan Hadi Sulaiman keluar menemui pendemo.
Kepada para pendemo, Syarif Makmur menegaskan, dirinya bertanggung jawab atas pengukuhan sejumlah karataker kepala desa dilakukan beberapa hari lalu.
Namun Kabag Hukum Mochtar Rumadan memberikan penjelasan berbeda. Ia justru mengatakan, SK yang dikeluarkan oleh Bupati SBT Abdul Mukti Keliobas pada tanggal 2 September Tahun 2020 sah demi hukum.
Pelantikan caretaker lima desa di tiga kecamatan, kata dia, sesuai mekanisme karema telah melalui telaah dinas pemdes, tatapem dan bagian hukum.
“Saya katakan bahwa SK yang dikeluarkan oleh Bupati SBT Abdul Mukti Keliobas pada tanggal 2 September tahun 2020 ini sah demi hukum,” tandasnya.
Sekda dan Pjs Bupati terkejut mendengar penjelasan Mochtar Rumadan. Pjs Bupati Hadi Sulaiman langsung mengabulkan tuntutan para pendemo.
SK pergantian carateker Kepala Desa Salas, Bula Air, Waematakabo, Selohan, serta Kepala Desa Kampung Baru yang diterbitkannya, dibatalkan. “SK yang sudah ditandatangani akan dibatalkan,” ujar Hadi.
Tak hanya itu, rencana pencopotan Camat Bula Hadi Rumbalifar, Camat Bula Barat Ridwan Rumonin, dan Camat Teluk Waru Tutiek Juliniar Firdaus Menyulu akan dipertimbangkan lagi.
Para pendemo dalam aksi juga melepaskan spanduk Hadi Sulaiman yang terpasang di pagar kantor bupati maupun di sekitar kantor bupati. Usai mendengar penjelasan Hadi Sulaiman, massa membubarkan diri.
Aksi demo kembali dilakukan Sabtu, sekitar pukul 14.00 WIT itu, lantaran Hadi belum mengabulkan tuntutan mereka yang disampaikan dalam aksi demo di kantor Bupati SBT, Kamis (5/11).
“Segera kabulkan tuntutan kami, jika tidak maka kami akan kembali melakukan aksi demo yang ketiga kali sampai seterusnya,” tandas Ridwan Tatakora dalam orasinya.
Tatakora menilai, selaku Pjs Bupati SBT, Hadi Sulaiman sudah terjebak dalam permainan politik pihak-pihak tertentu. Karena sudah membatalkan SK Bupati SBT Abdul Mukti Keliobas tentang pengangkatan sejumlah carekater kepala desa.
“Jangan terjebak dengan situasi ini pak pjs, karena kami menilai kebijakan bapak pjs ada keganjalan saat ini,” ujarnya.
Hadi Sulaiman yang keluar menemui pendemo beralasan, pembatalan itu sudah melalui persetujuan dari Pemprov Maluku. Ia lupa dengan janjinya untuk membatalkan SK yang diterbitkannya.
“Konsultasi dan meminta persetujuan Mendagri juga sudah dilakukan,” ujarnya singkat, sambil masuk ke ruang kerjanya.
Harus Sesuai Prosedur
Pjs Bupati SBT Hadi Sulaiman tidak bisa serta merta membatalkan SK Bupati Mukti Keliobas.
Akademisi Hukum Administrasi Negara Fakultas Hukum Unpatti, Sherlock Lekipiouw mengatakan, dari sudut pandang hukum administrasi, keabsahan tindakan hukum pemerintah, termasuk pejabat tata usaha negara harus didasarkan pada tiga hal yaitu, kewenangan, prosedur dan substansi.
“Jadi ketiga aspek ini lah menjadi dasar terhadap keabsaahan tindakan hukum pemerintah termasuk pejabat tata usaha negara,” jelas Sherlock kepada Siwalima, Senin (9/11).
Dalam konteks di Kabupaten SBT, kata dia, sesuai dengan UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, SK Bupati bisa dibatalkan apabila cacat kewenangan, prosedur dan substansi.
“Pertanyaan hukumnya adalah apakah penjabat punya kewenangan untuk pembatalan SK? Menurut UU Nomor 30 Tahun 2014, ada syaratnya, kalau cacat hukum, maka bisa dicabut keputusan tersebut,” jelas Sherlock.
Jika SK pengangkatan sejumlah caretaker kepala desa yang sudah diterbitkan oleh Bupati SBT, Mukti Keliobas memenuhi aspek kewenangan, prosedur dan substansial, maka apa dasar tindakan hukum yang dilakukan oleh penjabat bupati untuk menggantikan SK itu.
“Jadi sebenarnya mengujinya SK itu lewat tiga hal ini. Kalau sudah dilakukan, pertanyaan kemudian apa yang menjadi alasan penjabat mencabut SK itu?,” tandas Sherlock.
Dengan demikian, lanjutnya, penjabat bupati tidak memiliki kewenangan untuk membatalkan SK bupati jika tidak memiliki cacat hukum.
Untuk membatalkan SK bupati pun kata Sherlock, harus dilakukan oleh pejabat satu tingkat di atas dalam hal ini gubernur dan melalui keputusan pengadilan.
“Apakah ada pembatalan dari pejabat satu tingkat di atasnya yakni gubernur sebagai perwakilan pemerintah pusat?, apakah ada putusan pengadilan. Kalau tidak ada produknya cacat, tidak boleh ada pembatalan, tetapi seyogyanya dilakukan pengujian administrasi terjadap SK yang sudah dikeluarkan bupati,” ujarnya.
Sherlock menambahkan, Pjs bupati hanya memiliki waktu 71 hari sehingga harusnya fokus pada tugasnya yaitu, pertama memastikan koodinasi dengan seluruh perangkat daerah temasuk TNI/Polri dalam rangka menjaga kamtibmas.
Kedua, membantu dan memfasilitasi seluruh proses dan tahapan dalam rangka pilkada. Ketiga, melaksanakan tugas pemerintahan sebagaimana mestinya sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
“Ini yang harus dilakukan, Kalau yang lain bisa menimbulkan dampak yang lebih besar kira-kira begitu. Dan jika bagian hukum sudah mengatakan demikian, maka seharus-nya penjabat mengikuti tahapan itu,” tandas Sherlock.
Minta Fokus Sukseskan Pilkada
Pjs Bupati SBT, Hadi Sulaiman diminta untuk fokus mensukseskan pilkada yang akan berlangsung pada 9 Desember mendatang, dan jangan mau diintervensi.
Akademisi Fisip Unpatti, Victoria Ruhunlela menilai, kebijakan penjabat bupati yang menimbulkan aksi protes, sebagai akibat dari adanya intervensi dari pihak-pihak tertentu yang punya kepentingan dengan pilkada.
“Mestinya dalam proses ini pejabat birokrasi jangan mau diintervensi oleh partai politik, sebab mereka memiliki tanggung jawab untuk mendistribusian keadilan di Kabupaten SBT,” ujar Ruhunlela, kepada Siwalima, Senin (9/11).
Karena itu, penjabat bupati mestinya sangat hati-hati dan memperhitungkan setiap tindakan yang diambil, karena dapat berdampak pada hancurnya tata pemerintahan yang selama ini telah berjalan dengan baik.
“Salah satu fungsi dari birokrasi pemerintahan itu adalah mendiskusikan keadilan dimana mereka melakukan tugas, maka pejabat mestinya hati-hati dalam mengambil tindakan sehingga memperhitungkan jangan sampai karena hanya kepentingan sesaat maka bisa blunder sesuatu yang telah dijaga baik-baik dalam birokrasi yang sedang berjalan,” ujar Ruhunlela.
Menurutnya, penjabat bupati seharusnya menjaga roda pemerintahan, stabilitas perekonomian, pelayanan publik di daerah termasuk penyelenggaraan pilkada agar berjalan dengan baik dan tidak perlu masuk ke ranah politik.
“Dalam menjalankan tugas sebaiknya penjabat bupati berkonsentrasi untuk mensukseskan pemerintahan dan pilkada ketimbang diintervensi,” tegasnya.
Selain itu, penjabat bupati wajib netral dalam semua tindakan supaya ketika ada ASN yang melakukan tindakan melanggar netralitas maka dirinya memiliki kewenangan untuk menegur, sesuai dengan aturan. Buka sebaliknya diintervensi karena ada kepentingan lain.
Akademisi Fisip UKIM Ongky Samson menilai, kebijakan penjabat bupati didasari kepentingan politik menjelang pilkada. “Beta kira itu ada kepentingan tertentu yang mendasari kebijakan itu diambil oleh pejabat bupati,” ujarnya.
Dalam mengambil kebijakan atau keputusan, kata Samson, harus sesuai dengan aturan yang berlaku agar tidak menimbulkan persoalan di masyarakat. “Jangan mudah diintervensi oleh siapapun,” tandasnya.
Akademisi Fisip Unidar, Surfikar Lestaluhu juga meminta penjabat bupati berkonsentrasi untuk mensukseskan pilkada.
“Dari pada melakukan hal-hal yang nantinya berdampak pada kondusifitas masyarakat, lebih baik penjabat bupati berkonsentrasi untuk mensukseskan pilkada serentak di SBT,” ujar Lestaluhu.
Menurutnya, keberadaan pejabat bupati hanya untuk mengisi kekosongan jabatan karena bupati mencalonkan diri kembali dalam pilkada. Karena itu, tidak perlu membuat kebijakan yang dapat membenturkan masyarakat karena adanya kepentingan politik tertentu.
Seharusnya pejabat bupati menciptakan situasi dan kondisi yang tetap kondusif menjelang pilkada, bukan sebaliknya membuat chaos di masyarakat. “Agenda-agenda strategis pemerintahan di pusat saja ditunda karena moment pilkada, harusnya ini menjadi pedoman bagi seorang penjabat bupati dalam menjalani masa tugasnya yang cuma hitungan bulan,” tandas Leslatuhu. (S-39/S-47/S-50)
Tinggalkan Balasan